Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU cat masih terasa di ruang tamu rumah kuno di Jalan Senopati Nomor 10, Jakarta Selatan. Sekalipun dari luar terlihat kusam, interior bangunan model Belanda itu tertata rapi dan bersih. Perabotan pun rata-rata masih baru, seperti satu set sofa kayu ukiran dengan jok kain yang masih berlapis plastik.
Di ruang inilah PT Selalang Prima Internasional berkantor. Tiga pekan lalu, saat Tempo menyambangi rumah ini, suasana amat sepi. Pagarnya tergembok dan tak tampak satu pun penghuni. Namun kini semua berubah. Dua karyawan sibuk membereskan berkas, sementara komputer dan mesin fotokopi pun mulai aktif. ”Memang masih dibenahi di sana-sini,” kata Sahala Pangaribuan, konsultan hukum Selalang Prima.
Bisa dibilang, perusahaan milik Misbakhun, politikus Partai Keadilan Sejahtera, ini nomad atawa kerap pindah domisili. Tercatat ada dua kantor lain, yakni di lantai 25 Gedung Mid Plaza II dan rumah di Jalan Percetakan Negara IVA/12, Jakarta Pusat. Rekam jejaknya pun luar biasa. Sumber Tempo di kalangan penyidik mengatakan, hanya dengan empat pegawai, perusahaan ini bisa mencetak omzet miliaran rupiah. ”Ini kan perusahaan dagang. Tak mesti banyak tangan untuk mencetak omzet,” ujar Sahala berkilah.
Tapi bukan hanya itu yang jadi perhatian publik. Setelah perusahaan ini gagal memenuhi tenggat pelunasan kredit impor senilai US$ 22,5 juta di Bank Century dua tahun silam, tuduhan miring bertubi-tubi menerpa Selalang dan Misbakhun. Mulai dugaan impor fiktif, manipulasi dokumen impor, hingga dugaan afiliasi perusahaan dagang itu dengan Robert Tantular, bekas pemilik Century, yang kini jadi pesakitan.
Semua bermula saat Selalang mendapat fasilitas surat kredit berjangka (usance L/C) pada November 2007 dari Century senilai US$ 22,5 juta. Dua bulan kemudian, Selalang menanamkan duit bernilai sama pada Kellett Investment Corporation, perusahaan trader dan investasi, di Hong Kong. Hal ini menimbulkan kecurigaan karena mestinya kredit itu untuk mengimpor kondensat Bintulu, produk turunan minyak bumi dari Grains and Industrial Product Trading, perusahaan dagang yang berkantor di Robinson Road, Singapura (baca Tempo edisi 8-14 Maret 2010).
Sialnya, saat jatuh tempo 19 November 2008, Selalang tak mampu melunasi utang itu. Gara-garanya, Kellett kena terpaan krisis keuangan di Amerika sehingga tak bisa mengembalikan investasi Selalang. ”Kami kini tengah berkonsentrasi menyelesaikan kewajiban itu,” ujar Sahala.
Selalang tak sendiri. Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya sembilan perusahaan lain yang tersandung masalah L/C di Bank Century, yakni PT Polymer Spectrum, PT Trio Irama, PT Petrobas Indonesia, PT Sinar Central Sandang, PT Citra Senantiasa Abadi, PT Dwi Putra Mandiri, PT Damar Kristal Mas, PT Sakti Persada Raya, dan PT Energy Quantum.
Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, untuk memperoleh L/C, perusahaan-perusahaan itu mendapat perlakuan istimewa dari Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim, mantan Direktur Utama Century. ”Proses pemberian kredit hanya formalitas karena kredit diberikan atas instruksi keduanya,” demikian kutipan laporan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan.
Kecurigaan makin kuat manakala 10 nasabah L/C Century diketahui bertransaksi hanya dengan dua perusahaan: Bunge SA serta Grains and Industrial. Karena tak ada analisis bisnis yang memadai, tak aneh jika di kemudian hari seluruh kredit itu macet.
Namun, beban utang 10 nasabah itu mesti ditanggung Lembaga Penjamin Simpanan melalui mekanisme penyertaan modal sementara (PMS) di Bank Century, yang kini berganti nama menjadi Bank Mutiara. Total kredit yang dikucurkan Bank Century untuk 10 nasabah L/C bermasalah itu mencapai US$ 178 juta (Rp 1,65 triliun). Namun nilai porsi kerugian yang ditanggung LPS membengkak hingga US$ 219,9 juta (Rp 2,05 triliun). ”Angka ini tengah kami hitung kembali,” kata Ahmad Fajarprana, Sekretaris LPS.
Hal ini ada sebabnya. Pada dua perusahaan, yakni Selalang Prima dan Sinar Central Sandang, Bank Century memikul beban tambahan. Selain karena utang yang tak terbayar, Century yang diselamatkan pemerintah dengan suntikan modal sementara Rp 6,7 triliun ini mesti kehilangan jaminan yang disimpan di bank koresponden luar negeri.
Berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, saat memberikan fasilitas L/C kepada Selalang, Bank Century menempatkan jaminan berupa surat berharga US Treasury Strips dengan seri ISIN US 912803BD41 senilai US$ 50 juta di Saudi National Commercial Bank (SNCB), Bahrain. ”Jaminan ini diminta karena Century bank kecil yang relatif tak dikenal di luar negeri,” kata sumber Tempo.
Ironisnya, jaminan ini tak setara dengan jaminan yang diberikan Selalang kepada Century berupa deposito US$ 4,5 juta atau hanya 20 persen dari nilai L/C yang diajukan. Setelah tenggat pembayaran L/C pada 19 November 2008 tak dipenuhi, SNCB Bahrain pun menjual surat berharga milik Century dengan harga perolehan US$ 24,6 juta atau 49,23 persen dari nilai buku.
Dana itu sebagian dipakai melunasi utang L/C Selalang, dan sisanya disalurkan ke rekening koran (nostro) Bank Century di Standard Chartered Bank, New York. Tinggal kas Century yang bolong. Kerugian Century ini mencapai US$ 47,8 juta, yakni dari utang pokok US$ 22,5 juta yang macet serta kerugian akibat penjualan surat berharga sebesar US$ 25,4 juta.
Kasus serupa terjadi pada Sinar Central Sandang. Pada November 2007, perusahaan milik Theresia Dewi Tantular, saudari kandung Robert Tantular, ini mengajukan L/C senilai US$ 26,5 juta untuk impor kedelai Brasil dari perusahaan asal Singapura, Bunge Agribusiness Ltd. Untuk itu, lagi-lagi Century menjaminkan surat berharga US Treasury Strips dan deposito murabaha di SNCB Bahrain senilai US$ 67,9 juta. Akhir ceritanya bisa ditebak. Saat jatuh tempo 26 November 2008, Sinar Central gagal bayar dan jaminan itu dijual dengan harga perolehan hanya US$ 32 juta atau 49,2 persen dari nilai awal.
Rohan Hafas, Sekretaris Perusahaan Bank Mutiara, mengatakan beban akibat macetnya pembayaran surat kredit ini sudah dimasukkan ke dalam pencadangan kerugian, atau penyisihan atas penghapusan aktiva produktif, yang akan ditanggung Lembaga Penjamin Simpanan. Bank Mutiara, menurut dia, hingga kini terus melakukan upaya restrukturisasi, mulai penjadwalan pembayaran utang hingga tambahan jaminan. ”Beberapa debitor sudah menunaikan kewajibannya secara bertahap,” katanya.
Gara-gara itu semua, penyidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI telah menetapkan empat tersangka, yakni Robert Tantular, Direktur Utama Hermanus Hasan Muslim, Direktur Treasury Krishna Jagateesen, dan pemimpin Kantor Pusat Operasional Bank Century Senayan, Linda Wangsadinata. Tuduhannya macam-macam, dari tindak pidana perbankan sampai pemalsuan surat yang berkaitan dengan dugaan impor fiktif.
Brigadir Jenderal Raja Erizman, Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal, mengatakan dugaan impor fiktif masih harus dibuktikan dengan ada-tidaknya komoditas yang dibeli. Namun indikasi pelanggaran yang lebih jelas terlihat pada mekanisme pengucuran L/C. Kejanggalan itu antara lain selisih waktu permohonan L/C dengan pencairannya terlalu cepat dan jaminan para pemohon tak sebanding dengan jumlah pinjaman. ”Unsur kehati-hatian diabaikan,” katanya.
Ada juga indikasi yang menguatkan Robert Tantular terafiliasi dalam pengucuran kredit ini sebagai pemegang kendali. Sumber Tempo mengatakan, dari keterangan Linda dan Hermanus, diketahui bahwa Robert selalu memberikan perintah langsung dalam pemberian fasilitas kredit ini.
Ada bukti keras yang mendukung dugaan ini. Melalui PT Century Super Investindo, Robert Tantular mengirimkan surat pernyataan pengambilalihan tanggung jawab atas L/C yang diajukan Energy Quantum, Sakti Persada, Dwi Putra, dan Damar Kristal. Surat-surat yang isinya membebaskan debitor dari segala kewajiban yang berhubungan dengan penerbitan L/C itu dibuat sejak November 2007 hingga Juli 2008.
Polisi juga tengah mengendus kejanggalan jaminan yang diberikan para debitor. Agunan 10 perusahaan itu ternyata diberikan oleh dua orang misterius, yakni Tanety Solikhin dan Junty. Sumber Tempo mengatakan rekayasa jaminan ini bukan tak mungkin akan menyeret pemilik dan direksi perusahaan debitor L/C itu.
Salah satu contohnya kasus PT Sinar Central Sandang milik Theresia Tantular. Standby L/C dari Bayerische Hypo- und Vereinsbank, Muenchen, Jerman, senilai US$ 26,5 juta yang mereka jaminkan ternyata tak bisa dieksekusi. ”Kami juga tengah memeriksa dokumen kepemilikan aset yang dijaminkan perusahaan lain,” kata penyidik itu. Beberapa pejabat perusahaan penunggak, seperti Franky Ongkowardojo, Direktur Selalang Prima, sudah diperiksa sebagai saksi.
Trianto, kuasa hukum Robert Tantular, mengatakan tuduhan tindak pidana perbankan yang dialamatkan kepada kliennya tak relevan. Posisi Robert sebagai komisaris di Bank Century membuatnya tak bisa turut campur dalam urusan manajerial. ”Dia bukan pemegang saham pengendali. Tuduhan yang didasari keterangan pihak lain itu harus dibuktikan penyidik,” katanya.
Sahala pun menepis keraguan mengenai kepemilikan aset yang dijaminkan perusahaan itu.
Fery Firmansyah
Debitor L/C | Pinjaman L/C* | Beban dalam PMS* |
PT Sinar Central Sandang | 26,499,680 | 59,492,050 |
PT Sakti Persada Raya | 23,999,997 | 21,340,000 |
PT Selalang Prima Internasional | 22,499,964 | 41,878,500 |
PT Damar Kristal Mas | 21,499,993 | 9,350,000 |
PT Citra Senantiasa Abadi | 19,999,991 | 17,990,000 |
PT Energy Quantum | 19,999,980 | 19,999,980 |
PT Polymer Spectrum | 17,999,996 | 17,999,996 |
PT Trio Irama | 10,999,993 | 8,799,993 |
PT Dwi Putra Mandiri | 9,999,990 | 8,999,991 |
PT Petrobas Indonesia | 4,300,000 | 4,082,850 |
Total | 177,799,584 | 219,933,360 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo