Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Andyta menemukan hidden gem ketika mengikuti walking tour.
Ima terkesan dengan rute walking tour di Kotagede.
Komunitas Gang-Gangan ingin mengarsipkan tempat hingga kegiatan di gang.
Cuaca cerah mengiringi rombongan 20 peserta wisata berjalan kaki atau walking tour yang diselenggarakan operator perjalanan Cerita Bandung pada Sabtu pagi, 11 Juni 2022. Bertajuk Pecinan Discovery, mereka menyusuri jejak dan kantong-kantong komunitas keturunan Cina di Bandung sejak masa lalu hingga sekarang.
Menurut pemandu wisata itu, Femis, tidak ada kawasan khusus pecinan di Bandung seperti di kota-kota lain. Aturan pemerintah kolonial Belanda membolehkan warga keturunan Cina tinggal menyebar. "Karena mayoritas berprofesi sebagai pedagang yang tidak bisa tinggal hanya di satu lokasi," ujar Femis, di titik kumpul Cikapundung Riverspot, Jalan Sukarno, Bandung.
Perjalanan itu dimulai dari Masjid Al Imtizaj di Jalan ABC, yang dicat merah dan kuning sehingga kental dengan nuansa dan arsitektur Cina. Femis kemudian mengajak rombongan mampir ke pabrik kopi Aroma, toko jamu Babah Kuya di belakang Pasar Baru, Hotel Surabaya, Kopi Javaco, kedai kopi Purnama, hingga berakhir di Jalan Kelenteng. Di sela perjalanan itu, ada beberapa tempat kuliner khas Cina yang ikut disinggahi peserta sambil rehat.
Wisata keliling Bandung itu dinikmati Nurul Wachdiyyah, yang ikut bersama anak dan suaminya. Sebelumnya, dia pernah ikut walking tour Cerita Bandung pada November 2021 dengan rute dan tema berbeda dari Jalan Sunda hingga Cibunut. "Seru, jalan kaki sambil dengar cerita tempat-tempatnya," kata dia, Sabtu, 11 Juni 2022.
Selain untuk melepas lelah dari rutinitas pekerjaan, perjalanan itu sekaligus bertujuan mengisi konten akun media sosialnya. Nurul mengaku tidak capek berjalan jauh hingga berjam-jam karena ada sesi jajan kuliner dan berfoto. Selain mengenakan pakaian dan sepatu kasual, dia menyiapkan bekal air minum serta biskuit di dalam ransel. Dibanding pengalaman walking tour sebelumnya dengan komunitas lain, perjalanan bersama Cerita Bandung dinilainya lebih santai dan menyenangkan.
Kegiatan serupa ia lakoni ketika berwisata ke Yogyakarta. Menurut Nurul, wisata berjalan kaki keliling kota lebih murah ketimbang menyambangi obyek-obyek wisata. Dia pun tidak berkeberatan mengulang rute tur. "Jadi, kalau mau jalan-jalan ngajak saudara, sudah kebayang dan tahu mau ngapain."
Andyta Nalaresi, peserta Jakarta Good Guide mengikuti walking tour rute Pasar Baru, di Jakarta, 12 Juni 2022. Tempo/Friski Riana
Menemukan Hidden Gem
Wisata jalan kaki menjadi pilihan Andyta Nalaresi dalam mengisi waktu luang. Perempuan berusia 29 tahun itu rutin mengikuti walking tour yang diadakan Jakarta Good Guide sejak lima tahun lalu. Co-founder sekaligus pemandu wisata Jakarta Good Guide, Farid Mardhiyanto, bahkan sudah hafal dengan wajah Andyta ketika mengikuti acara Jelajah Patjar ke Pasar Baru, Jakarta, Ahad, 12 Juni 2022.
Wanita yang berprofesi sebagai dokter umum di Rumah Sakit Kanker Dharmais itu ketagihan mengikuti walking tour, setelah pertama kali mencoba mendaftar pada 2017. Andyta memilih rute wisata Chinatown Glodok. "Guide-nya Mas Farid. Ternyata menarik banget. Banyak yang gue enggak tahu tentang Jakarta. Akhirnya nyoba rute lain dan jadi suka banget," ujar Andyta.
Hal yang membuat Andyta tertarik mengikuti walking tour adalah cerita-cerita di balik setiap bangunan yang dilewatinya. Selama ini, warga Jakarta Timur itu menganggap tempat-tempat yang sering ditemuinya hanyalah bangunan-bangunan tua. Andyta juga menemukan tempat makan atau nongkrong yang belum banyak diketahui orang, atau populer dengan istilah hidden gem.
Kuliner hidden gem yang ditemukan Andyta di antaranya Kopi Es Tak Kie di Gang Gloria serta warung vegetarian di Gang Kalimati, Petak Sembilan, Jakarta. Tempat hidden gem lainnya adalah executive lounge Perpustakaan Nasional yang berada di lantai 24. Di ruangan eksekutif ini, pengunjung Perpusnas bisa melihat pemandangan Monas dan gedung-gedung pencakar langit.
Setelah mengetahui beberapa lokasi menarik dari walking tour, Andyta biasanya akan berkunjung kembali ke sana sendirian ataupun bersama temannya. "Kalau ada teman ke Jakarta, kami bisa ke tempat lain yang enggak cuma mal," kata Andyta.
Alumni Universitas Diponegoro ini mengaku sudah mencicipi lebih dari 10 rute walking tour. Selain Chinatown Glodok, ia pernah menelusuri Kota Tua, rute museum, Monas, Cikini, Menteng, dan Pasar Baru. Tak hanya di Jakarta, hobi berwisata jalan kaki juga dilakukannya di Bogor, Semarang, dan Yogyakarta.
Pemandu Jogja Good Guide tengah menjelaskan soal filosofi bangunan rumah Jawa di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, 14 Juni 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Melihat Lebih Dekat Lokasi Jujugan
Ima Savitri, 45 tahun, beberapa kali mengambil gambar bentuk-bentuk rumah kuno yang dilaluinya di Kampung Kauman, Kota Yogyakarta, dengan ponsel pintarnya. Ia selalu takjub akan desain pagar dan terali besi serta pintu dan jendela kayu, yang menurut dia unik dan langka. Tak seperti desain di rumah-rumah terbaru. "Bentuknya unik," ucap wisatawan asal Surabaya tersebut.
Pagi itu, Selasa, 14 Juni 2022, pukul 08.00 WIB, Ima ikut dalam wisata berjalan kaki atau walking tour yang diadakan Jogja Good Guide. Lokasi yang sudah ditentukan sesuai dengan jadwal adalah Kampung Kauman. Sebuah kampung yang identik dengan kelahiran salah satu ormas Islam, Muhammadiyah, yang dipimpin Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Dengan menggunakan fasilitas ojek online, Ima datang ke lokasi titik kumpul di gapura pintu masuk Kampung Kauman. Beberapa wisatawan mulai berdatangan. Total ada 11 orang yang siap blusukan di Kampung Kauman dengan berjalan kaki.
Ini adalah walking tour keempat kalinya bagi Ima. Tiga lokasi sebelumnya adalah Kotagede, Kali Code, dan Kotabaru. Semuanya diikuti dengan pendampingan dari pemandu wisata Jogja Good Guide. Kebetulan, ia ke Yogyakarta karena ingin menemani anaknya yang sedang ujian. Anaknya, mahasiswa angkatan 2019 di sebuah kampus negeri di Yogyakarta, tengah mengikuti ujian akhir semester.
Dari empat lokasi yang sudah dijelajahi, menurut Ima, blusukan di Kotagede adalah yang paling berkesan. Apalagi di kawasan yang menjadi lokasi awal Kerajaan Mataram Islam itu pula banyak permukiman dengan bentuk-bentuk bangunan yang unik. Ada sentuhan Hindu juga India. "Itu yang bikin tertarik, juga historinya," kata Ima.
Lokasi lain yang tak kalah berkesan adalah Kali Code. Ini bukanlah wisata susur sungai, melainkan blusukan ke Kampung Code. Sebuah permukiman orang-orang pinggiran di bantaran Kali Code yang semula kumuh dan melewati tengah Kota Yogyakarta. Tapi kini permukiman tersebut tertata apik, meski tetap padat.
Dari Kampung Kauman, Ima berencana ikut walking tour lagi dengan tujuan blusukan ke Kampung Pakualaman. Bagi dia, sejumlah keunikan baru lainnya akan ditemukan di sana. Tak mengherankan, di pengujung tur di Kauman, sejumlah pertanyaan tentang wisata di Pakualaman dilontarkan oleh Ima kepada pemandunya.
Ima mengakui berwisata dengan berjalan kaki membuatnya bisa melihat lebih dekat dan lebih detail lokasi-lokasi yang menjadi jujugan. Terlebih, ia juga bisa bertegur sapa dengan warga yang mendiami tempat-tempat yang dilalui. Suasana kehidupan di kampung-kampung itu pun turut ia rasakan.
Tak ada persiapan khusus yang disiapkan Ima untuk mengikuti walking tour. "Lihat jadwal. Kalau kebetulan bisa, ya, jalan. Ada waktu kosong, ikut. Oportunis saja," ujar Ima. Pakaian yang dikenakan pun santai. T-shirt dibalut jaket, celana jins, dan pakai sepatu kets. Ima pun tak membawa tas. Semua perlengkapan, seperti dompet dan handphone, masuk di saku jaketnya yang besar.
Komunitas Gang-Gangan sedang berjalan kaki menyusuri gang-gang. Dokumentasi Komunitas.
Jalan Kaki dari Gang ke Gang
Berawal dari hobi jalan-jalan berkeliling kampung, tujuh anak muda berusia 20-30 tahun dari berbagai kota memutuskan membentuk komunitas bernama Gang-Gangan pada Oktober 2021. Komunitas ini tak hanya lahir sebagai wadah bagi mereka yang doyan jalan kaki, tapi juga mengarsipkan tempat hingga kegiatan yang ditemui selama menyusuri gang.
Salah satu pegiat komunitas ini, Shinta Dewi, menceritakan bahwa awalnya kegiatan menyusuri gang ini dilakukan secara personal. "Kami bertujuh sadar suka mengamati sekitar. Ya, sudah, mungkin tugas kami mengarsipkan yang sekarang buat ke depan. Akhirnya, bikin Gang-Gangan," kata warga Yogyakarta itu kepada Tempo, Rabu, 15 Juni 2022.
Saat awal komunitas ini terbentuk, Shinta dan kawan-kawan sering menyusuri gang di daerah Yogyakarta dan Wonosobo. Mereka tertarik pada interaksi sosial masyarakat antar-gang. Di satu gang di dekat Kali Code, Yogyakarta, misalnya, terdapat masyarakat yang masih slow living atau menjalani hidup dengan cara lambat. Padahal, kata Shinta, beberapa menit keluar dari lorong itu, masyarakatnya sudah individualis.
Pegiat Gang-Gangan lainnya, Chintya Dewi, juga merasakan hal yang sama. Menurut perempuan berusia 25 tahun ini, ada saja sesuatu yang berbeda setiap kali berjalan kaki di gang. Bisa saja pada hari itu ia menemukan rumah-rumah model zaman dulu. Esoknya, di gang berbeda, mereka bisa menemukan bunga atau mengobrol dengan ibu-ibu yang sedang berkumpul. "Ada saja kegiatan barunya," tutur Chintya.
Suatu kali dalam kegiatan telusur gang di Yogyakarta, mereka pernah menemukan warga setempat yang sedang mencuci baju di atas batu nisan. Pemandangan itu mereka temukan di Badran, kawasan permukiman yang sempat dikenal sebagai kampung para preman. Shinta mengungkapkan bahwa daerah permukiman tersebut dulunya permakaman Cina. Ia tak menyangka jejak pekuburan itu masih ada, bahkan dijadikan alas mencuci.
Di Wonosobo, komunitas ini juga pernah menemukan sebuah pabrik tahu yang pernah terbakar, tapi kini hidup kembali. Selain itu, Shinta dan peserta telusur gang menemukan perajin tanduk tertua di Kotagede, Yogyakarta, yang tidak memiliki penerus. Ada pula perajin bunga kering yang produknya dikirim ke Bali dan diekspor ke Jepang.
Kegiatan dan temuan itu turut diunggah di media sosial Instagram dan sebagian lainnya di blog. Seiring berjalannya waktu, sejumlah warganet pun menaruh minat dan ingin mengikuti kegiatan telusur gang. Kegiatan telusur ini awalnya memilih gang secara acak. Tapi kini Shinta dan kawan-kawan harus melakukan riset lebih dulu sebelum membuka pendaftaran.
Rata-rata satu rombongan dibatasi maksimal 15 orang. Shinta mengaku tak ingin kegiatan Gang-Gangan menjadi tur wisata berskala besar. Sebab, tujuan mereka menelusuri gang adalah mengarsipkan, bukan hiburan wisata. Setiap peserta biasanya berbagi peran dalam kegiatan. Misalnya, Shinta menyebutkan, bila ada peserta yang bekerja sebagai arsitek, rombongan akan diajak mengamati bangunan. "Jika ada yang suka sejarah, bakal banyak sharing cerita-cerita lawas," ucapnya.
Mereka juga tidak mematok tarif untuk peserta yang ingin menelusuri gang bersama komunitas. Biasanya, kata Shinta, peserta dianjurkan membawa uang tunai untuk jajan atau membeli sesuatu dari pedagang kecil di gang tersebut. Tak ada batas jarak ataupun waktu dalam satu acara telusur gang. Jika mayoritas peserta sudah lelah, kegiatan akan selesai.
Shinta menuturkan kegiatan telusur gang sebetulnya bisa dilakukan siapa saja di daerahnya masing-masing, tanpa harus menunggu Gang-Gangan hadir di kota mereka. "Karena yang ingin kami sebarkan semangatnya, bukan kemudian harus sama kita," ujar perempuan berusia 30 tahun ini. Semangat yang dimaksudkan itu adalah jalan kaki dan peka terhadap sekitar.
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG) | PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo