Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia berkomitmen menghentikan impor pangan terhadap empat komoditas pangan strategis, yaitu beras, jagung, gula konsumsi, dan garam konsumsi pada 2025. Penghentian impor pangan ini bertujuan untuk mencapai swasembada pangan yang sesuai dengan visi pemerintah mengurangi ketergantungan terhadap impor dan memperkuat ketahanan pangan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman berulang kali mengungkapkan targetnya ihwal swasembada pangan. Amran optimistis Indonesia bisa menghentikan impor sejumlah komoditas pangan, khususnya beras dan jagung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Seperti arahan Bapak Presiden, kita harus mewujudkan swasembada pangan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kalau semua kabupaten bergerak, target ini pasti terwujud," ucap Amran di Bangkalan, Jawa Timur, seperti dikutip dari keterangan resmi pada Selasa, 7 Januari 2025. Ia pun yakin tahun ini Indonesia bisa bebas dari impor beras karena produksi dalam negeri diproyeksikan meningkat.
Menurut Dosen dan Peneliti Universitas Islam Indonesia, Listya Endang Artiani, pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo, tantangan dalam kebijakan pangan semakin kompleks.
"Koordinasi lemah antara pemerintah pusat dan daerah, serta kendala teknis, seperti irigasi dan distribusi, menjadi tantangan besar yang perlu segera diatasi untuk mencegah ketimpangan pangan lebih luas," kata Listya dalam catatan yang diberikan kepada Tempo.co, Kamis,9 Januari 2024.
Terdapat upaya mitigasi risiko yang dilengkapi rekomendasi teknis untuk mengatasi tantangan penerapan penghentian impor pangan. Berikut adalah upaya mitigasi risiko dari kebijakan pemerintahan Prabowo dalam ketahanan pangan, yaitu:
1. Peningkatan Produktivitas Pertanian
Untuk mengurangi ketergantungan impor, pemerintah harus memberikan prioritas modernisasi teknologi pertanian dan infrastruktur. Pada tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo (2024-2025), anggaran sektor pertanian dinaikkan menjadi Rp120 triliun. Pemerintah menargetkan kenaikan produktivitas beras sebesar 10 persen pada 2025 menjadi 6,5 ton per hektare dari rata-rata 5,9 ton pada 2023.
Namun, tantangan terbesar adalah adopsi teknologi oleh petani kecil. Data Kementerian Pertanian (Kementan) 2024 menunjukkan, hanya 40 persen petani yang menggunakan alat mesin pertanian (alsintan) modern dengan target peningkatan menjadi 75 persen pada 2025.
"Jika tercapai, produksi pangan utama, seperti jagung dan beras, diperkirakan cukup untuk kebutuhan domestik dengan potensi surplus 2 juta ton beras," ujar Listya .
Rekomendasi Teknis:
- Revitalisasi Infrastruktur Irigasi
- Pengembangan Sistem Logistik dan Distribusi Cerdas
- Akses Pasar untuk Petani Kecil
2. Diversifikasi Komoditas dan Pola Konsumsi
Diversifikasi pangan menjadi langkah strategis mengurangi tekanan komoditas impor. Program “Pangan Lokal untuk Kedaulatan Nasional” ditargetkan meningkatkan konsumsi bahan pangan non-beras mencapai 20 persen pada 2025.
Menurut Listya, Pemerintah dapat memperluas budidaya sagu di Papua dan Maluku dengan menargetkan produksi 2 juta ton. Namun, tantangan sosial muncul karena masyarakat masih cenderung menganggap beras sebagai kebutuhan pokok. Menurut survei BPS 2024, sebanyak 80 persen rumah tangga Indonesia mengonsumsi beras sebagai makanan utama.
Rekomendasi Teknis:
- Kampanye Konsumsi Pangan Lokal dan Sehat
- Penyuluhan dan Pelatihan Petani dan Konsumen
- Penguatan Program Sekolah Pangan Lokal
3. Penguatan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP)
CPP berperan dalam stabilisasi harga. Pada 2025, cadangan beras diproyeksikan mencapai 3 juta ton, gula konsumsi 1 juta ton, dan jagung 500 ribu ton. Pemerintah juga membangun 20 gudang logistik baru di wilayah Timur Indonesia untuk memastikan distribusi lebih merata. Namun, pengelolaan CPP menghadapi tantangan transparansi. Audit BPK (2024) mencatat kerugian hingga Rp300 miliar akibat pengelolaan tidak efisien.
Rekomendasi Teknis:
- Subsidi dan Insentif Teknologi Pertanian
- Program Pelatihan dan Penyuluhan Teknologi
- Fasilitas Pembiayaan Petani
4. Insentif untuk Investasi di Sektor Pertanian
Pada 2025, investasi sektor pertanian ditargetkan mencapai Rp150 triliun, naik dari Rp95 triliun pada 2024. Pemerintah memberikan insentif berupa pengurangan pajak untuk investor yang membangun pabrik pengolahan hasil pertanian di daerah tertinggal.
Selain itu, kawasan ekonomi khusus (KEK) pangan diperluas menjadi lima lokasi baru dengan fokus pada pengolahan jagung dan sagu. Namun, tantangan utama adalah rendahnya minat investor karena risiko perubahan iklim. Dengan investasi strategis, sektor pertanian diproyeksikan menyumbang 15 persen terhadap PDB pada 2025, naik dari 12,6 persen pada 2024.
Rekomendasi Teknis:
- Desentralisasi Kebijakan Pangan
- Pemetaan dan Pengalokasian Dana Berdasarkan Kinerja Daerah
- Pengembangan Kearifan Lokal dalam Ketahanan Pangan
5. Kolaborasi Pusat dan Daerah
Koordinasi yang solid antara pusat dan daerah menjadi kunci keberhasilan penghentian impor pangan. Pada 2025, Tim Percepatan Ketahanan Pangan (TPKP) akan memantau pelaksanaan program di 514 kabupaten/kota. Pemerintah memperkenalkan mekanisme alokasi dana insentif daerah (DID) berbasis pencapaian target pangan untuk mempercepat implementasi.
Menurut Listya, disparitas kapasitas antar daerah masih menjadi tantangan besar. Data Kementerian Dalam Negeri (2024) menunjukkan, hanya 60 persen daerah berhasil menggunakan anggaran pangan secara efektif. Pemerintah menargetkan peningkatan efisiensi pengelolaan anggaran mencapai 80 persen pada 2025.
Rekomendasi Teknis:
- Digitalisasi Pengelolaan Cadangan Pangan
- Peningkatan Kapasitas Penyimpanan Cadangan
- Transparansi dan Pengawasan Pangan
"Dengan implementasi rekomendasi teknis ini, pemerintah dapat mempercepat transisi menuju swasembada pangan berkelanjutan, meningkatkan kemandirian pangan, dan memitigasi risiko dari penghentian impor pangan strategis," kata Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII itu.
Pilihan Editor: Penghentian Impor Pangan Pemerintahan Prabowo, Dosen dan Peneliti UII: Langkah Ambisius atau Bumerang Ekonomi?