Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan pipa bahan bakar utama Amerika Serikat Colonial Pipeline mengalami offline akibat diretas oleh penjahat siber atau peretas (hacker). Peretasan tersebut dlilakukan oleh kelompok yang menamai dirinya sebagai DarkSide.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tujuan kami adalah menghasilkan uang dan tidak menciptakan masalah bagi masyarakat," tulis DarkSide di situsnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip NPR, Senin, 10 Mei 2021, operator Colonial Pipeline offline sejak Jumat, 7 Mei, dan pekerjaan untuk memulihkan layanan terus berlanjut. Amerika juga mengeluarkan Undang-Undang Darurat pada Minggu, 9 Mei, setelah Colonial Pipeline terkena serangan cyber ransomware.
Pipa tersebut membawa 2,5 juta barel per hari—45 persen dari pasokan solar, bensin, dan bahan bakar jet di Pantai Timur Amerika. Pada Senin, 10 Mei 2021 FBI resmi mengonfirmasi bahwa DarkSide bertanggung jawab untuk membahayakan jaringan Colonial Pipeline.
DarkSide menyusup ke jaringan Colonial Pipeline dan mengunci data di beberapa komputer dan server, serta menuntut uang tebusan pada hari Jumat. Menurut BBC, geng tersebut mencuri hampir 100 GB data, dan mengancam akan membocorkannya ke internet.
Menanggapi serangan itu, perusahaan dengan cepat membuat sistem tertentu offline untuk menahan ancaman. “Serangan itu menghentikan sementara semua operasi pipa dan mempengaruhi beberapa sistem TI kami, yang secara aktif sedang kami pulihkan,” ujar pihak Colonial Pipeline.
Sejumlah peneliti keamanan dunia maya berspekulasi bahwa geng penjahat dunia maya itu mungkin orang Rusia karena perangkat lunak mereka menghindari enkripsi sistem komputer mana pun yang bahasanya disetel sebagai bahasa Rusia.
Presiden Amerika Joe Biden mengaku prihatin tentang aspek serangan dunia maya ini. Dia bahkan berencana untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Meskipun belum ada bukti, orang-orang intelijen menyebutkan bahwa Rusia terlibat.
Pada briefing media Gedung Putih pada Senin, penasihat keamanan dalam negeri Elizabeth Sherwood-Randall mengatakan bahwa Colonial Pipeline menutup saluran pipa sebagai tindakan pencegahan. “Untuk memastikan bahwa ransomware tidak dapat ditransfer dari sistem bisnis ke sistem yang mengontrol dan mengoperasikan saluran pipa."
DarkSide memposting pernyataan di situsnya yang menggambarkan dirinya sebagai apolitis. "Kami tidak berpartisipasi dalam geopolitik, tidak perlu mengikat kami dengan pemerintah yang ditentukan dan mencari motif kami," kata kelompok itu.
Grup tersebut juga mengindikasikan bahwa mereka tidak mengetahui mengapa Colonial Pipeline menjadi sasaran salah satu afiliasinya. Mereka mengatakan: "Mulai hari ini, kami mengenalkan moderasi dan memeriksa setiap perusahaan yang ingin dienkripsi oleh mitra kami untuk menghindari konsekuensi sosial di masa depan."
Anne Neuberger, wakil penasihat keamanan nasional untuk dunia maya dan teknologi baru, yang juga hadir dalam briefing menggambarkan serangan itu sebagai ransomware varian layanan. “Di mana afiliasi kriminal melakukan serangan dan kemudian membagikan hasil dengan pengembang ransomware,” katanya.
Dia menyebut jenis serangan ini baru dan mengganggu, bahkan FBI telah menyelidiki DarkSide sejak Oktober 2020. Situs web Bleeping Computer, yang mencakup teknologi komputer, menerbitkan sebuah artikel pada Agustus yang mengenalkan DarkSide dan mengatakan bahwa grup tersebut telah memulai serangan pada bulan itu.
Situs web tersebut menerbitkan sebuah siaran pers yang konon berasal dari DarkSide yang mengatakan bahwa grup tersebut hanya akan menyerang perusahaan yang dapat membayar jumlah yang diminta. “Kami tidak ingin membunuh bisnis Anda,” tulis DarkSide.
Pada prinsipnya, DarkSide menerangkan bahwa pihaknya tidak akan menyerang rumah sakit, sekolah dan universitas, organisasi nirlaba, dan sektor pemerintah. Pada saat itu, tuntutan tebusan hacker itu berkisar antara US$ 200 ribu hingga $ 2 juta.
NPR | REUTERS | BBC | DARKSIDE
Baca:
Satu Kampung di Yogya Jalani Lockdown Setelah Puluhan Warga Positif Covid-19