Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dua pekan ini, tampak kesibukan baru di lantai dua blok C-3 gedung Sentra Mampang, Jakarta Selatan. Di markas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia itu, hampir saban hari sejumlah tenaga administrasi mengumpulkan berbagai bahan—dari kliping pemberitaan hingga hasil survei—menyangkut pasar tradisional dan pasar modern. Pemicunya adalah Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern, yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 27 Desember lalu.
Para pedagang pasar resah karena sejumlah beleid dalam aturan itu dinilai bakal merugikan mereka. Menurut Ngadiran, Sekretaris Presidium Asosiasi, yang paling rawan adalah diserahkannya pengaturan kapling (zonasi) antara pasar tradisional dan pasar modern ke pemerintah daerah. Untuk membahas urusan ini, Asosiasi merencanakan ”hajatan” di sebuah hotel di Jakarta Selatan.
Sebagai pemanasan, salinan peraturan presiden itu akan segera disebar ke 26 dewan pimpinan wilayah Asosiasi di seluruh Indonesia. Terlampir pula sepucuk surat undangan. Para pimpinan wilayah diminta mencermati setiap pasal dalam aturan itu. ”Kami akan membahasnya di Jakarta akhir bulan ini,” kata Ngadiran.
Kekhawatiran Asosiasi bukan tanpa dasar. Data yang disuguhkannya mengindikasikan betapa kondisi di daerah kerap tak ramah kepada pedagang tradisional. Ambruknya pasar Cempaka Putih, Sumur Batu, dan Rawa Kerbau di Jakarta Pusat—setelah sebuah hipermarket berdiri di sana—menjadi salah satu penanda. Dalam tiga tahun terakhir, sudah sembilan pasar tradisional di Jakarta yang gulung tikar.
Pedagang kecil pun bertumbangan. Somad, penjual di Pasar Ciledug, Tangerang, Banten, merasakan betul sakitnya tergilas raksasa retail Carrefour, yang memutar roda bisnisnya di muka pasar. Pendapatannya dari berjualan perabot dapur kini hanya pas-pasan menyambung hidup.
Khawatir kenyataan pahit ini terus berulang, pertemuan nanti akan membahas satu agenda penting: membentuk tim pengawas yang memantau daerah dalam menelurkan aturan. Anggota Asosiasi disiapkan ”menempel” para pembuat kebijakan, ”mengawal” sampai ke pelosok daerah. Zonasi merupakan hal vital yang harus diatur dengan tegas.
Menurut Ngadiran, ”pengawalan” diperlukan agar perjuangan para pedagang tradisional menghadapi gempuran raksasa-raksasa retail dalam dua setengah tahun ini tak sia-sia. ”Jika peraturan daerah melenceng,” kata pemilik toko bahan kebutuhan pokok di Pasar Blok A, Jakarta Selatan, itu, ”kami akan melayangkan somasi atau gugatan.”
Di mata Ngadiran, isi peraturan presiden ini sebetulnya tak jelek-jelek amat. Ia bahkan menilai ada sejumlah kemajuan. Misalnya pengaturan pemasok produk ke pasar retail modern. Selama ini, para raksasa retail bisa seenaknya menentukan berbagai biaya untuk para pemasok. Dengan aturan baru ini, semua biaya diatur jelas standar dan jenisnya. Otomatis, para pemasok kecil, yang juga anggota Asosiasi, bisa lebih nyaman berhubungan dengan para pengelola pasar modern.
Handaka Santosa, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, mendukung penuh keluarnya peraturan presiden ini. Menurut dia, peraturan ini memberi kepastian hukum bagi investor. Para pelaku usaha yang sudah menunggu bertahun-tahun pun kini bernapas lega. Karena itu, ia yakin para pemodal asing, yang selama ini lebih melirik Cina dan India sebagai lahan penetrasi pasarnya, akan berpaling ke Indonesia. ”Kondisinya sekarang menjadi lebih kondusif,” kata Handaka.
Perkara kondisi pasar tradisional yang kian terimpit, Handaka menyangkal itu akibat ulah pasar modern. Penyebabnya, menurut dia, adalah kondisi pasar yang becek dan bau sehingga tidak nyaman buat pembeli. Pasar tradisional juga kurang berinovasi untuk menarik minat konsumen.
Kesimpulan itu pula yang tertuang dalam hasil survei AC Nielsen sejak 2004. Dari tujuh kota yang disurvei—Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bandung, Surabaya, dan Makassar—pasar tradisional yang berimpitan dengan pasar retail modern tidak menimbulkan persoalan.
Ambil contoh pasar tradisional di Bumi Serpong Damai dan Kelapa Gading, yang terkelola dengan baik. ”Mereka justru bisa bersinergi dengan pasar modern,” kata Direktur Retail dan Pengembangan Bisnis AC Nielsen, Yongki Surya Susilo.
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo