Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GULUNGAN besi baja dan pipa panjang tampak berjejal di toko Mega Baja, di Jalan Raya Pulo Gebang, Jakarta Timur. Pelanggan yang kebanyakan mandor bangunan datang bergantian menanyakan baja untuk pagar yang harganya termurah. Dengan sigap, Agus, salah satu pegawai toko, menunjukkan produk impor yang sebagian besar buatan Cina itu.
Meski kualitas produk baja impor lebih rendah dibanding produk lokal, kata Agus, para pelanggan tidak ambil pusing. Produk impor yang paling laku adalah baja jenis siku L dan pelat baja konstruksi berat. ”Kebanyakan pembeli tidak mempermasalahkan asal-muasal barang. Yang penting harga lebih murah,” ujar Agus. Harga produk Cina ini memang rata-rata 40 persen lebih murah.
Data di Badan Pusat Statistik menunjukkan baja impor memang melonjak. Impor produk baja tahun lalu mencapai 11,04 juta ton, melonjak 42 persen dibanding 2007, yang baru 7,77 juta ton. Produk impor yang volumenya naik terutama pipa las, baja dasar, batang kawat baja (wire rod), serta baja canai panas dan dingin (HRC dan CRC). Baja impor makin merajalela karena harga baja terus menanjak sejak Januari lalu.
Itu sebabnya pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk menyehatkan pasar baja dalam negeri. Beleid ini mengatur hanya importir produsen atau importir terdaftar yang boleh mengimpor produk baja. Sebelumnya, semua importir boleh melakukan importasi. Itu pun tanpa diverifikasi di pelabuhan muat oleh surveyor independen. Aturan ini mestinya mulai berlaku pada 1 Juni lalu.
Sayang, hingga pekan lalu, aturan itu masih seperti macan ompong. Surveyor, yakni Surveyor Indonesia dan Sucofindo, yang ditugasi memeriksa barang di pelabuhan muat, baru ditunjuk pemerintah April lalu. Mereka juga terlihat masih gagap akan tugas baru itu. Alhasil, produk impor ilegal plus berharga dumping pun masih leluasa masuk Tanah Air.
Malah, Jumat pekan lalu, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu memastikan implementasi aturan ditunda karena ”(revisi) surat keputusan belum rampung”. Revisi tentang produk baja apa saja yang dikecualikan dari aturan seperti produk dan turunan dari sektor otomotif, elektronik, galangan kapal, perminyakan, dan proyek bantuan yang bersifat hibah ini juga tidak dipastikan kapan dirilis.
Yang jadi soal, membanjirnya produk impor itu membuat pabrik dalam negeri bertumbangan. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia mencatat utilisasi industri baja hulu nasional, yang selama tahun lalu mencapai 97 persen, pada paruh pertama tahun ini tinggal 45 persen. Sedangkan utilisasi industri baja hilir, yang tahun lalu 75-80 persen, turun menjadi 30-50 persen.
Selain oleh dumping, industri pun terimpit oleh membanjirnya baja impor ilegal. Ilegal karena mereka memalsukan dokumen untuk menghindari pembayaran bea masuk 5-12,5 persen. Oktober tahun lalu, polisi pabean itu berhasil mencegah penyelundupan baja dari Taiwan yang diperkirakan merugikan negara Rp 1,2 miliar. Padahal permintaan dalam negeri sedang turun.
Berbagai soal itulah yang dikeluhkan produsen baja. Salah satunya Manajer PT Bisma Narendra, Agus Salim. Repotnya, aturan pemerintah untuk mencegahnya juga tak jelas. Awalnya, aturan diteken Menteri Perdagangan pada 12 Februari lalu, tapi pelaksanaannya molor hingga 1 Juni, bahkan sampai kini. Wakil Ketua Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Irvan Kamal Hakim menambahkan, ketidaktegasan pemerintah justru membuka pintu masuk impor ilegal selebar-lebarnya.
Tapi benarkah industri baja nasional kolaps karena serangan produk impor? Data statistik memang menunjukkan keanehan, yakni produk impor justru melonjak ketika krisis global sedang di puncak. Menurut Irvan, hal itu terjadi akibat banyak produsen kakap dunia masih kelebihan stok. Sampai-sampai mereka rela menjual rugi.
Pada saat yang sama, mereka memproteksi pasarnya masing-masing. Cina, misalnya, memberikan tax rebate (pengembalian pajak) bagi eksportir baja, Malaysia mensubsidi harga gas 25 persen dari Petronas bagi industri baja, sedangkan Iran dan Vietnam menaikkan bea masuk baja masing-masing menjadi 10 persen dan 25 persen. Sebaliknya, Indonesia masih belum memagari pasarnya dengan ketat.
Apalagi perekonomian Indonesia masih tumbuh, dan wajar jika jadi incaran para eksportir. Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Hidajat Triseputra menilai, karena industri ini telat diproteksi, banyak pabrik baja yang kelimpungan. Krisis global yang berimbas ke pertumbuhan otomotif, properti, dan konstruksi turut menekan permintaan produk ini. ”Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga,” katanya.
Namun sebetulnya produk dalam negeri mulai dijauhi konsumen juga karena kualitasnya yang buruk. Seorang manajer proyek pembangunan rak penyimpanan untuk industri retail mengeluhkan kualitas produk baja buatan Krakatau Steel yang tidak konsisten. Pernah satu kali, ia memesan pelat baja, ternyata ketebalan di tiap ujung pelat berbeda beberapa milimeter dan malah merusak mesin pabrik miliknya.
Tentang hal ini, Krakatau Steel membantah keras. Harga dan kualitas produknya diklaim sangat bersaing dengan produk impor. Syaratnya, produk impor itu dijual dengan harga wajar. Komisaris utama perusahaan pelat merah itu, Taufiequrachman Ruki, pun menjamin bisa mensuplai produk berapa pun permintaan pasar, asalkan tidak ada persaingan harga yang ugal-ugalan.
Karena itulah produsen baja dalam negeri menunggu-nunggu diberlakukannya peraturan Menteri Perdagangan yang bisa menciptakan pasar yang wajar. Namun, kata Lukman Purnomosidhi, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Infrastruktur dan Perumahan Rakyat, aturan itu jangan malah menyulitkan konsumen akhir karena harganya justru jadi lebih mahal.
Apalagi baja sebagai material inti konstruksi properti memakan biaya 20-35 persen dari total biaya struktur bangunan. Bagi kontraktor, ”Tidak jadi masalah produk lokal atau impor, harganya di-dumping atau tidak, sudah bayar bea masuk atau belum. Yang penting ongkos produksi bisa ditekan.” Mestinya, kata Lukman, produk impor bisa membuat industri lokal mawas diri agar memproduksi baja berkualitas, lebih cepat memenuhi kebutuhan pasar, sekaligus lebih murah.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Mudrajad Kuncoro, menilai, selain mendapat serangan impor ilegal dan terindikasi dumping, industri baja nasional terjepit karena tidak efisien. Pabrik baja terbesar, Krakatau Steel, selama tiga dekade, tiap tahun hanya memproduksi 2,5 juta ton baja, padahal kebutuhan per tahun mencapai 6-7 ton. Plus seluruh bahan bakunya masih harus diimpor.
Dengan tingkat produksi yang minim, menurut dia, seharusnya pemerintah tidak berlebihan melindungi industri ini. Posisi Indonesia pun masih di luar nomor 100 produsen baja terbesar di dunia. Apalagi kapasitas produksi rata-rata industri baja lokal nasional turun tiap tahun. Tahun lalu, kapasitasnya bahkan turun hingga 40 persen. Karena itu, ia mengusulkan pembenahan tak hanya dari tata niaga produk baja, tapi terutama mestinya dengan meningkatkan efisiensi industri.
Susahnya, pemerintah tetap berkukuh memproteksi industri ini karena menyerap banyak tenaga kerja dan karena baja menjadi tulang punggung industri manufaktur. Menurut Direktur Pengolahan Logam Departemen Perindustrian Putu Suryawiryawan, perlindungan industri ini untuk kepentingan jangka panjang.
Konsumen, kata dia, saat ini mungkin diuntungkan dengan harga produk impor yang murah, tapi dalam jangka panjang biaya yang jauh lebih besar harus dikeluarkan untuk infrastruktur karena sangat bergantung pada baja impor. ”Beda jika industri baja kita mandiri. Tidak lagi gampang goyang karena fluktuasi harga dunia,” kata Putu. Tapi sudah puluhan tahun pabrik baja lokal tetap saja tak mampu bersaing.
R.R. Ariyani, Munawwaroh, Vennie Melyani
Ekspor dan Impor Produk Baja (Ribu Ton)
  | 2007 | 2008 | ||
---|---|---|---|---|
Ekspor | Impor | Ekspor | Impor | |
HRC/P | 802,5 | 1.316 | 770,9 | 1.778 |
CRC/S | 140,6 | 745,8 | 79,5 | 1.129 |
Baja berlapis (seng, aluminium, dll.) | 53,1 | 403 | 43 | 614 |
Pipa las | 51,8 | 90 | 80,5 | 213 |
Batang kawat baja (wire rod) | 170,4 | 170,4 | 204,9 | 652,7 |
Pipa tanpa kampuh (threaded) | 192,9 | 323,3 | 323,3 | 502,2 |
Produk besi/baja lainnya | 671,5 | 642,9 | 551,7 | 835,5 |
Total | 2.173 | 7.769 | 2.028 | 11.038 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo