Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung hangat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut tamunya, Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera KH Hilmi Aminuddin, seperti sahabat lama. Selasa pekan lalu, mereka berdua berbincang panjang di kediaman pribadi Presiden di Cikeas, Bogor, Jawa Barat. ”Pertemuan ini sudah lama direncanakan, tapi baru sempat sekarang,” kata Ketua Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, sehari kemudian.
Andi enggan mengungkapkan isi pertemuan tersebut. Dia hanya memberikan sinyal bahwa pokok pembicaraan kedua tokoh itu tak jauh-jauh dari soal pemilihan umum. ”Intinya silaturahim di antara dua partai yang lama bersahabat,” kata Andi. Saat ini, menurut juru bicara Presiden Yudhoyono itu, ”Partai Demokrat dan PKS sudah berada dalam satu perahu.”
Selain mengundang pentolan PKS, sepanjang pekan lalu Yudhoyono juga mengundang Ketua Dewan Tanfidziyah Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir, ke Cikeas. Meski dibungkus dengan label ”silaturahim”, aroma politik tercium kencang. Apalagi ini hanya dua pekan menjelang hari pencontrengan, 9 April depan.
Intensitas pertemuan antarpemimpin partai politik memang meningkat tajam dalam dua pekan terakhir. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri juga aktif bersafari politik. Mega saat ini sudah bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali.
Setelah bertemu Mega selama sekitar satu jam, Kamis dua pekan lalu, Suryadharma langsung mengumumkan, ”Ini adalah awal yang baik untuk membentuk koalisi Golden Triangle.” Segitiga emas yang dimaksud Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah ini adalah koalisi partai politik yang terdiri atas PDIP, Golkar, dan PPP.
Partai Demokrat membalas sesum-bar itu dengan merilis persiapan pembentukan koalisi Golden Bridge. ”Kalaupun kami meraih 20 persen suara dalam pemilihan umum, kami tetap tak ingin mencalonkan Susilo Bambang Yudhoyono sendirian,” kata Ketua Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. ”Kami ingin membentuk ’jembatan emas’ menuju pemerintahan yang kuat,” katanya, pekan lalu.
MUNCULNYA dua kubu koalisi ini seperti mengulang sejarah lima tahun lalu. Menjelang pemilihan presiden putaran kedua, September 2004, semua partai habis terbagi ke dalam dua kubu: Koalisi Kebangsaan yang mengusung Megawati sebagai calon presiden dan Koalisi Kerakyatan yang mendukung Yudhoyono.
Partai-partai yang dulu mendukung Megawati sekarang sudah kembali merapat ke kubu Banteng. Selain PDIP, di sana ada Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Damai Sejahtera. Sedangkan partai pengusung Yudhoyono juga sudah kembali mengambil posisi di belakang SBY. Mereka terdiri atas partai papan tengah: Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera.
Tentu saja ada sederet evaluasi. Tifatul Sembiring, Presiden PKS, misalnya, mengeluhkan pola koalisi lama yang dinilainya tidak jelas. ”Awalnya, Koalisi Kerakyatan hanya terdiri atas empat partai. Lalu masuk partai lain, dan mendapat kursi di kabinet,” katanya dalam sebuah diskusi di kantor partai itu, pertengahan Maret lalu. Tifatul menilai partai-partai yang merapat belakangan harus mendapat perlakuan berbeda. ”Harus jelas siapa yang benar-benar berkeringat dan siapa yang tidak,” katanya.
Keluhan yang sama muncul dari Partai Amanat Nasional. Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menilai koalisi pada 2004 tidak direncanakan dengan matang. ”Sangat tergesa-gesa,” katanya. Akibatnya, kesan yang muncul, kata Soetrisono, adalah ”koalisi titip menteri”.
Desakan serupa juga muncul dari kubu PDIP. Megawati, misalnya, meminta koalisi dibuat dengan aturan tegas. Dia merujuk pada pengalaman partainya bergabung dengan Koalisi Kebangsaan, yang bubar begitu saja lima tahun lalu. ”Jadi jangan hanya berkoalisi untuk memenuhi syarat 20 persen untuk pencalonan presiden,” katanya.
Merespons kritik itu, sejumlah tawaran sudah mulai muncul. Ketua Fraksi PPP di Dewan Perwakilan Rakyat, Lukman Hakim Saefuddin, meminta pembangunan koalisi politik pada pemilu kali ini harus dilandasi tiga hal. Tiga faktor dasar itu adalah adanya rasa saling percaya, kesepakatan tentang prioritas program, dan kontrak pembagian kekuasaan. ”Saat ini kita masih ada pada tahap membangun rasa saling percaya,” kata Lukman.
Tahap membuat kesepakatan tentang prioritas program, kata Lukman, saat ini sudah mulai dijajaki. Dua pekan lalu, PPP dan PDIP sudah menandatangani nota kesepahaman yang berisi lima butir persetujuan. Isinya antara lain janji untuk bersama-sama menjaga kedaulatan negara, memelihara keberagaman yang menjunjung tinggi nilai agama, serta mencapai kemandirian ekonomi. ”Itu masih payung program yang harus dijabarkan lagi lebih terperinci,” kata Lukman.
Nah, setelah perolehan kursi masing-masing jelas, barulah pembentukan koalisi masuk ke tahap terakhir: pembagian kekuasaan. ”Di situ baru dibicarakan, siapa mendapat apa. Siapa menjadi calon presiden, wakil presiden, dan menteri.”
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Rully Chaerul Azwar, punya cara pandang yang lebih pragmatis. Menurut dia, partai politik bisa berkoalisi kalau punya ideologi yang sama, meraih persentase suara tertentu dalam pemilihan legislatif, dan mengusung calon presiden yang sama. Artinya, kata Rully, percuma saja dua partai berideologi serupa mencoba berkoalisi jika calon presidennya bukan orang yang sama. ”Ya, bagaimana mau bergandengan kalau calonnya saja beda-beda?” katanya tertawa.
Selain kesepakatan-kesepakatan itu, pengalaman berkoalisi selama lima tahun terakhir juga berpengaruh pada chemistry antar-partai politik. Mereka yang merasa dikecewakan akan terang-terangan memasang banderol ”lebih mahal”.
Partai Bulan Bintang, misalnya, pagi-pagi sudah minta kursi wakil presiden. ”Kalau hanya dapat dua-tiga menteri, bisa dibuang kapan saja,” kata Yusron Ihza Mahendra, salah satu ketua partai itu. Harga tinggi yang dipasang Yusron bisa dipahami. Pada Mei 2007, Yusril Ihza Mahendra, abang Yusron yang juga Ketua Majelis Syura PBB, dicopot dari jabatan Menteri Sekretaris Negara.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Marzuki Alie, hanya tertawa ketika ditanya soal partai-partai yang jual mahal tersebut. ”Nanti kita bicara setelah Pemilu 9 April,” katanya pekan lalu. ”Kalau dipaksakan sekarang, pasti tidak ketemu,” katanya.
Semua partai politik sejatinya masih menunggu hasil pemilihan legislatif sebelum memastikan langkah politik selanjutnya. ”Ibarat perusahaan yang mau merger, siapa yang menjadi komisaris utama dan direktur utama tentu tergantung komposisi kepemilikan saham,” kata Lukman Hakim Saefuddin.
Ketua Fraksi PDIP di parlemen, Tjahjo Kumolo, membenarkan. ”Semua partai pasti menunggu hasil pemilu,” katanya. Namun, silaturahim politik yang kini gencar digelar juga tidak akan percuma. ”Itu bagian dari komunikasi untuk menyamakan persepsi,” katanya.
Karena itulah, Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla bergurau ketika ditanyakan soal Golden Triangle. ”Jangan Golden Triangle, bahaya. Itu kan tempat obat bius,” katanya ringan, merujuk pada segitiga emas Myanmar, Thailand, dan Laos, yang pernah dikenal sebagai pusat ladang opium di Asia.
Wahyu Dhyatmika, Munawwaroh, Gunanto E.S., Eko Ari Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo