Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBANG dari Manila, Filipina, Stephen M. Greenlee mampir di Jakarta, Kamis dua pekan lalu. Vice President Eksplorasi ExxonMobil Asia Pasifik itu datang untuk urusan mustahak. Salah satunya bertemu dengan Raden Priyono, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Ditemani Asep Sulaeman, Vice President Eksplorasi ExxonMobil Indonesia, Greenlee bertemu dengan Priyono esok paginya.
Topik yang mereka bicarakan antara lain soal tarik-ulur kontrak gas di blok Natuna D-Alpha. Boleh jadi inilah pertemuan pertama antara petinggi Exxon dan orang nomor satu di Badan Pelaksana Migas setelah rencana pengembangan (plan of development) blok Natuna D-Alpha yang disodorkan Exxon ditolak pertengahan Januari lalu. Pemerintah menilai proposal itu tidak dibutuhkan lagi karena kontrak Exxon otomatis kedaluwarsa sejak empat tahun lalu.
Itu sebabnya, dalam pertemuan informal yang disambi sarapan pagi, pihak Exxon minta kejelasan statusnya di Natuna. ”Pertemuan itu untuk mencari tahu kepastian posisi dan sikap masing-masing pihak,” kata sumber Tempo. Sejak 2005, Exxon merasa tidak pernah menerima surat resmi dari pemerintah soal berakhirnya kontrak.
Di depan Greenlee, Priyono berkukuh kontrak sudah berakhir. Sedangkan Exxon menganggap sebaliknya. Karena tidak ada titik temu, Exxon minta komunikasi di antara mereka tidak putus. Perusahaan minyak dan gas nomor satu dunia ini berharap silang pendapat ihwal Natuna ada jalan keluarnya.
Asep mengakui ihwal pertemuan itu. Tapi, kata dia, acara itu hanya persamuhan biasa untuk menjaga silaturahmi. Dan pembicaraan di antara mereka tidak semata-mata menguliti Natuna. ”Kami juga membahas krisis finansial global dan rencana eksplorasi Exxon ke depan,” katanya.
Yang jelas, hasil pertemuan itu mengindikasikan sengketa Natuna belum akan selesai. Apalagi, dua pekan lalu, Wood McKenzie—konsultan energi yang disewa Pertamina—melayangkan surat ke delapan perusahaan yang bakal diseleksi menjadi calon mitra PT Pertamina. Isi surat itu, kata sumber Tempo, memberitahukan bahwa konsultan independen yang berpusat di Edinburgh, Skotlandia, tersebut tidak bisa melanjutkan proses beauty contest karena status hukum ladang gas itu belum jelas. Asep mengaku menerima pemberitahuan melalui surat elektronik. ”Alasannya saya lupa, tapi pada dasarnya mereka tidak bisa melanjutkan,” ujarnya.
Padahal, Juli lalu, Wood McKenzie ditunjuk Pertamina untuk menyisir rekan yang mumpuni buat perusahaan pelat merah ini. Langkah itu ditempuh karena proyek Natuna terlalu jumbo bila digarap sendirian oleh Pertamina. Maklum, dari 222 triliun kaki kubik cadangan gas yang ada di sana, sekitar 70 persennya mengandung karbon dioksida. Pengembangan blok itu ditaksir menelan dana US$ 52 miliar. Itu sebabnya Pertamina harus mencari mitra.
Dari 20 perusahaan yang diseleksi, delapan perusahaan minyak dan gas papan atas lolos ke tahap dua. Mereka adalah ExxonMobil, Total, Chevron, Statoil, Shell, ENI, CNPC, dan Petronas. Terselipnya nama Exxon itu karena perusahaan tersebut ditawari ikut serta. Exxon menerima ajakan itu karena sadar posisinya tidak aman, sementara Exxon juga tidak mau kehilangan Natuna begitu saja. ”Mereka menjalankan politik ganda,” ujar Abdul Muin, Wakil Kepala Badan Pelaksana Migas.
Tapi perusahaan yang berpusat di Texas, Amerika Serikat, itu punya pesaing. StatoilHydro, misalnya, sangat tertarik pada proyek tersebut. ”Kami akan ikut seleksi tahap dua,” kata Jan Rune Schopp, Vice President of Natural Gas Strategy and Analysis StatoilHydro, di sela-sela acara Indogas 2009. Perusahaan pelat merah asal Norwegia itu—juga Royal Dutch Shell asal Belanda—bahkan sudah bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
GENCARNYA perusahaan dunia melirik Natuna itu berlangsung di tengah negosiasi antara pemerintah dan ExxonMobil. Perundingan itu digelar setelah Stephen M. Greenlee melayangkan surat ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, akhir Desember 2005. Stephen meradang karena kontrak yang dimiliki Exxon dianggap gugur per Januari 2005.
Exxon, kata Kalla, diberi prioritas untuk melakukan negosiasi ulang. Tim negosiasi pemerintah dipimpin Kardaya Warnika, Kepala Badan Pelaksana Migas saat itu. Tapi, selama dua tahun, perundingan buntu. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya meminta Pertamina menjadi operator di blok tersebut.
Nah, di tengah proses negosiasi tadi, Direktur Eksekutif Royal Dutch Shell Rob Routs menemui Jusuf Kalla pada Juni 2007. Routs ditemani Darwin Silalahi, Presiden Direktur Shell Indonesia. Seusai pertemuan, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil mengungkapkan, Routs bertanya soal peluang Shell ikut proyek D-Alpha. Kalla menjawab bahwa pemerintah masih terlibat pembicaraan dengan Exxon. ”Tapi kemungkinan itu tetap ada,” ujar Sofyan. Pemerintah, kata dia, akan mengkaji pengaturan cara partisipasi Shell tersebut.
Sejak itu, para petinggi Shell bersemangat menyambangi Kalla. Malcolm Brinded, Executive Director & CEO Exploration and Production Shell, misalnya, menemui Kalla pada Mei 2008. Malcolm, yang didampingi Darwin Silalahi, menyatakan siap menyuntikkan duit buat proyek D-Alpha. Shell mengaku punya teknologi untuk memisahkan dan membuang karbon dioksida yang ada di sana. Menurut Direktur Utama Pertamina Ari H. Soemarno, Kalla menyambut positif dan mendorong terjalinnya kerja sama antara Pertamina dan Shell.
Empat bulan kemudian, giliran Executive Director for Gas and Energy Shell Linda Cook bertemu dengan Kalla. Namun Linda menegaskan tidak ada isu spesifik, apalagi soal Natuna, yang dibahas dalam pertemuan itu. ”Shell memiliki teknologi pengeboran dan itu yang didiskusikan dengan Wakil Presiden,” kata Linda sambil buru-buru masuk mobilnya.Pernyataan itu tak mampu meredam spekulasi yang merebak. Gencarnya Shell menemui Kalla, konon, tak lepas dari jalan yang dibuka orang di sekitar Kalla. Salah satu yang santer adalah Tanri Abeng, Presiden Komisaris Telkom, yang juga anggota Dewan Penasihat Partai Golkar, partai yang dipimpin Kalla.
Hubungan Tanri dan Darwin memang lengket dari dulu. Mereka saling kenal saat Tanri menjadi CEO Bakrie & Brothers. Darwin juga menjadi Direktur Infrastruktur di Kementerian Badan Usaha Milik Negara saat Tanri memimpin kementerian itu. Salah satu anggota staf khusus menteri masa itu tak lain dari Sofyan Djalil.
Relasi Tanri dan Darwin menjadi perbincangan saat Shell memenangi tender pengadaan high speed diesel buat Perusahaan Listrik Negara senilai US$ 2 miliar untuk kontrak tiga tahun. Pasokan itu untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Grati 600 ribu kiloliter per tahun dan PLTGU Belawan 250 ribu kiloliter per tahun.
Shell ketika itu menggandeng PT Kutilang Paksi Mas, perusahaan lokal yang selama ini menjadi distributor produk minyak pelumas Shell. PT Kutilang disebut-sebut terafiliasi dengan Walinusa Energi Group, perusahaan yang dikendalikan Emil Abeng, putra Tanri.
Tanri menepis kabar tak sedap itu. ”Saya memang dekat dengan Darwin,” ucapnya. ”Tapi tidak ada urusan dengan bisnisnya.” Menurut dia, Darwin memang pernah bercerita soal rencana para pembesar Shell bertemu dengan Kalla. Tapi, sebagai presiden direktur perusahaan multinasional, Darwin tidak perlu dibantu atau diperkenalkan lagi. ”Kalau minta waktu bertemu dengan presiden atau wakil presiden, perusahaan sebesar Shell pasti akan diperhatikan.” Tanri yakin, sebagai perusahaan minyak dan gas nomor dua di dunia, Shell tidak akan berani ”main mata” demi memperoleh proyek.
Ia juga menampik keterkaitan anaknya dengan PT Kutilang. ”Anak saya tidak punya bisnis dengan PLN,” ujarnya. ”Kalau dia ikut, pasti saya tahu.” Tanri menegaskan Walinusa sama sekali tidak punya saham di PT Kutilang. Kalaupun anaknya pernah berbisnis dengan Shell, itu terjadi ketika Walinusa menjadi distributor minyak pelumas yang diproduksi Shell. ”Tapi itu berlangsung sebelum Darwin masuk Shell,” katanya.
Sayang, Darwin irit bicara. ”Saya tidak mau berkomentar dulu soal Natuna,” katanya. Ia mengaku tidak pernah mendengar pernyataan Kalla agar Pertamina menjajaki kerja sama dengan Shell. Sedangkan getolnya para petinggi Shell bertemu dengan pemerintah dinilai Darwin suatu hal yang wajar. ”Semua perusahaan dunia, bila melakukan kunjungan ke satu negara, pasti melakukan hal itu,” katanya.
CEO StatoilHydro Helge Lund juga sowan ke Kalla, awal Desember lalu. Kepada Kalla, Lund—ditemani Duta Besar Norwegia untuk Indonesia Elvind S. Homme—mengatakan StatoilHydro siap bekerja sama dengan Pertamina. Statoil mengaku punya pengalaman mengelola gas di laut dalam Norwegia yang mengandung kadar karbon dioksida cukup tinggi.
Debut Statoil di Tanah Air terjadi ketika perusahaan itu meneken kesepahaman kerja sama jangka panjang dengan Pertamina di Oslo, akhir 2006. Tak sampai satu tahun, pemasok gas nomor dua di Eropa itu mendapat kontrak kerja sama di blok Kuma di lepas pantai Sulawesi Barat dan blok Karama di Selat Makassar, Sulawesi Selatan. Di blok Kuma, Statoil punya 40 persen saham, sementara ConocoPhillips sisanya. Sedangkan di Karama, Statoil punya 51 persen, dan sisanya didekap Pertamina.
KINI bola panas itu ada di Pertamina. Tapi proses pemilihan mitra tidak bisa secepat yang diharapkan. Ari Soemarno memberikan sinyal, proses pemilihan ini ditaksir baru kelar akhir tahun. ”Setelah pemilihan umum,” katanya. Lamanya proses ini, kata dia, karena Pertamina perlu menyerahkan seluruh data ke peserta kontes.
Masalahnya, kata Ari, Pertamina tidak bisa membuka begitu saja data yang sama-sama dirilis oleh Pertamina dan Exxon. ”Kami terikat kesepakatan rahasia dengan Exxon,” katanya. Menurut dia, Exxon harus menyerahkan dulu data itu ke pemerintah. Namun Exxon menilai tidak perlu menyerahkan data karena yang dipegangnya sama dengan data yang ada di Pertamina.
Pemerintah, kata Ari, juga harus menentukan syarat dan kondisi yang nantinya ditawarkan ke semua kontestan. Selagi itu belum diputuskan, Pertamina tidak bisa berbicara dengan perusahaan yang masuk daftar. Sebelumnya, Pertamina mengusulkan mendapat 40 persen kepemilikan saham di ladang itu. Sisanya dibagi-bagi ke perusahaan yang menjadi mitra.
Meski penentuan mitra berlarut-larut, para perusahaan itu tidak surut langkah. Soalnya, penanganan karbon dioksida di Natuna bisa menjadi contoh teknologi di masa depan. Sedangkan akses perusahaan asing mengelola sumber daya di Timur Tengah mulai berkurang. Itu sebabnya mereka melirik Natuna. Harapannya, mereka punya cadangan dan akses penguasaan gas yang bisa dikembangkan 10-15 tahun ke depan. Ari menaksir harga keekonomian Natuna ketika diproduksi pada 2017 di atas US$ 9 per MMBTU.
Itu sebabnya Presiden Public Affair ExxonMobil Indonesia Maman Budiman menilai pencarian pasar buat gas Natuna harus dimulai sekarang. Sehingga, pada saat harga minyak mentah kembali naik, Natuna sudah siap berproduksi.
Ari memberikan sinyal, proyek besar ini mungkin dikelola oleh tiga atau empat perusahaan. Dan tak tertutup kemungkinan Exxon kembali dilibatkan. ”Karena mereka punya uang, teknologi, dan secara historis sudah bertahun-tahun di sana,” ujar Abdul Muin. Pertamina, kata dia, tidak mungkin meninggalkan kawan lama begitu saja. Apalagi perusahaan itu sudah mengebor empat sumur dan melakukan studi rancang bangun US$ 400 juta. ”Exxon adalah good player dan big player,” Priyono menambahkan. Meski begitu, Kalla memastikan, posisi Exxon saat seleksi sama dengan kontraktor lain.
Yandhrie Arvian, Agung Sedayu, Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo