Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN itu menyeruak dari sebuah rapat umum pemegang saham luar biasa di gedung tua PLN di Gambir, Jakarta Pusat, Selasa malam pekan lalu. Ketika itu Direktur Pembangkit PLN Ali Herman Ibrahim diadili seperti ”pesakitan”. Ia dicecar oleh Dewan Komisaris dan pemegang saham, terkait dengan kegagalannya menjaga pasokan batu bara pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Tanjung Jati B, Jepara, Jawa Tengah.
Dimulai pukul 17.00, rapat ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Tak ada jeda istirahat. Yang terjadi justru perdebatan sengit komisaris versus direksi, khususnya tentang potensi kerugian. Menjelang pukul 22.00, kuasa pemegang saham pemerintah, Deputi Menteri Negara BUMN Roes Aryawijaya, menyampaikan putusan penting: Ali Herman diberhentikan. Ia diganti Fahmi Mochtar, General Manager PLN Distribusi Jakarta Raya.
Ruang rapat seketika hening. Semua peserta rapat diam seribu basa. Namun, situasi kembali memanas ketika pengacara Ali Herman, Hamdan Zoelva, mendadak menginterupsi. ”Saya protes keras, pemecatan ini tidak fair,” kata tokoh Partai Bintang Bulan ini dengan suara lantang. Namun pemimpin rapat, Alhilal Hamdi, berhasil meredam emosi Hamdan. ”Ini forum internal PLN, pengacara tak berhak bicara,” jawab Komisaris Utama PLN tersebut.
Forum pembelaan Ali Herman ini akhirnya ditutup. Kepada pers, seusai rapat, Direktur Utama PLN Eddie Widiono mengaku bisa menerima putusan tersebut. Matanya berkaca-kaca dan pikirannya menerawang. Beberapa pasang mata peserta rapat lainnya juga tampak sembab.
Pertemuan kali ini memang benar-benar rapat luar biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah PLN, rapat pemegang saham digelar guna mengadili anggota direksi, yakni seorang direktur yang membawahkan sejumlah pembangkit berkapasitas ribuan megawatt milik PLN. Alumni ITB ini turut bertanggung jawab atas hidup-matinya sistem listrik Jawa-Bali.
Ali Herman juga seorang tokoh kontroversial. Pria yang sudah berkarier 28 tahun di PLN ini pernah tersandung kasus pembangkit Borang, Sumatera Selatan. Ia sempat meringkuk di hotel prodeo bersama Eddie Widiono gara-gara kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara Rp 24 miliar tersebut.
Kini ia tersandung kasus Tanjung Jati, yang muncul ketika PLN banyak disorot karena kinerja yang belepotan. Tengok saja, belakangan ini pelanggan listrik di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi bergiliran mendapat pemadaman rata-rata dua jam per hari. PLN juga menghadapi masa sulit karena subsidi listrik cuma Rp 29,8 triliun tahun ini, tetapi diperkirakan akan membengkak jadi Rp 70 triliun karena kenaikan harga minyak. BUMN ini juga punya gawe besar-besaran, proyek pembangkit 10 ribu megawatt.
Sesungguhnya, PLTU Tanjung Jati B yang dibangun dengan biaya US$ 1,65 miliar itu bukan pembangkit ecek-ecek. Kapasitasnya 2 x 660 megawatt atau hampir 10 persen dari total kebutuhan setrum sistem transmisi Jawa Bali pada saat beban puncak. Biasanya, pembangkit yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Oktober 2006 ini beroperasi penuh. Bahkan, menurut Alhilal, keduanya bisa bekerja melebihi kapasitas hingga 710 Megawatt.
Namun situasi berubah drastis pada akhir Desember lalu. Ketika itu stok batu bara tinggal 37 ribu ton. Padahal satu pembangkit butuh 5.500 ton batu bara per hari. Artinya, jika kedua pembangkit dihidupkan, bahan bakar itu akan ludes dalam 3-4 hari saja. Stok dianggap aman jika cukup kebutuhan satu bulan.
Menipisnya pasokan batu bara itu menyebabkan satu pembangkit PLTU Tanjung Jati tak berfungsi sejak 31 Desember hingga 8 Januari. Akibatnya, menurut hitungan Dewan Komisaris, PLN berpotensi rugi Rp 30 hingga 40 miliar per hari karena harus mengganti dengan pembangkit berbahan bakar minyak.
Semula mereka berharap pada pasokan batu bara 120 ribu ton yang dikirim sejak 26 Desember dari Kalimantan. Sayangnya, cuaca sedang tidak bersahabat. Dua kapal pengangkut yang berbobot 60 ribu ton tak bisa bersandar di darmaga Tanjung Jati. Mereka tertahan gelombang pasang setinggi 3-6 meter sehingga terkatung-katung 4 mil dari darmaga.
Selain cuaca, PLN tersandung soal terbatasnya angkutan. Sejak pemerintah menerapkan aturan kapal asing dilarang mengangkut batu bara, perusahaan ini kesulitan mencari kapal. Apalagi jumlah kapal nasional berbobot 60 ribu ton terbatas, hanya ada sembilan unit, sehingga mereka pun berebut. Akibatnya, menurut Hamdan, sejak Mei 2007, stok batu bara selalu di bawah target.
Persoalan bertambah runyam karena posisi tawar PLN lemah. PT Arpeni, sang pemilik kapal, lebih patuh pada produsen ketimbang pembeli batu bara. Pasalnya, penyewa armada mereka adalah pemasok, bukan PLN. Tentu saja, Arpeni ngikut saja apa mau penyewa. ”Diminta kirim untuk ekspor, ya ekspor,” kata Oentoro Surya, Direktur Utama Arpeni. ”Tetapi ceritanya akan lain jika yang menyewa kapal PLN.”
Sesungguhnya, PLN berupaya mengubah pola pasokan batu bara. PLN sudah melakukan tender kapal angkut. Pemenangnya, Arpeni, sudah ditetapkan oleh direksi pada 22 November lalu dengan nilai transaksi Rp 3 triliun untuk kontrak 15 tahun. Tetapi putusan itu kini terganjal di dewan komisaris karena mereka belum memberikan persetujuan.
Mengacu pada kronologi tersebut, Hamdan menilai tak ada alasan untuk mencopot Ali Herman. Sebab, dari runutan kejadian, Ali Herman tidak terbukti lalai. Selain itu, RUPS sudah memutuskan membentuk tim investigasi guna mengusutnya. ”Bagaimana mungkin, investigasi belum bekerja, Ali Herman sudah diberhentikan,” ujarnya balik bertanya.
Hamdan malah curiga ada alasan politik di balik terjungkalnya Ali Herman dari kursi empuknya. Sebab, tiga bulan lagi, tepatnya 6 Maret, masa kerja direksi akan berakhir. Nah, Ali Herman semula disebut-sebut bakal menjadi calon kuat pengganti Eddie. Kini, dengan mencuatnya kasus ini, peluang putra kelahiran Palembang 53 tahun silam ini bakal pupus.
Kecurigaan ini makin lengkap karena pengganti Ali Herman bukan pejabat berpengalaman di pembangkitan. Ia berasal dari pejabat karier di distribusi. Padahal, menurut sumber di PLN, jika ingin membenahi pembangkit, penggantinya mesti memiliki keahlian yang sama.
Sumber ini khawatir, Ali Herman hanya dikorbankan. Sebab, putusan banyaknya stok batu bara merupakan tanggung jawab korporasi, bukan perorangan. Bahkan putusan akhir ada di tangan Direktur Keuangan, karena terkait dengan duit yang akan dipakai membeli batu bara. ”Jadi, itu tergantung seberapa kuat duit PLN.”
Tetapi Dewan Komisaris dan pemegang saham membantah muatan politik di balik putusan ini. Mereka berkukuh bahwa cuaca buruk tak bisa disalahkan dalam kasus ini. Sebab, prakiraan cuaca sudah ada. Bulan-bulan yang iklimnya tak bersahabat juga sudah bisa diprediksi. Apalagi kasus seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Pada Maret 2007, PLTU Tanjung Jati B mengalami situasi serupa, yakni pasokan terganggu oleh cuaca buruk. Mestinya kejadian ini bisa diantisipasi. ”Apalagi mereka bekerja puluhan tahun di PLN,” kata Alhilal.
Pemegang saham juga heran atas berlarut-larutnya proses tender kapal pengangkut. Bayangkan, perusahaan setrum negara ini telah mulai tender angkutan batu bara sejak Agustus 2005. ”Tetapi surat tender baru dikirimkan oleh General Manager Tanjung Jati ke direksi pada 11 September,” kata Roes Aryawijaya.
Kini tim investigasi mulai bekerja mengusut kasus ini hingga Maret. Menurut Roes, tim akan memeriksa pejabat level menengah hingga atas, seperti general manager, direktur, hingga komisaris. ”Kalau perlu, semua (direktur) dicopot juga tidak apa-apa,” ujar Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil pekan lalu.
Heri Susanto, Munawwaroh, Wahyudin Fahmi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo