Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah penelitian mengklaim bahwa menghabiskan waktu di platform media sosial seperti Instagram, Snapchat dan TikTok tidak meningkatkan risiko masalah kesehatan mental di kalangan remaja. Penelitian terhadap 74 ribu remaja, usia 13-16 tahun itu, di Amerika Serikat itu bahkan tidak menemukan hubungan antara gejala depresi dan penggunaan media sosial.
Penelitian itu dilakukan karena semakin banyak remaja yang aktif di media sosial, terutama selama pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak Maret lalu. "Karena mereka harus bergantung pada Instagram, TikTok, dan platform lain untuk tetap berhubungan dengan teman," kata penulis studi Noah Kreski dari Mailman School of Public Health, Columbia University, New York.
Penelitian Kreski tidak menemukan bukti kuat atas keprihatinan yang disuarakan beberapa orang dewasa akan potensi risiko kesehatan mental dari perilaku para remaja itu. Kreski dan timnya menganalisis data survei yang dikumpulkan Monitoring the Future, studi berkelanjutan tentang perilaku, sikap, dan nilai-nilai orang Amerika dari masa remaja hingga dewasa.
Mereka mengambil sampel 74.472 siswa kelas 8 dan 10, usia 13-14 tahun dan 15-16 tahun, antara 2009-2017, yang menyampaikan gejala depresi dan penggunaan media sosial sehari-hari. Penggunaan media sosial dinilai dengan pertanyaan 'seberapa sering Anda melakukan masing-masing hal berikut? Mengunjungi situs-situs seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain'.
Opsi jawaban mulai dari 'hampir setiap hari' hingga 'tidak pernah', dengan opsi perantara 'setidaknya sekali seminggu', 'sekali atau dua kali sebulan' dan 'beberapa kali setahun'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para remaja juga diminta menilai empat pernyataan dalam skala satu sampai lima yang mencerminkan seberapa besar mereka setuju--'hidup sering kali tampak tidak berarti', 'masa depan sering kali tampak tanpa harapan', 'rasanya senang hidup' dan 'saya menikmati hidup sebanyak siapa pun'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Akun Twitter Tokoh Terkenal Diretas, FBI Tangkap Remaja Baru Lulus SMA
Data yang didapat menunjukkan penggunaan media sosial harian di antara siswa kelas 8 dan 10 meningkat dari 61 menjadi 89 persen di antara anak perempuan sepanjang 2009-2017. Di antara anak laki-laki, penggunaan media sosial juga meningkat dari 46 menjadi 75 persen dalam jangka waktu yang sama.
Namun, penggunaan media sosial sehari-hari tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan gejala depresi pada anak-anak-anak itu terutama yang perempuan. Untuk anak laki-laki, hasilnya disebutkan tidak konsisten, meskipun beberapa bukti menunjukkan bahwa penggunaan media sosial sehari-hari sebenarnya dapat melindungi dari depresi.
Menariknya, setiap potensi efek berbahaya dari media sosial terbatas antara 2009 dan 2010. "Diduga karena peran dan sifat media sosial bervariasi dari waktu ke waktu," bunyi laporan hasil penelitian itu. "Mungkin juga karena media sosial diadopsi lebih awal oleh individu dengan risiko depresi yang lebih tinggi."
Studi tersebut menantang anggapan bahwa media sosial adalah faktor risiko saat ini untuk gejala depresi pada remaja. Penelitinya menyimpulkan, penggunaan media sosial sehari-hari bukanlah faktor risiko yang kuat atau konsisten untuk gejala depresi baik untuk jenis kelamin maupun kelompok usia.
Penulis senior yang juga seorang profesor di Mailman School of Public Health, Katherine Keyes, menilai studi itu tidak menangkap beragam cara remaja menggunakan media sosial. "Yang mungkin positif dan negatif tergantung pada konteks sosial," ujarnya.
Penelitian di masa depan, dia menyarankan, bisa mengeksplorasi perilaku dan pengalaman spesifik anak muda atau remaja yang menggunakan media sosial, serta lebih sering terlibat dengan berbagai platform. Keyes juga menekankan sampel penelitian yang andal.
Bukti terbaru menunjukkan peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada depresi remaja, gejala depresi dan perilaku bunuh diri, terutama di kalangan anak perempuan. Ada banyak spekulasi bahwa peningkatan penggunaan smartphone dan platform media sosial telah berkontribusi pada tren ini.
Menurut teori, remaja yang sering menggunakan ponsel semakin terisolasi dari interaksi tatap muka, mengalami penindasan di dunia maya, dan menghadapi tantangan harga diri. Misalnya, remaja mungkin melihat foto glamor yang diposting oleh salah satu temannya di lokasi mewah di Instagram, yang dapat memicu perasaan cemburu dan tidak mampu.
Di sisi lain, penelitian Columbia University menyatakan penggunaan media sosial mungkin memiliki efek positif pada harga diri remaja. Situs jejaring sosial menyediakan ruang untuk konten yang positif atau lucu, dan sangat berharga bagi remaja yang mengalami depresi.
Beragam pilihan yang dapat diakses untuk tetap berhubungan dengan teman dan keluarga, seperti WhatsApp dan Facebook Messenger, juga berdampak positif pada remaja. Banyak anak muda juga mencari dukungan dan nasihat di media sosial, terutama mereka yang memiliki gejala depresi sedang hingga parah.
DAILT MAIL | MONITORING THE FUTURE