Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN pekerja sibuk menggali pinggiran Sungai Cileuleuy, Subang, Kamis siang pekan lalu. Sambil menyiram-nyiramkan air ke tempat galian, mereka membongkar tanah keras dan kering bercampur pasir dan batu dengan cangkul, linggis, dan sekop. Daerah aliran sungai di kabupaten yang terletak di pantai utara Jawa Barat itu mengalami sedimentasi akut. Mereka membuang endapannya agar air menuju irigasi dan persawahan kembali lancar.
Revitalisasi daerah aliran sungai dan irigasi hanyalah salah satu belanja infrastruktur pemerintah pada tahun ini. Puluhan proyek serupa dan proyek infrastruktur lain, seperti pembangunan jalan, pembangkit listrik, pelabuhan laut dan udara, serta jalur kereta, kembali akan menjadi prioritas pemerintah tahun depan. Proyek-proyek infrastruktur ini salah satu andalan pemerintah menggerakkan roda perekonomian. Pemerintah telah menganggarkan dananya dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2010.
Awal pekan lalu, di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pengantar nota keuangan RAPBN 2010. Menurut Presiden, penyusunan bujet negara tahun depan ini sangat dipengaruhi krisis ekonomi global. Dengan mempertimbangkan resesi dunia, pemerintah menetapkan asumsi target pertumbuhan ekonomi lima persen, sedikit lebih tinggi dibanding 4,3 persen pada tahun ini. Demi tujuan itu, pemerintah menganggarkan belanja negara Rp 1.009,5 triliun. Sekitar Rp 76,9 triliunnya dialokasikan untuk belanja modal—pengeluaran investasi—untuk pembangunan infrastruktur (lihat tabel).
Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa menilai, pemerintah tampaknya berhati-hati menetapkan target pertumbuhan ekonomi. Asumsi yang dipakai, perekonomian global tahun depan masih bergejolak. Padahal, kata dia, ada keyakinan pelemahan ekonomi Amerika Serikat sudah melewati batas bawah. Leading economic index juga sudah membaik dalam tiga bulan terakhir. Perekonomian Negeri Abang Sam ada kemungkinan bisa membaik pada kuartal ketiga tahun depan. Bahkan puluhan pakar ekonomi yang disurvei Bloomberg—kantor berita ekonomi ternama di Amerika—percaya Amerika bisa tumbuh positif 2,1 persen akhir tahun depan dari semula negatif. ”Dengan kerja keras pemerintah, pertumbuhan ekonomi mestinya bisa melewati lima persen,” ujarnya.
Peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, Teguh Dartanto, mengatakan target pertumbuhan ekonomi lima persen realistis dan pragmatis. Lima persen bukanlah target muluk-muluk untuk dicapai tahun depan. Tapi dia mewanti-wanti, jika pertumbuhan masih didominasi sektor-sektor nontradable, seperti keuangan dan telekomunikasi, hasilnya tidak banyak gunanya bagi pengentasan masyarakat miskin dan penciptaan lapangan kerja.
Potensi rendahnya kualitas pertumbuhan ekonomi seperti itu bukan mustahil akan terjadi tahun depan. Teguh menunjuk postur RAPBN 2010 yang tak punya gereget dan kurang ekspansif. Belanja modal pemerintah saja Rp 76,9 triliun. Belanja modal tersebut sekadar menggantikan stok barang modal yang rusak atau sebagian besar hanya untuk pemeliharaan—seperti revitalisasi irigasi atau daerah aliran sungai tadi.
Investasi baru pemerintah di sektor infrastruktur, seperti jalan, irigasi, dan bendungan, bakal minim tahun depan. Secara keseluruhan, kontribusi terhadap produk domestik bruto hanya sekitar 7,6 persen, jauh dari cukup untuk mencapai pertumbuhan tinggi dan berkualitas: menggerakkan perekonomian dan memberikan efek berantai bagi investasi swasta. ”Harusnya kontribusi belanja modal pemerintah bisa 10 persen dari PDB,” ujar Teguh.
Komitmen pemerintah menggerakkan perekonomian dan menolong kelompok miskin juga layak dipertanyakan. Lihat saja alokasi belanja pemerintah menurut fungsinya. Alokasi dana sektor pendidikan turun Rp 10 triliun, sementara alokasi ke sektor ekonomi turun sekitar Rp 9 triliun—khusus alokasi sektor pertanian menurun Rp 2 triliun. Dana bantuan sosial tahun depan juga menurun Rp 8,68 triliun dibanding 2009. Justru alokasi ke sektor pertahanan naik signifikan.
Alokasi belanja negara, kata Teguh, seharusnya diarahkan ke sektor-sektor produktif dan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tapi bujet menurut fungsinya menunjukkan kondisi sebaliknya. ”Komitmen pemerintah menggerakkan perekonomian dan menolong kelompok miskin mengendur setelah Pemilu 2009.”
Yudhi sependapat dengan Teguh. Desain RAPBN 2010, kata dia, tak dirancang untuk menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Agar angka pengangguran turun, pertumbuhan ekonomi tak bisa hanya lima persen, tapi harus di atas 6,5 persen. Dan untuk menyerap angkatan kerja baru, pertumbuhan ekonomi minimal harus tujuh persen.
Bagi Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada A. Tony Prasetiantono, RAPBN 2010 tersebut realistis tapi tak inspiratif, terutama bagi sektor swasta. Indikasi pertama terlihat pada target pertumbuhan lima persen. Seolah-olah pemerintah tak punya ambisi. Pertumbuhan tahun depan bisa menembus 5,5 persen dengan syarat pemerintah mau bekerja keras. ”Santai saja, lima persen pasti dapat,” katanya.
Indikasi kedua, Tony melanjutkan, terlihat dari belanja negara yang hanya Rp 1.009,48 triliun dan belanja modal Rp 76,9 triliun, hanya naik Rp 2 triliunan dibanding tahun lalu. Padahal volume belanja bisa dinaikkan menjadi Rp 1.050 triliun dan belanja modal infrastruktur menjadi Rp 100 triliun, meski ada risiko defisit anggaran naik menjadi dua persen—masih di bawah batas aman 2,5 persen. ”Dengan begini, bisa memberikan sinyal ke swasta, investasi pemerintah akan bergairah.”
Sumber Tempo di pemerintahan mengungkapkan anggaran dibuat jauh sebelum pemilihan umum presiden. Defensifnya RAPBN 2010 memang sengaja dirancang buat memberikan kesempatan kepada presiden berikutnya untuk mengelola anggaran. ”Dikasih sedikit bermain di situ, sehingga bisa nge-boost lagi jika diperlukan,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani rileks saja menanggapi gempuran atas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2010. ”Kalau situasi global membaik, pertumbuhan akan lebih kuat.” Tentang penurunan belanja modal infrastruktur 2010, saat ditemui di kampus Universitas Indonesia, Depok, pekan lalu, dia mengatakan, ”Itu sudah disesuaikan dengan kemampuan penyerapannya.”
Tidak jorjorannya pemerintah mengeluarkan belanja investasi sebenarnya sudah terbaca dari keinginan pemerintah terus memperbesar peran swasta. Nota pengantar RAPBN secara gamblang menyebutkan pemerintah berharap peran swasta ke depan akan semakin berperan. Peran pemerintah lebih banyak sebagai regulator saja.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta tak menampik sinyalemen ini. Pembangunan infrastruktur, kata dia, jangan selalu dikaitkan dengan anggaran pemerintah karena dananya memang terbatas. Pelaku ekonomi harus melihatnya dalam konteks kerangka regulasi. ”Kami bisa memperbaiki regulasi pusat dan daerah untuk menarik investasi,” katanya.
Argumentasi pemerintah itu tak membuat pengusaha Sofjan Wanandi puas. Logika berpikir pemerintah, kata dia, malah terbalik. Seharusnya, dalam kondisi masih krisis, pemerintah yang menjadi lokomotif perekonomian. Tapi, lantaran belanja modal infrastrukturnya minim, pengusaha tak bisa mengharapkan pemerintah menjadi pengerek pembangunan. ”Kami khawatir kita masih akan lari di tempat lagi,” ujarnya.
Lantaran duit pemerintah terbatas, menurut Yudhi, pemerintah mau tak mau harus mengoptimalkan belanja modal Rp 76,9 triliun itu. Dana segede itu masih bisa mendorong perekonomian dengan syarat pengelolaan fiskal, khususnya pencairan anggaran, dilakukan tepat waktu. Pemerintah juga harus menurunkan tabungannya di Bank Indonesia—saat ini masih sekitar Rp 140 triliun—dan membelanjakannya untuk investasi infrastruktur.
Di sisi lain, pemerintah harus memberikan kompensasi kepada dunia usaha dengan memperbaiki iklim investasi, menghapuskan ekonomi biaya tinggi, dan memperbaiki peraturan daerah yang menghambat investasi. ”Bunga kredit perbankan juga harus ditekan terus,” Tony menambahkan. Sekarang semua terpulang kepada pemerintah apakah mampu memperbaikinya. Jika tidak, pertumbuhan tak berkualitas bisa menjadi kenyataan.
Padjar Iswara, Agung Sedayu, Munawwaroh, Bunga Manggiasih, Nanang Sutisna (Subang)
Belanja pemerintah menurut fungsi (miliar rupiah)
  | APBN-P 2009 | RAPBN 2010 | Perubahan (%) |
Pelayanan umum | 472,097 | 479,200 | 1,5 |
Pertahanan | 11.665 | 20.483 | 75,5 |
Ketertiban dan Keamanan | 13.729 | 14.551 | 5,9 |
Ekonomi | 64.963 | 55.881 | (13,9) |
Pendidikan | 87.663 | 77.401 | (11,7) |
Perlindungan Sosial | 3.151 | 3.257 | 3,4 |
Lain-lain | 43.027,8 | 48.911 | 13,7 |
Angka-angka penting RAPBN 2010
  | Pertumbuhan ekonomi (%) | Inflasi (%) | Nilar tukar (Rupiah/dolar) | ifting minyak mentah (juta barel/hari) | Harga minyak mentah (US$/barel) | PDB (miliar) | Belanja negara (miliar) | Belanja modal (miliar) | Subsidi (miliar) | Bantuan sosial (miliar) | Pembiayaan dalam negeri (miliar) | Pembiayaan luar negeri (netto miliar) | Defisit anggaran (% PDB) | Pengangguran (%) | Kemiskinan (%) |
APBN-P 2009 | 4,3 | 5,0 | 10.600 | 0,960 | 61 | 5.425,4 | 1.005,7 | 74.280,7 | 159.950,7 | 77.765,3 | 144.820,9 | (11.791) | (2,5) | 8,1 | 14,1 |
RAPBN 2010 | 5,0 | 5,0 | 10.000 | 0,965 | 60 | 6.050,1 | 1.009,5 | 76.893,1 | 144.355,1 | 69.078,4 | 107.801,4 | (9.881) | (1,6) | 8,0 | 13,0 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo