Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Digital

20 Cerita Fiksi Pendek dari Berbagai Tema yang Menarik

Berikut kumpulan cerita fiksi pendek dengan berbagai tema, mulai dari cinta, impian, hingga pertemanan di sekolah.

16 Desember 2024 | 22.09 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Cerita fiksi merupakan teks yang berisi kisah dari imajinasi pengarang. Cerita fiksi, rekaan, atau khayalan menjadi salah satu media penyalur bagi seseorang yang ingin mencurahkan pandangan dan ide dalam bentuk karya sastra. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir laman Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (SIMPKB), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), cerita fiksi termasuk karya naratif yang isinya tidak didasarkan pada kebenaran sejarah, tetapi imajinasi pengarang. Imajinasi tersebut diolah agar dapat dinikmati pembaca sebagai sarana hiburan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerita fiksi bisa berasal dari pengalaman, tafsiran, pandangan, wawasan, dan penilaian penulis terhadap peristiwa, baik peristiwa nyata maupun hasil rekaan. Lantas, apa saja contoh cerita fiksi pendek yang menarik? 

Contoh Cerita Fiksi Pendek

Berikut beberapa karya yang dikutip dari berbagai sumber: 

1. Cici dan Serigala

-   Penulis: Lilik Choir.

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id. 

Sore itu tiga kelinci kecil, Cici, Pusi, dan Upi bermain bersama di tempat lapang di hutan. Tiba-tiba Cici melihat sesuatu tergeletak dalam bungkus plastik. “Hai teman-teman… lihatlah!” Cici berteriak sambil menunjuk ke arah bungkusan plastik. “Wah…..makanan teman- teman…,” teriak Upi. 

“Asyik….sore ini kita makan enak…,” Pusi bersorak kegirangan. Cici mengambil kue itu, membuka bungkusnya dan tercium aroma harum dari kue itu. Tiba-tiba muncul niat liciknya.“Ah… pasti nikmat sekali apalagi jika ku makan sendiri tanpa berbagi dengan mereka,” gumamnya dalam hati. 

“Teman-teman sepertinya kue ini bekal Pak Tukang Kayu yang sering ke hutan ini, mungkin dia baru saja ke sini dan belum pergi terlalu jauh. Bagaimana jika ku susul kan kue ini, bukankah menolong orang juga perbuatan mulia?” Cici meyakinkan temannya. 

Raut kecewa tergambar di wajah Upi dan Pusi. Mereka gagal makan kue yang beraroma lezat itu. Cici berlari menjauhi temannya dan memakan kue itu sendiri. Tiba-tiba…Bruuukk…!! “Aaahgg….tolooooong…,” Cici menjerit keras. Seekor serigala muncul dari balik semak dan langsung menerkam tubuh mungil Cici. 

Cici pun menangis dan terus berteriak minta tolong. Cici memutar otak mencari cara bagaimana agar ia bisa bebas dari cengkeraman serigala itu. Akhirnya, ia mendapatkan ide. “Pak Serigala, aku punya dua teman disana. Bagaimana jika mereka ku jemput ke sini supaya kamu dapat makan lebih banyak lagi?” Cici berusaha mengelabui Serigala itu. “Baiklah, segera panggil mereka tapi aku harus ikut di belakangmu,” jawab Serigala. “Pelan-pelan saja ya, supaya mereka tidak mendengar langkah kakimu. Aku khawatir mereka akan lari ketakutan.”Cici pun berlari ke arah teman-temannya yang ditinggalkan tadi. Sementara Serigala mengikutinya dengan langkah pelan. Menyadari hal itu, Cici berlari sekuat tenaga sambil sesekali memanggil temannya. 

“Ups…..!”, kaki Cici tiba-tiba terasa ada yang menarik. Ia pun menjerit dan bahkan tidak berani membuka mata. 

“Jangan Pak Serigala…..Jangan makan aku, ampuni aku.” “Sst….., ini aku Ci, bukalah matamu, ini Upi dan Pusi.” “Ayo cepat Ci…..” dengan rasa kebersamaan mereka pun akhirnya selamat. Napas mereka tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Cici menangis tersedu-sedu. “Hik…hik….maafkan aku teman-teman, aku bersalah pada kalian. Aku telah berbohong,” Cici akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya. 

Temannya tidak marah apalagi membencinya. Cici pun berjanji tidak akan mengulanginya lagi. “Sudahlah Ci, kami memaafkanmu,” kata Pusi dengan bijak. “Terima kasih kawan, aku janji tidak akan mengulanginya lagi” jawab Cici dengan tulus. 

2. Serigala dan Kelinci yang Keras Kepala

-   Penulis: Abdul Majis.

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id. 

Pada zaman dahulu, hiduplah seekor serigala. Ia mempunyai kebun mentimun yang sekelilingnya dipagari duri. Hal itu dimaksudkan agar manusia dan hewan-hewan lain tidak bisa memasuki kebunnya. 

Tidak jauh dari kebun itu, terdapat seekor Kelinci kecil bersama ibunya yang tinggal di sebuah lubang. Kelinci ini selalu ke luar dari lubangnya dan menunggu sampai serigala pergi meninggalkan ladang untuk mencari ayam atau yang lainnya untuk dimakan. Setelah merasa yakin serigala telah pergi, Kelinci ke luar dari lubang, lalu melompat dan masuk ke kebun dengan melewati bawah pagar duri. 

Ia memakan mentimun dan memotongnya. Setelah itu, ia kembali ke lubang. Ibunya selalu mengingatkannya agar waspada dari ancaman serigala. 

“Janganlah engkau pergi ke kebun mentimun, Anakku. Dengarkan nasihat ibu. Jangan kau pergi ke kebun itu. Jika serigala menangkapmu, ia akan memakanmu,” kata ibunya. 

Sementara itu, setiap kali serigala pulang, ia menemukan buah mentimunnya telah dimakan dan terpotong. Ia heran dan berpikir, siapa gerangan yang masuk dari pagar dan memakan mentimunnya. 

Suatu hari serigala bermaksud melakukan pengintaian untuk mengetahui siapa yang selalu memasuki kebunnya. Ia bersembunyi di balik pohon dan menunggu siapa gerangan yang datang. Tiba-tiba, seperti biasa, Kelinci kecil ke luar dari lubangnya dan melompat-lompat, masuk dari bawah kawat berduri. Setelah sampai di kebun, ia mulai memakan mentimun. 

Mengetahui hal itu, Serigala segera menyerangnya. Ia berlari dengan cepat dan memasuki kebunnya. Namun demikian, Serigala tidak berhasil menangkap Kelinci kecil itu. Kemudian Kelinci kecil masuk ke lubangnya dan mendatangi ibunya dengan terengah-engah. 

“Apa yang terjadi?” tanya ibunya. Lalu kelinci menceritakan apa yang terjadi dengan serigala. “Bukankah telah aku peringatkan jangan kau pergi ke kebun itu?’ kata ibunya lagi. Tetapi kelinci itu keras kepala dan tidak pernah mendengar ucapan ibunya. Setiap hari ia masih selalu datang ke kebun itu di saat Serigala pergi. Akhirnya, Serigala mencari siasat untuk menjebak dan menangkap Kelinci yang keras kepala itu. Ia pergi dan mengumpulkan getah dari pohon karet yang ada di sekelilingnya. 

Getah ini dijadikan sebuah patung kelinci buatan yang mirip dengan Kelinci keras kepala itu dan meletakkannya di tengah ladang. Ketika Kelinci keluar dari lubang dan masuk dari pagar berduri seperti biasanya, ia melihat ada yang menyerupainya di tengah kebun. Ia mengira itu kelinci lain. Kemudian Kelinci Kecil menghampiri kelinci buatan yang berdiri di hadapannya. 

“Apa yang kau lakukan di kebun ini? Apa yang kau inginkan? Kau kira kau lebih kuat dari diriku? tanya Kelinci Kecil kesal. Ia memukulnya dengan tangan kanannya. Tangannya menyentuh kelinci getah itu, dan tentu saja ia tidak dapat melepaskannya. Kelinci buatan itu seolah menggerakkan tangannya dan menangkap tangan kanan Kelinci Kecil sehingga ia tidak dapat melepaskan tangannya. 

“Ugh! Kau memegang tanganku?” hardik Kelinci Kecil sambil memukul dengan tangan kirinya. Kelinci nakal itu berusaha melepaskan tangannya. Ia bergerak ke kiri dan ke kanan, tetapi tetap tidak berhasil. Karena gerakannya itu, kelinci getah menyentuh bulu dan ekornya. Pada saat itu, keluarlah Serigala dari balik pohon. 

“Sekarang kau terkena tipuanku, aku akan meninggalkanmu agar kau tersiksa oleh getah ini,” kata serigala sambil menyeringai puas. 

“Aku senang seperti ini. Getah ini tidak menyakitiku. Aku akan merasa sakit jika kau lemparkan aku ke atas duri itu,” kata Kelinci Kecil sambil matanya mengerling ke arah duri pagar. 

“Baik, jika duri membuatmu sakit, aku akan melemparkanmu ke sana,” ujar Serigala kesal. Kemudian ia menangkap Kelinci dan melemparkannya ke arah duri. Sebenarnya ucapan Kelinci tadi hanya siasat saja, agar ia dapat melepaskan diri dari getah itu. Ketika Serigala melemparkannya ke duri, ia segera melompat dan melompat, lalu berlari jauh, masuk lubang untuk menemui ibunya kembali. 

Ketika sang ibu melihatnya, ia kaget melihat bulu-bulu anaknya rontok, kulitnya terkena getah, dan ekornya terkelupas. “Apa yang terjadi padamu? tanya ibunya. Kelinci menceritakan apa yang telah dialaminya. 

“Engkau pantas mendapatkan ini. Ini adalah balasan bagi anak kelinci yang keras kepala dan tidak mau mematuhi nasihat ibunya.” 

Sejak saat itu Kelinci tidak pernah lagi ke kebun Serigala. 

3. Impian

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id. 

Rena hidup sebatang kara dengan neneknya di rumah peot yang berada di pinggir desa. Dia adalah anak yang pandai sehingga para guru di sekolahnya sangat menyanjungnya. Suatu hari dia telah lulus SMA. Dia sangat ingin melanjutkan sekolahnya di kota. Karena kepandaiannya dia berhasil masuk lewat jalur beasiswa di PTN ternama di kota terdekat. Neneknya yang sudah tua terpaksa dia tinggal. Karena rumahnya yang berada di tepi desa, dia tidak memiliki tetangga dekat. 

Dia meminta izin kepada neneknya, namun neneknya tidak memberinya izin. Rena sangat marah pada neneknya yang menghalangi niatnya. Neneknya mencoba menjelaskan kepada Rena alasannya, namun Rena tidak menggubrisnya. Nenek mencoba merayu Rena, tapi Rena semakin merasa bahwa hidupnya tidak adil. 

Selama beberapa hari Rena tidak berbicara pada neneknya. Rena merencanakan kabur dari rumah untuk menggapai cita-citanya. Dia tidak peduli lagi dengan neneknya yang dianggapnya telah menghalangi impiannya. Setelah sampai di Kota dia merasa terbebas dengan beban mengurus neneknya.

Sambil kuliah dia bekerja di rumah makan sebagai pelayan. Suatu malam ketika dia pulang kerja dia melihat pengemis renta yang masih menengadahkan tangannya. Dinginnya malam tidak membuat pengemis tersebut terhentak untuk pulang. Rena teringat pada nenek yang telah menjaganya saat kedua orang tuanya telah menghadap sang pencipta. Dia merasa terbebani dan berdosa. Dia mulai kalut dengan beribu macam pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Buat apa aku meraih impianku, jika orang yang seharusnya paling bahagia atas kesuksesanku menderita? Buat apa aku berada di puncak jika, syurgaku tak merasakan kenikmatan? Bagaimana aku tersenyum, jika yang terpenting di dunia ini merintih? 

Setelah mematung cukup lama, Rena memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya malam itu juga. Dia sudah tidak sabar bertemu neneknya. Sampailah ia di rumah peot yang menjadi saksi kedewasaan. Di lihatnya nenek yang masih menata barang dagangan yang diambil dari kebun tetangga, untuk dibawanya ke pasar. Tak kuasa dia menahan tangisannya lagi. Dia sebut dengan lantang sapaan tercinta, dan dia peluk tubuh keriput penuh peluh tersebut. Rena berjanji akan selalu berada di dekat neneknya. 

Akhirnya Rena tidak melanjutkan studinya di kota. Dia habiskan waktunya untuk membantu mengajar anak-anak putus sekolah di desanya. Hidupnya sekarang lebih tenang dan bahagia dari pada saat dia menggapai impiannya tapi membuang muka terhadap apa yang ada di sekitarnya. 

4. Terdampar

-   Penulis: Firdausi.

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id.            

Kupandangi lautan di depanku. Berkilauan di bawah sinar rembulan. Mengingat kembali kenangan yang telah lama tertanam di otakku. Berharap bisa kulupakan. 

Beberapa tahun yang lalu… 

“Icha! Icha! Icha!” Panggil seseorang. Gadis kecil berumur 6 tahunan keluar dari dalam rumah dengan seragam masih melekat di tubuhnya. “Eh, Nanda! Ayo masuk!” Ajaknya ceria. Gadis yang bernama Nanda itu masuk dengan riang. Dia duduk menunggu sahabatnya itu di ruang tamu. “Eh ada tamu, halo Nanda!” Sapa Mama Icha. “Halo Tante!” Sapa Nanda riang. “Mau kemana nih?” Tanya Mama Icha. “Main Tan!” Jawab Nanda. “Ayo Nan!” Ajak Icha yang ternyata sudah siap. Dia sudah berganti baju dengan setelan yang membuatnya tambah manis. Juga tas yang dia bawa. “Ayo! Kita pergi dulu ya Tan!” Ucap Nanda. “Hati-hati ya!” Teriak Mama Icha. Icha melambaikan tangan pada Mamanya. “Nah tinggal jemput Rehan, Angga, Putra sama Hanny!” Ucap Nanda. “Oke!” Sahut Icha riang. 

“Ayo Putra! Cepetan!” Ucap Hanny tak sabar. “Tau nih Putra yang paling ribet!” Protes Angga. “Iya! Iya!” Putra buru-buru menenteng tasnya dan berlari menghampiri teman-temannya. “Let’s go!” Rehan mengangkat tangannya diikuti kelima sahabatnya. 

Mereka akan pergi ke pulau yang ada di tengah-tengah pantai yang tak jauh dari rumah mereka. Menggunakan kapal sewaan. Walaupun mereka masih anak SD, mereka memiliki niat yang sangat berani. Mereka berjalan bersama dengan riang sambil sesekali bercanda. 

Akhirnya mereka sampai di tempat sewaan perahu. Mereka menghampiri sang pemilik. “Kakak! Kami mau sewa perahu itu,” Ucap Putra mewakili sahabat-sahabatnya. “Tapi dek.. berbahaya kalau tidak ada pendampingnya,” Ucap Sang pemilik. “Yah gimana dong?” Tanya Icha kecewa. Padahal dia sudah membayangkan semuanya. “Ah begini saja, kakak suruh teman kakak mendampingi kalian,” Hibur Kakak itu. “asik!” Sorak Icha dan sahabat-sahabatnya. Sebelum berangkat, Rehan tak sengaja melihat Kakak pemilik perahu berbisik-bisik pada temannya. Sesekali temannya itu mengangguk-angguk. Lalu mereka pun berangkat setelah membayar. 

Di tengah perjalanan hujan turun. Tak terlalu lebat, tapi cukup untuk membuat ombak. “Waa! Kakak aku takut!” Teriak Nanda. “Tenang saja dek,” Ucap Kak Nico santai. Kak Nico adalah teman Kak Willy, pemilik perahu. Kak Nico terus mendayung. Tanpa disangka-sangka saat ada ombak besar, Kak Nico dengan sengaja mendorong Enam sahabat itu. “Waaaaa!!” Teriak mereka bersamaan. Byuuur!, mereka jatuh ke dalam air. “Kak Nico! Tolong!” Teriak Angga. “Aaaa!” Hanny mulai menangis. Mereka berusaha agar tak tenggelam ke dalam dasar laut. Mereka berusaha melawan ombak. Kak Nico meninggalkan mereka dengan tawa menggelegar seperti petir. 

“Huhuhu teman-teman aku sudah tak kuat,” Ucap Nanda yang mulai kelelahan. Mereka sesekali masuk ke dalam air karena ombak. “Huah! Bertahanlah Nanda!” Teriak Icha. Kerudung Icha hanyut terbawa ombak. Tak lama Angga tak terlihat. Karena langit gelap dan ombak semakin besar. Satu per satu dari mereka tenggelam. Icha tak memiliki tenaga untuk berenang lagi. Dia perlahan masuk ke dalam air. Tubuhnya kecil dia tak mungkin melawan ombak lagi dengan tenaga seperti itu. 

Icha menahan nafasnya. Dia berdoa di dalam hatinya. Ya Allah, selamatkanlah kami. Lindungilah Icha dan teman-teman. Icha masih sayang Papa dan Mama…, Doa Icha dalam hati kecilnya. Putra, Angga, Rehan, Hanny, dan Nanda juga berdoa dalam hatinya. Icha membuka matanya. Dia melihat temantemannya yang pingsan di dalam air. Tak lama pandangannya buram. Dia sudah tak bisa lagi menahan nafas. Dan akhirnya semuanya gelap. 

“Icha! Putra! Hanny! Icha! Icha!” Samar-samar Icha mendengar suara orang memanggilnya. Dia membuka matanya. “Rehan?” Panggilnya lemah saat melihat anak laki-laki dengan rambut basah duduk di sampingnya. “Icha? Kamu sadar Cha?” Rehan membantunya duduk. Icha mengeluarkan air dari dalam mulutnya. “Uhuk! Uhuk!” Icha terbatuk-batuk. Rehan mengelus punggungnya halus. “Kita masih hidup? Kita masih hidup Han!” Ucap Icha girang. Icha memeluk Rehan dan Hanny yang menghampirinya. “Iya Cha, aku bersyukur banget,” Ucap Hanny. Dia juga baru siuman. “Teman-teman kita terdampar di pulau tujuan kita,” Ucap Nanda dengan suara bergetar. Semua melihat daratan yang berada jauh dari tempat mereka terdampar. “Benar… yang penting kita selamat! Dan masih bersama-sama” ucap Angga. Mereka semua berpelukan dan menangis haru. 

Benar… 

Itu sudah beberapa tahun yang lalu. Jadi di sinilah aku. Icha yang sudah berumur 14 tahun. Menjalani kehidupanku dengan kelima sahabatku. Aku mendongak menatap langit yang penuh bintang. Aku duduk di atas dahan pohon sendirian. “Hey! Sendirian aja nih? Nanti kesambet lho!” Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh, “Eh, Nanda,” ucapku. Nanda duduk di sampingku. “Indah ya?” Komentarnya sambil menatap langit. Aku hanya mengangguk. “Oi! Jangan berduaan aja!” Seketika keempat sahabatku nongol dan duduk bersama aku dan Nanda. Kami sama-sama menatap langit. “Aku rindu Mama dan Papa,” ucap Hanny tiba-tiba. “Aku juga,” ucapku dan Putra kompak. “Apa mereka juga merindukan kita?” Tanya Rehan. “Tak apa-apa, yang penting kita masih bersama-sama. Di sini, di pulau tempat kita terdampar! Anggap saja kita sedang berpetualang!” Ucap Angga yang duduk di antara aku dan Putra. Lalu dia merangkul kami berdua. “Kamu benar,” Ucap Nanda setuju. Kami pun tertawa. 

Benar sekali. Aku tak sendirian. Aku bersama kelima sahabatku. Yang menemaniku di sini. Yang mampu membuatku bertahan hidup. Ya disini. Di pulau kami terdampar. 

5. Hebatnya Dokter Kami

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id. 

Ia adalah Dokter Rana, seorang dokter muda yang sederhana dan terampil. Ayahnya adalah mantan kepala desa kami yang telah meninggal dunia. Dokter Rana baru kembali ke desa kami dua tahun yang lalu, setelah sepuluh tahun lebih merantau ke ibukota. Ia memperoleh beasiswa di Fakultas Kedokteran dan setelah lulus ia praktik di Rumah Sakit Umum Kabupaten. 

Semenjak ia pulang dan praktik di balai kesehatan desa, aku sering mendengar perbincangan warga yang heran atas keputusan Dokter Rana untuk kembali. Mereka bertanya-tanya, bukankah penghasilan sebagai dokter di kota jauh lebih besar? Pada ayahku, Dokter Rana bercerita bahwa cita-citanya menjadi dokter dulu muncul karena melihat kesadaran hidup sehat masyarakat desa yang sangat rendah. Sungai dipakai untuk mandi cuci kakus lalu airnya dikonsumsi, hasil bumi dan peternakan tidak dimanfaatkan untuk membentuk pola makan sehat, karena warga lebih suka menjual seluruhnya ke kota, lalu uangnya dipakai untuk membeli makanan instan. 

Selama praktik di kota, Dokter Rana terbayang terus kondisi desanya dan ia merasa bahwa seharusnya, ilmu yang dimilikinya sebagai seorang dokter bisa bermanfaat untuk kampung halamannya sendiri. 

“Jadi Pak Andri, saya ini pulang untuk memenuhi niat saya ketika menerima beasiswa, yaitu mensejahterakan warga desa di mana saya lahir dan dibesarkan,” ujar Dokter Rana pada Ayah. 

Sejak pulang, Dokter Rana memang aktif membina para remaja dan pasangan suami-istri usia muda. Ia memberikan penyuluhan tentang pentingnya mencuci tangan, memasak air, pola makan sehat dan imunisasi. Baginya, generasi muda adalah alat terbaik untuk menyampaikan misi meningkatkan kesadaran hidup sehat masyarakat desa. 

Sebagai anak kepala desa, Dokter Rana sering mendengar cerita almarhum ayahnya bahwa banyak warga takut berobat karena tidak mampu membayar. Tak ingin hal ini terjadi, maka diumumkannya kepada warga bahwa warga dapat membayar jasanya dengan sampah. Ya, sampah! Sampah kering jenis apa saja yang bisa didaur ulang. Botol plastik, botol kaca, koran bekas, bahkan kemasan bekas, diterima oleh Dokter Rana. Cara ini membuat warga aktif dan bijak mengelola sampah. Sungguh kreatif dan cerdas cara Pak Dokter mendidik warga. 

Seperti mendiang ayahnya, Dokter Rana menjadi sosok yang dicintai warga desa. Ia menjadi teladan melalui dedikasi, tanggung jawab, dan kerendah-hatiannya dalam menolong warga. Apabila aku besar nanti, aku ingin seperti Dokter Rana. Akan kukejar cita-citaku menjadi guru, dan aku akan kembali untuk membangun kampung halamanku. 

6. Tak Ada Rotan, Akar pun Jadi

-   Penulis: Wahyuningsih Noor Soedira.

-   Sumber: cdn-gbelajar.simpkb.id. 

“Pati kemarin kamu masak memakai bahan daun bayam,” todong Lia pagi ini di sekolah.” 

Nini menoleh kaget. “Kamu…..,” ucapannya menggantung. Ia tatap Lia lama-lama dengan rasa heran. 

“Aku kan punya ilmu kebatinan,” Lia tertawa jenaka.” Bisa menebak apapun yang kamu masak di setiap hari minggu.” 

“Tiap hari minggu aku memang selalu bantu Ibu masak,” ujar Nini tanpa berkedip. “Kemarin aku membuat bakwan bayam,” lanjutnya polos. 

“Oho!” alis Lia terangkat tinggi dibarengi senyuman manis. “Tapi, harusnya kan memakai wortel, taoge, dan daun bawang?” 

“Itulah, aku tidak menemukan ketiga bahan itu. Karena darurat, kuganti saja dengan daun bayam,” ujar Nini tertawa kecil. 

“Sesuai dengan kata pepatah ‘tak ada rotan akar pun jadi’?” goda Lia. 

“Benar. Bakwan bayam tak kalah lezat lo,” Nini mengangkat ibu jari tangannya, sementara pandangannya tetap lurus ke wajah Lia. 

“Lezat ya, lezat, tapi jangan memelototiku seperti itu!” Lia mendorong lembut sebelah pipi Nini dengan telapak tangannya. Lantas keduanya tertawa bersama. 

Nini benar-benar dibikin penasaran oleh teman barunya itu. Ya, Lia baru tiga bulan ini menjadi teman sekelas Nini. Benarkah Lia memiliki ilmu kebatinan? Nini menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lalu nyengir sendiri. 

… 

Senin lalu, Lia juga menebak dengan tepat, “Kemarin kamu membuat masakan menggunakan daun mangkuk, kan?” Yess, Nini pun menerangkan, ia membuat rempeyek daun mangkuk sebagai pengganti kacang, lalu….sreeeng! Senin sebelumnya Lia pun bias menebak dengan tepat. “Kemarin kamu memasak menggunakan jantung pisang!” Hmmm, Nini menerangkan ia membuat oseng-oseng jantung pisang sebagai pengganti oseng-oseng teri medan. 

“Tenang. Selamat ulang tahun,” sahut Lia mengagetkan. Ia mengulurkan sebuah buku mungil yang sama persis dengan miliknya. “Untuk mencatat resep-resep barumu. Resep-resep itu perlu dipatenkan, lo.” 

Nini garuk-garuk kepala sambil menatap Lia. Lalu, “Kamu serba penuh kejutan sih? Tahu dari mana tanggal lahirku? Aku sendiri malah lupa kalau hari ini ulang tahun.”

“Dari rapormu.”

“O,” gumam Nini. Diterimanya buku mungil dari Lia dengan terharu. “Terima kasih banyak.”

“Jadi serius amat?” ujar Lia menepuk bahu Nini.

Lantas keluar kamar. 

Lagi-lagi Nini melongo.

“Enak lo,” Lia mengambil sebiji dan menggigitnya.

Kriuk….. 

7. Se-Sapinya Aku

-   Penulis: Fauziah Khairani Lubis.

-   Sumber: Mirror Flash Fiction (Fiksi Pendek) melalui repository.penerbitwidina.com. 

Hari ini aku dan Tomyam berolahraga, mengelilingi lapangan sepuluhan kali.

Aku berkeringat, Tomyam juga.

Kukatakan padanya, kalau sudah waktunya berhenti, bilang saja.

Terselip arti, aku sudah lelah hehehe.

Semakin berat saja langkahku, Tomyam masih melaju. Kupandangi pahaku yang gede, terbayang betis berat di belakang, kupandangi perut yang juga keras mengepal, banyak dagingnya. Ih…

Lalu sehabis olga, kami melewati ruang klinik yang di dalamnya tentu ada timbangan.

Tomyam senang karena beratnya berkurang. Aku manyun, aku bilang, kalau aku ini sapi, orang akan berebut membeli aku, karena dagingku banyak, bukan padat, tapi banyak, menggeleber ke sana-sini, membentuk sayap tapi tak bisa dibuat terbang, ih.

Tomyam tertawa.

Aku melanjutkan lamunanku, sambil jalan balik ke kantor- seandainya aku sapi, aku di belah-belah, ketemu lemak dimana mana, orang-orang akan bergembira-ria, karena ketika aku ditimbang, aku beratnya bikin melongo, istilahnya daging impor nih, ih.-- 

8. Hamil Ular

-   Penulis: Fauziah Khairani Lubis.

-   Sumber: Mirror Flash Fiction (Fiksi Pendek) melalui repository.penerbitwidina.com. 

Dita bingung sekali karena perutnya membuncit dari hari ke hari. Dia menyadari bahwa akhir-akhir ini selera makannya bertambah dan lebih suka ngemil. Setiap hari dia mengobservasi perubahan-perubahan di perutnya yang semakin menggunung. Yang membuat dia lebih depresi adalah saat rebahan di malam hari, terlihat olehnya hanya bagian atas perutnya, tidak lagi rata. Kata Tina, teman baiknya, ukuran seseorang gendut apa nggak itu dari saat rebahan, apakah hanya terlihat perut saja atau masih terlihat sampai bawah.

Kenyataan itu membuat Dita panik sendiri, mengeluh ke mana-mana terutama kepada tante dan teman-teman satu kampusnya namun tidak juga melakukan tindakan nyata seperti berolahraga atau diet.

“Dit… Aku jadi khawatir juga melihat perubahanmu, kata Tina, karena Dita tak henti mempertanyakan perutnya.

“Bagaimana kalau kita periksakan keadaan perutmu ke Torik”

”Torik?”

“Ya dia teman di SMP kita dulu, sekarang sudah jadi dokter, kamu ingat gak? Yang wajahnya manis ...ada gingsulnya...yang dulu suka bolos tanpa sebab itu…” “

Oh iya iya… Torik manis aku tau... Kog kamu bisa ketemu dia?”. 

9. Manusia Vs Monkey

-   Penulis: Fauziah Khairani Lubis.

-   Sumber: Mirror Flash Fiction (Fiksi Pendek) melalui repository.penerbitwidina.com. 

Tersebutlah di sebuah pohon kelapa, Monkey manis sedang nongkrong dengan senyum garing. Ia sedang mengamati hiruk pikuk pasar jam 9 pagi. Matahari mulai menggarang. Ia mulai merasa haus.

Pergilah si Monkey mencari-cari sesuatu untuk pelepas dahaga. Saat ia turun sedikit ke bawah, ia melihat seorang ibu yang sedang ingin berbelanja kaos olahraga buat anaknya..

“Ini berapa Pak?”

“80.000 Bu”

“Wah mahal amat?” si ibu komplen dengan raut wajah yang seramdisekanya keringat yang sudah menjagung.

Kemudian dia berlalu setelah tawar-menawar yang alot dan si penjual tetap pada pendiriannya. Dengan masih emosi si ibu kembali menjelajahi kios-kios di sekitarnya, Monkey tetap mengikuti. Dan berhentilah si ibu pada satu kios kecil yang tampak lebih sederhana dari yang lainnya. Di sana terlihat kaos putih juga, mirip sekali seperti di kios pertama dan matanya terbelalak melihat harganya.

“Wah ini harganya 40 ribu pak? Beneran? Kok murah amat???? Apa bisa tahan dipakai setahun pak?” 

10. Malaikat Jengkel

-   Penulis: Fauziah Khairani Lubis.

-   Sumber: Mirror Flash Fiction (Fiksi Pendek) melalui repository.penerbitwidina.com. 

Pahlawan kesiangan itu berteriak, maliiiiiiiiing-maliiiiiiiing!!

Dengan batu di tangan kanannya hendak melempar si maling gelagapan si maling berlari-jauh, melompati pagar setinggi gunung yang baru lahir.

Tapi ia yang teriak maling-maling itu tersandung, jatuh berdarah-jidatnya pecah.

Malaikat membuatnya tersandung, karena ia tak sadar,...

kaulah maling, halus tapi menjengkelkan; sering mencuri ide orang yang kau sebut idemu- jangan lagi kau teriaki orang maling ya

‘Sentil malaikat yang jengkel.

Seketika si pahlawan kesiangan menghapus jejak malingnya di seluruh tautan Google- tulisannya satu-satu di take down, khawatirnya si malaikat jengkel memanggil temannya, si malaikat pencabut nyawa. 

11. Palsu

-   Penulis: Fauziah Khairani Lubis.

-   Sumber: Mirror Flash Fiction (Fiksi Pendek) melalui repository.penerbitwidina.com. 

Aku gak pernah mengerti kenapa cewek yang satu ini selalu bisa membedakan mana tas yang asli atau KW.. Setiap ada orang lain membawa tas, dia akan dengan sigap mengatakan, wah itu tas asli atau wah itu yang palsu…..jeli banget, pikirku. Lalu dia juga mengetahui segala jenis mobil beserta harganya.. heran juga. Bahkan dia sangat up to date dengan jenis mobil keluaran terbaru. Terkadang aku bertanya tanya apakah dia memiliki begitu banyak waktu mempelajari itu semua.. atau dia memiliki bakat sedemikian rupa hingga dapat mengingat dengan cepat segala informasi yang didapatnya...

Tambahan lagi, dia juga tau mana yang berlian asli, mana yang palsu. Dan yang paling tidak kusuka adalah senyum miringnya yang sinis ketika merasa pasti bahwa tas yang dipakai temannya yang lain palsu..

Apa sih, pikirku, mau palsu mau asli juga kan yah.. itu urusan orang masing-masing.

Suatu hari aku dengar khabar yang mengejutkan, temanku yang sangat informatif itu dipecat dari kantornya dengan alasan bahwa hasil kerjanya selalu bersalahan. 

12. Kapal Kakek Bori Si Beruang Bijak

-   Penulis: Rizkyah Salsabila, Fika Beti Rahmah, Khofifah Naila Muna, dan Nabilla Rizky Amalia.

-   Sumber: statik.unesa.ac.id. 

Siang hari yang cerah, Lubi si Zebra merasa sangat bosan berjalan-jalan mengelilingi hutan Karudalang. Lubi terus berjalan hingga akhirnya Lubi sampai di depan rumah Kakek Bori si beruang bijak. 

Kakek Bori sedang mengerjakan sesuatu di pekarangan rumahnya, terlihat banyak kayu dan perkakas berserakan. Lubi sangat tertarik, dia mendatangi Kakek Bori.

“Halo kakek Bori.” serunya.

“Kakek sedang apa?” Tanya Lubi sambil penasaran.

“Hai Lubi, Kakek sedang membuat mainan dari kayu-kayu ini.” jawab Kakek Bori. 

Setelah itu ia masuk ke pekarangan rumah Kakek Bori dan melihat-lihat mainan kayu buatan Kakek Bori.

“Bisakah kita membuat kapal yang besar? Jadi kita bisa masuk kedalamnya” kata Lubi.

“Wow… ide yang menarik itu Lu, ayo kita buat“ kata kakek Bori.

Keduanya pun menyiapkan bahan-bahan dari kayu-kayu yang ada untuk membuat kapal yang besar. 

Kemudian keduanya pun mulai membuat kapal. Tak lama, Riri si Bebek dan Momo si Monyet lewat di depan rumah Kakek Bori.

Mereka berdua langsung menghampiri setelah melihat Lulu dan Kakek Bori sedang membuat kapal. 

Kemudian Kakek Bori, Lubi, Riri dan Momo membuat kapal kayu bersama-sama.

Kakek Bori dan Lubi menyusun dan memaku kayu menjadi sebuah kapal. Sementara Momo mengecat kapal, Riri menyiapkan kain yang lebar untuk dijadikan layar kapal.

Karena dikerjakan bersama-sama kapal itu tidak akan membutuhkan waktu yang lama untuk selesai. 

Setelah kapal selesai, mereka bersama-sama mendorong kapal itu menuju danau. Sesampainya di danau, mereka bersama-sama masuk kedalamnya.

Kapal kayu hasil buatan Kakek Bori, Lubi dan teman-teman berlayar dengan indah di atas danau. 

Suasana di dalam kapal sangat menyenangkan.

“Sekarang saat nya kita memancing!” kata Kakek Bori mengajak Lubi, Riri dan Momo. Kakek sudah menyiapkan alat pancing yang dibawa dari rumah. 

Kakek Bori menjaga kapal, kemudian Lubi dan teman-teman memancing ikan. Waktu pun sudah mulai sore, ikan yang dipancing pun banyak hingga ember yang disiapkan Kakek Bori penuh dengan ikan. Kapal pun dibawa ke tepian danau.

 

“Terima kasih Kakek Bori dan teman-teman, hari ini menjadi hari yang sangat menyenangkan!” kata Lubi dengan gembira. Kemudian Lubi, Momo dan Riri pulang ke rumah dengan membawa ikan hasil tangkapan mereka. 

13. Berani Mengemukakan Pendapat Kepada Ibu

-   Penulis: Endang Fatmawati.

-   Sumber: Aku Anak Berani dan Pantang Menyerah melalui eprints2.undip.ac.id. 

Anak perlu diberikan kesempatan untuk mengungkapkan pendapat sejak dini. Hal ini sangat penting. Uswah, begitu panggilan sayangnya di keluarga. Ia adalah anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Saat ini ia kelas 4 SD. Ia anak yang cerdas dan periang. Namun, sepertinya kurang percaya diri ketika mengemukakan pendapat. 

Hal ini tampak ketika ibunya menginginkan sesuatu, tetapi sebetulnya ia tidak cocok. Meskipun diam, tetapi ia merasa keberatan. 

Pernah suatu ketika, ibunya mengajak ke salon untuk potong rambut. Nah, pada saat Ibu mengobrol kepada Kapster, terdengar bahwa Ibu meminta agar rambut Uswah dipotong pendek pada bagian poninya. 

"Poninya dipendekkan saja ya, Mbak," kata Ibu kepada Kapster.

"Oh iya, Bu," jawab Kapster tersebut. 

Uswah yang kondisinya sedang dipotong segera menyahut pembicaraan antara Ibu dengan Kapster.

"Ibu, mohon maaf, poninya biar panjang saja ya, Bu. Aku suka. Menurutku, justru poni yang membuat penampilanku menjadi lebih cantik. Agar rapi tampilannya, nanti aku jepit saja supaya tidak menutupi jidat. Bagaimana, Bu?" pinta Uswah.

"Oh begitu maumu? Ya sudah, kalau begitu," jawab Ibu.

"Hore... poninya tidak jadi dipotong. Asyik, he ... he..." ucap Uswah kegirangan.

"Wah, hebat anak Ibu ini. Sudah berani mengemukakan pendapat kepada Ibu," puji ibunya. 

14. Sore Hari di Pantai Kuta

-   Penulis: Wagiman dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Yang Aku Pikirkan melalui repository.penerbiteureka.com. 

Namaku Malika Nattaya. Orang asli Bali. Sekarang aku sedang di Pantai Kuta. Menikmati angin sore. Sore ini sangat cerah. Aku menulis sesuatu di pasir menggunakan kayu. 'Malika dan Erin' itu yang kutulis. 

Erin adalah sahabatku. Nama lengkapnya adalah Erina Matthew. Sekarang dia sudah menemui sang kuasa. Aku teringat kejadian itu. Mataku mengalir.

"Malika!!!" Erin berteriak saat aku sedang menangis di pantai ini. Aku tidak menghiraukannya.

"Hey! Kenapa kau menangis?" tanyanya.

"Baju ibu hanyut di laut," kataku. Aku takut dimarahi ibu.

"Akan aku ambilkan!" Erin melepas bajunya. 

Dengan legging dan kaus ia berenang ke laut, padahal waktu itu sudah hampir malam. Aku terus menunggu dengan cemas. Sampai seorang nelayan datang menghampiriku.

"Adek ngapain malam-malam di sini?" Tanyanya.

"Bapak akan melaut? Tolong carikan teman saya, dia dari sore belum kembali," aku dengan gelisah menjelaskan.

Bapak itu mengangguk. Aku disuruh menunggu di rumahnya. 

Esok pagi bapak itu kembali dengan Erin.

Aku sangat senang. Tapi raut wajah bapak itu tidak senang.

"Maaf dek, teman adik sudah ditemukan mengambang di air.

Dan dia sudah pergi," bapak itu berkata dengan wajah tertunduk. 

Aku tak percaya akan hal ini. Sahabatku pergi karena aku! Aku menyesali perbuatanku untuk tidak melarangnya. Aku menangis sejadi-jadinya saat itu. 

Kini pantai ini adalah saksi bisu persahabatan kami, dan untuk pengorbanan Erin. Semoga kau tenang di sana Erin! 

Selamat Jalan, Erin! 

15. Kesalahan Dibalas Emosi

-   Penulis: Wagiman dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Yang Aku Pikirkan melalui repository.penerbiteureka.com. 

Aku Virda, aku beruntung mempunyai sahabat yang selalu ada untukku, kami melewati suka duka bersama. Suatu ketika aku dan sahabatku bertengkar karena masalah yang kuanggap sepele, semua itu baru kusadari bahwa sahabatku sangat penting bagiku. 

Suatu hari aku pergi ke mal bersama sahabatku, aku menyuruhnya membawa belanjaanku, dan ternyata belanjaanku yang dibawanya tertinggal. Saat itu juga aku marahi dia dengan perkataan yang kasar karena keegoisanku.

"Vir, tolong pegang belanjaan ku ini ya, soalnya berat banget" kataku.

"Iya sini aku bantu bawa belanjaannya, takut kamu keberatan" katanya.

"Siap, kamu memang sahabatku yang paling pengertian" jawabku.

"Haha iyalah sesama sahabat memang seharusnya saling membantu" jawabnya sambil tersenyum. Sembari berpelukan.

"Kamu lapar enggak?" tanyanya.

"Lapar si, mulai keruyukan nih perut" jawabku.

"Makan yuk! sekarang aku yang traktir, aku juga lapar" sambil menatapku dengan lemas.

"Hmm, ya sudah ayoo" jawabku. 

Lalu, sampailah kami di warung seberang mal.

"Kamu mau pesan apa vir?" tanyanya.

"Aku ngikut kamu deh" jawabku.

"Hmm, oke deh" jawabnya. 

Beberapa menit kemudian kami selesai makan dan mulai berkendara untuk pulang.

"Eh.. kayaknya ada yang ketinggalan deh, tapi apa ya?" tanyanya dengan muka yang heran.

"Hmm, apa ya?" aku membantu berpikir.

"Oh iya belanjaanku mana?" celetukku.

"Ya ampun.. oh iya aku lupa, ketinggalan di warung tempat kita makan tadi" jawabnya dengan rasa bersalah

"Apa? Ketinggalan? Yang bener aja, kita kan udah jauh dari warung tempat kita makan tadi" jawabku dengan kesal.

"Duh, maaf banget ya vir, aku benar-benar lupa" jawabnya dengan berkeringat.

"Apa? minta maaf? kamu pikir dengan minta maaf bisa membuat barangku kembali dan masalah selesai? Enggak kan? Seenaknya aja kamu minta maaf" jawabku dengan kesal, lalu tanpa basa basi aku pergi meninggalkannya. 

Keesokan hari, dia datang membawa belanjaanku dan meminta maaf karena kejadian kemarin, tetapi aku tetap menghiraukan nya. Maka setelah beberapa lama lama, aku sadar bahwa hal yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan, dan aku tersadar betapa egoisnya diriku. Aku pun meminta maaf. 

16. Sang Detektif

-   Penulis: Wagiman dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Yang Aku Pikirkan melalui repository.penerbiteureka.com. 

Keadaan kelas lima yang diketuai Herman benar-benar menjadi perhatian para pamong guru. Betapa tidak. Murid- muridnya pandai dan rajin. Mereka menjalankan perintah gurunya. Baik sukar maupun mudah. Mereka malahan merasa senang kalau diberi pekerjaan rumah alias PR, Semua PR dikerjakan dengan sungguh-sungguh. Pokoknya membuat para pamong guru kalau mengajar dikelas ini merasa senang. Bahkan ingin mengajar terus. Tapi jam pelajaran terbatas. 

Namun semuanya itu lenyap seketika. Nama baik yang disandang kelas lima kelasnya Herman, akhir-akhir ini menjadi tercemar. Namanya menjadi bahan ejekan kelas lain. Betapa tidak. Kelas yang tadinya terkenal anak-anak yang baik dan pandai. Tiba-tiba saja kok ada uang hilang. Uang itu kepunyaan Tutik salah satu siswa di kelas itu, uang itu akan digunakan untuk membayar SPP sekolah. Tetapi salah satu murid kelas lima cepat melaporkan kepada para guru tentang kejadian tersebut. Para guru menjadi terheran. Kaget. Namun uang Tutik benar-benar telah hilang. Tanpa tahu siapa yang telah mengambilnya. Satu persatu murid di kelas lima ditanya, dan tasnya diperiksa. Namun tidak membuahkan hasil.

"Ah, siapa yang mengambil uang itu?' desah salah seorang guru. 

Keadaan kelas lima dibuat resah atas kejadian pencurian uang. Terlebih Herman sebagai ketua kelas. la malu. Ia bertekad untuk menangkap si pencuri uang. Hingga pada suatu perundingan.

"Kawan-kawan...! Kita telah dibuat malu atas kejadian ini". Kata Herman. Tono, Andri dan Giman mendengarkan dengan nafas tegang.

 

Sementara itu Herman melanjutkan;" Apakah teman- teman mau menangkap si pencuri itu?

"Aku mau dan setuju!" jawab Giman cepat,"karena aku juga menjadi malu, kelas kita menjadi ejekan kelas lainnya". Pernyataan Giman diiyakan oleh Tono dan Andri.

"Baiklah kalau begitu, kita akan berbagi tugas" kata Herman penuh semangat. Sejenak kemudian mereka membagi tugas. 

Namun setelah tugas masing-masing dilaksanakan. Hasilnya nihil, blonk kosong. Sementara itu para pamong guru belum dapat menemukan atau belum menaruh curiga siapa pencuri uang itu. Pengamatan situasi tetap dijalankan. Tidak lengah. 

Namun para guru dan Herman dengan kawan- kawannya menjadi terkejut untuk kedua kalinya. Betapa tidak. Persoalan yang satu belum selesai, muncul peristiwa lain yang sejenis. Kali ini uang yang diambil milik Tono. Dua ribu rupiah. Padahal waktu itu semua murid kelas lima sedang berolahraga. 

Sementara itu Herman bertambah geram. Dicobanya sekali lagi membagi tugas. Hingga pada suatu saat Ketika kelas lima berolahraga lagi, Herman, Tono, Andri dan Giman tidak ikut berolahraga. Mereka melakukan pengintaian, siapa yang suka mencuri uang siswa. Mereka bersembunyi dibawah kolong kursi dan meja. Agak lama mereka. 

17. Rasa Karsa

-   Penulis: Sumiyati dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Kontemporer Mencari Aku di Dalam Aku melalui repository.penerbiteureka.com. 

Aku takut jika aku tidak bisa menangis kembali. Hari yang penuh amarah. Walaupun aku tidak sedang marah. Hari yang penuh air mata. Walaupun air mata ini bukan lagi meneteskan air mata. Aku takut bila mata ini sudah tidak mengenali perasaanku kembali. Yang biasanya menggenggam rasa dengan air mata, tetapi sekarang tidak ada sedikitpun rasa yang datang. Apakah kesedihan sudah punah di dalam hati ini? Mungkin saja aku belum bisa menemukan kesedihan di hidupku. Yang ada malah kebahagiaan yang selalu menyertai. Sedikit rindu untuk rasa yang sudah lama tidak aku rasakan. Terkadang keinginan untuk menangis selalu ada,karena kumpulan kesedihan telah roboh di bendungan kesenangan. Bagiku untuk menikmati hidup tidaklah hanya tertawa, melainkan juga menangis itulah cara menikmati hidup. Kesenangan dan kesedihan sebenarnya sudah satu paket yang saling melekat. Tidak terpisahkan apalagi tergantikan. Hanya menunggu waktu tiba untuk rasa itu hadir. Tetapi entah bagaimana sekarang menangis adalah peristiwa yang langka di hidupku. Tidak ada rasa yang mendalam, tidak ada rasa yang mendominasi, tidak ada rasa yang spesial. Tersenyum pun seperti terpaksa, tidak ada unsur nyawa di dalam tawa. Melainkan mati rasa yang ada. Perlahan aku mencari kesedihan yang ada di sekitarku. Dengan caraku mungkin bisa menemukan di daerah pekarangan rumah atau menemukan di depan mata. Mustahil bila mencari sesuatu tetapi sesuatu itu tidak terbayang oleh pikiran. 

18. Obrolan Pohon

-   Penulis: Sumiyati dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Kontemporer Mencari Aku di Dalam Aku melalui repository.penerbiteureka.com. 

Pertumbuhan ini tidak akan sia-sia. Menjulang tinggi layaknya pohon jati dan kokoh layaknya pohon beringin. Pohon yang banyak diidam-idamkan oleh banyak orang. Tinggi menjulang dan bila dipotong memiliki batang yang penuh seni. Serat pada kayu memiliki keabstrakan yang membantu pertumbuhan dari kecil hingga besar. Tetapi ini bukan tentang pohon jati yang ditebang. Justru ini tentang meningginya pohon tersebut dengan cara tidak terburu-buru. Dalam arti pohon jati yang tertanam sekarang, mungkin hanya anak cucu kita yang bisa menikmatinya nanti. Cukup lama bila ditunggu. Tapi siapa juga yang akan menunggu pohon jati tumbuh di sampingnya. Jika orang menanamnya di kebun yang subur, ia akan senang dengan tanah yang basah dan segar. Tidak bisa dipungkiri juga, pohon jati tidaklah naif. Perasaan di dalam serat batangnya menerima beribu-ribu peristiwa dalam proses pertumbuhan. Tidak ditemani oleh siapapun kecuali ilalang yang ada di bawahnya. Walaupun tumbuh di bawah dan diinjak ² injak, ilalang tetap sabar menemani pohon jati tumbuh. Tidak jarang mereka saling mengobrol membicarakan kehidupan ilalang yang singkat. Begitu juga pohon jati, ia juga membicarakan tentang hidupnya seperti ilalang di sampingnya. Tetapi dengan hidup yang berbeda. Justru hidupnya yang panjang menyertai pohon jati. Tidak jarang juga mereka berdua suka membanding-bandingkan nasib yang telah ditetapkan oleh tuhan. Pohon jati bilang. 

19. Tangisan Awan

-   Penulis: Sumiyati dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Kontemporer Mencari Aku di Dalam Aku melalui repository.penerbiteureka.com. 

Hujan di bulan juni telah memanggilku untuk bermain di bawah rintiknya yang syahdu dan hikmat. Setiap tetesannya seperti akan merangkul ragaku dengan ditandai basah kuyupnya tanah dunia. Menimbulkan semerbak bau hujan yang pandai menghipnotis perasaan sunyata manusia. Sungguh, rindu itu yang pertama kali menghampiriku saat mata ini terpejam membayangkan kisah klasik dengannya. Mungkin dingin menyertai cerita berdua, tapi senyumnya mampu menghangatkan kembali dan membuat cinta bersemi. Aneh, cinta bersemi di tengah musim hujan.

"Nesa, jangan ciprati aku terus dong"

"Hahaha, lagian kamu mulai duluan"

"Dasar kamu, ayo main hujan lagi mumpung bulan Juni" 

Suara mereka menggema di tengah tebasan air hujan yang jatuh dari langit. Tampaknya juga matahari belum bangun dari tidurnya yang pulas, mungkin matahari juga sedang menikmati hujan yang menghipnotis teriknya yang biasa muncul. Rahasia demi rahasia mereka ucapkan dengan rasa lepas dan bebas. Berputar-putar dan menari juga sering ia lakukan di tengah pentas hujan yang semakin deras, seakan-akan hujan bertepuk tangan menyaksikan mereka berdua menari. Nada yang tercipta oleh hujan pun juga mengasyikkan untuk didengar oleh makhluk yang ada di bumi. Tetes per tetes berjatuhan melewati pucuknya daun pohon, turun ke batang lalu jatuh ke pinggiran akar. 

20. Rumah Ramah

-   Penulis: Sumiyati dan Khaidar Naufal Pasingsingan.

-   Sumber: Kumpulan Cerpen Kontemporer Mencari Aku di Dalam Aku melalui repository.penerbiteureka.com. 

Senja sudah tiba. Biasanya Hati dan Ima pulang bersama setelah bermain di rumah tetangga. Ada tetangga yang masih baik kepada kita, dan ada juga yang selalu mencela. Hanya menghina karena tinggal di rumah bernama raga. 

Agak tidak sopan, tapi begitulah kata mereka. Melihat suatu nyawa hanya dari covernya. Padahal belum tau di rumah itu ada penghuninya. Mereka pun pulang menyusuri sungai yang mengalir dan bergelombang, jika dilihat membuat mata terasa mengantuk. 

Tidak heran jika alam mempunyai cara menghipnotis penghuninya, seperti raga yang menghipnotis Hati dan Ima agar mereka selalu kuat untuk merawatnya. Bagaimana jika bukan mereka sendiri yang merawat, sudah pasti raga akan hancur. 

Di tengah perjalanan Hati dan Ima melihat rumah yang hampir sama seperti raga, mungkin lebih parah dari raga. Rumah itu mempunyai tembok tetapi seperempatnya sudah hancur. Mempunyai pintu, tetapi gagangnya sudah berkarat dan tidak bisa digunakan kembali. Juga mempunyai atap, tetapi atapnya berlubang. Mengakibatkan perabotan yang ada di dalamnya keropos, tidak terurus, dan tertimpa hujan. Mereka berdua langsung menghampiri rumah tua itu.

"Ayo kita ke rumah itu", kata Hati kepada Ima yang berada di sampingnya.

"Mari kita come on", menyahut dengan nada si unyil.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus