Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASIB Transjakarta makin tak jelas saja. Padahal proyek bus rapid transit ini sudah berjalan lima tahun. Alih-alih membantu mengatasi kemacetan di Ibu Kota, bus dengan jalur khusus ini malah membikin lalu lintas semrawut. Jalur busway gampang diserobot kendaraan pribadi dan angkutan umum. Di koridor tertentu, petugas bahkan mempersilakan kendaraan non-Transjakarta masuk jalur ini.
Selama masa pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo yang berlangsung setahun lebih ini, tak tampak ada perbaikan. Yang terjadi justru penundaan pengoperasian di beberapa koridor yang jalurnya sudah jadi. Alasan Pak Gub untuk berhati-hati, agar tak menabrak koridor hukum, terutama soal pengadaan bus, masuk akal. Apalagi di masa Sutiyoso menjadi gubernur, penerapan proyek ini dikritik asal jalan. Bang Yos pun hampir berurusan dengan hukum.
Merapikan sistem internal tak boleh dijadikan alasan untuk menunda pembenahan. Apalagi semua target yang ditetapkan proyek ini sedari awal belum terpenuhi. Jumlah armadanya masih kurang. Pengoperasian koridor yang direncanakan kelar hingga 15 jalur molor entah sampai kapan. Bahkan jalur dan shelter yang siap pakai, yaitu koridor Pluit-Pinang Ranti dan rute Cililitan-Tanjung Priok, belum jelas kapan akan dioperasikan.
Masih jauh panggang dari api. Transjakarta hanya mengangkut 230 ribu penumpang dari target lima juta penumpang per hari pada 2010. Waktu tunggu bus (headway) yang direncanakan 3-5 menit jauh dari kenyataan. Kita mesti menunggu 15-30 menit—bahkan lebih lama pada jam sibuk. Sejumlah fasilitas yang sudah dibangun ada yang terbengkalai, tak sedikit yang rusak.
Gubernur boleh berhati-hati membenahi sistem transportasi. Tapi jangan lupakan hal lain yang mendesak: kemacetan lalu lintas. Solusinya harus menyeluruh dan terintegrasi. Misalnya saja, mengkampanyekan perlunya publik yang semula naik mobil pribadi berpindah naik busway. Tentu saja dengan jaminan keamanan dan kenyamanan, termasuk tersedianya feeder yang memadai.
Buruknya layanan Transjakarta harus segera diperbaiki. Hal ini diukur dengan waktu tunggu yang membaik, jumlah bus tidak berkurang, jalur busway steril, kondisi prasarana tetap terjaga baik—tidak ada jembatan rusak dan atap bolong—dan perbaikan pelayanan standar lainnya. Jangan dengan alasan ingin memperbaiki mekanisme internal, koridor yang sudah beroperasi ditelantarkan, sehingga kondisinya kian buruk.
Pemerintah kota juga harus meyakinkan warga melalui paket kebijakan transportasi publik yang mampu menjadi solusi kemacetan. Transjakarta hanya salah satu cara. Harus ada kebijakan lain yang bisa bersinergi dengan Transjakarta. Juga ada insentif bagi warga yang menggunakan kendaraan umum, dan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi—misalnya dikenai pajak ketika memasuki jalan protokol. Kelak hasil pajaknya bisa dipakai untuk perbaikan prasarana proyek ini.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta sudah sangat kronis. Bila keadaan seperti ini berlanjut tanpa solusi pasti, Jakarta akan menjadi kota stagnan. Jalanan kota makin tak manusiawi, tak berpihak pada publik. Menurut data 2007, kemacetan berkelanjutan menimbulkan kerugian senilai Rp 43 triliun setahun—lebih dari dua kali anggaran pendapatan dan belanja DKI Jakarta. Inilah saat yang tepat bagi Fauzi Bowo untuk membuktikan bahwa dialah memang ”ahlinya” dalam mengurus kemacetan Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo