Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHI burung berserakan di lantai sebuah gedung bertingkat di Desa Tambahrejo, Pringsewu, Lampung. Semakin masuk ke dalam gedung, bau busuk kotorannya semakin menusuk hidung. Suroso, si pemilik gedung, tak menghiraukan aroma tak sedap itu. Kamis pagi pekan lalu, pria separuh baya itu tetap bekerja dengan bersemangat membersihkan lantai.
Suroso adalah bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Lampung. Setelah pensiun, ia sekarang menjadi penangkar burung walet. Di tengah gerimis pagi itu, Suroso memutar kaset burung walet. Suara cuat-cuit bergema keras sampai ke luar gedung. Suara burung tiruan ini sengaja diputar untuk memancing walet mendatangi gedung dan bersarang di dalamnya. "Tapi, sampai sekarang, walet belum datang. Hanya burung sriti yang sudah bersarang," katanya kepada Tempo pekan lalu.
Delapan tahun lalu, Suroso membangun gedung itu dengan biaya Rp 300 juta. Ia tergiur menjadi petani walet demi mendapatkan air liurnya. Masyarakat lebih mengenal air liur ini sebagai sarang burung walet. Harga jual air liur walet sangat mahal, bisa lebih dari Rp 10 juta sekilo. Bandingkan dengan "sarang burung" sriti, yang hanya Rp 800 ribu per kilogram.
Gedung milik Suroso berdampingan dengan puluhan gedung bertingkat lain. Salah satunya milik Noseh. Noseh mewarisi belasan gedung penangkaran walet dari Zul Bakar, ayahnya. Zul Bakar penangkar burung paling sukses di Pringsewu. Semua gedungnya terisi burung walet. "Dia perintis penangkaran burung walet di sini," kata Suroso menceritakan tetangganya yang sukses menangkar burung walet itu.
Pringsewu salah satu sentra produsen walet di Indonesia. Penangkaran walet di situ sudah ada sejak 1990-an. Ratusan gedung bertingkat dibangun khusus untuk singgah dan bertelur burung walet. Saat jaya-jayanya bisnis sarang walet, ratusan area lahan pertanian di daerah yang baru dipisahkan dari Kabupaten Tanggamus itu beralih fungsi menjadi belantara gedung penangkar walet. "Semua orang tergiur keuntungan besar dari bisnis itu," kata Prastowo, Kepala Desa Gadingrejo, Pringsewu.
Tak seperti 20 tahun silam, bisnis walet di Pringsewu sekarang sedang loyo. Kelesuan juga terasa di sentra-sentra produksi sarang walet lain di Lampung, seperti Kabupaten Mesuji, Tanggamus, dan Tulang Bawang. Menurut Sumaryanto alias Akiong, salah seorang pengepul dan eksportir sarang walet, suramnya bisnis walet di Lampung tak lepas dari kondisi pasar di Cina. "Bisnis walet di sana (Cina) sedang lesu," ujarnya. Produsen sarang walet di Lampung memang banyak melakukan ekspor ke Negeri Tirai Bambu.
Masyarakat Tiongkok sangat menggemari produk walet, yang bisa dikonsumsi menjadi sup atau bahan campuran obat dan kosmetik. Lantaran pasar Cina masih lesu, pengusaha walet di Lampung sementara ini mengalihkan ekspor ke Malaysia. Namun harga air liur walet di negeri jiran ini kurang bagus. Sarang burung kualitas super berbentuk mangkuk hanya dihargai Rp 6-8 juta sekilo, jauh dibanding harga di Cina, sekitar Rp 15 juta.
Musim "kemarau" bisnis walet tak hanya terjadi di Lampung. Kelesuan bisnis sarang walet juga terjadi di Surabaya. Harga sarang burung walet di Kota Buaya anjlok dari kisaran Rp 10-12 juta menjadi Rp 7 jutaan. "Harga turun drastis karena stok menumpuk," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia Rosi Kamsari. Lagi-lagi faktor pasar Cina menjadi penyebab utama meredupnya bisnis sarang walet di Jawa Timur.
Menurut Rosi, sejak Agustus lalu, ekspor sarang walet tak bisa menembus pasar Cina. Penyebabnya, otoritas perdagangan di Negeri Panda memperketat masuknya sarang burung walet dari Indonesia dengan alasan kesehatan. "Sarang burung walet kita dituduh sebagai penyebab kanker dan gagal ginjal," Hari K. Nugroho, konsultan budi daya sarang burung walet dari PT Eka Walet, Semarang, menambahkan.
Cerita ini berawal dari ditemukannya kandungan nitrit pada sarang walet berwarna merah asal Indonesia dalam kadar berlebihan. Di Provinsi Xinjiang, nitrit—biasa dipergunakan sebagai bahan pengawet daging—ditemukan dalam sarang walet sebesar 4.400 mikrogram. Padahal, sebagai ambang toleransi, per kilogram sarang walet hanya boleh mengandung 70 mikrogram nitrit.
Menurut Hari, tudingan itu berlebihan. Kandungan nitrit, seperti pada beberapa bahan konsumsi lain, misalnya daging dan sayur-sayuran, dengan sendirinya akan hilang. Caranya cukup dibersihkan dan direbus dengan air mendidih.
Berdasarkan catatan asosiasi pedagang sarang walet, kata Rosi, Indonesia sudah kesulitan mengekspor sarang burung walet ke Cina sejak sepuluh tahun lalu. Selain mengandung nitrit, sarang walet Indonesia dianggap belum bebas dari endemi flu burung (H5N1).
Kendati negara-negara di Asia Tenggara sudah meneken pakta perdagangan Cina-ASEAN (CAFTA) pada Januari 2010, pemerintah Cina tetap mengenakan hambatan nontarif terhadap sarang walet asal Indonesia. Hambatan nontarif antara lain berujung pada pengenaan tambahan bea masuk 17 persen. Sedangkan produk negara-negara lain, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura, bisa bebas masuk ke Cina tanpa kena tambahan bea masuk sama sekali.
Selama ini, eksportir Indonesia menyiasati hambatan perdagangan dari Cina dengan mengirimkan produk melalui negara ketiga, seperti Malaysia, Singapura, atau Hong Kong. Masalahnya, ekspor melalui negara ketiga mengurangi keuntungan eksportir. Ekspor melalui Hong Kong, misalnya, membuat harga turun Rp 3-4 juta per kilogram. Harga di Cina bisa mencapai Rp 20 juta per kilogram, sedangkan di Hong Kong Rp 16-17 juta per kilogram.
Kebijakan Cina atas sarang walet tentu saja merugikan petani dan eksportir sarang walet. Maklum saja, Cina penyerap terbesar komoditas walet dunia, termasuk dari Indonesia. Data asosiasi pedagang sarang walet menunjukkan setiap tahun ekspor ke Cina mencapai 500-600 ton.
Asosiasi pedagang sarang walet dan pemerintah Indonesia tidak berdiam diri menghadapi hambatan perdagangan dari Cina. Saat membahas perjanjian perdagangan bebas ASEAN-Cina, April tahun lalu, di Yogyakarta, Menteri Perdagangan Cina Chen Deming dan Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan Indonesia saat itu, sempat membahas masalah perdagangan sarang walet. Cina, kata Rosi, sepakat memfasilitasi akses pasar bagi sarang walet Indonesia, selain buah-buahan tropis. Pertemuan di Yogyakarta membawa angin segar buat pebisnis sarang walet. "Draf perjanjian sudah disiapkan. Pokoknya bisa saling menguntungkan," kata Rosi.
Para pebisnis sarang walet kini boleh berharap. Penggantian Menteri Perdagangan Mari Elka dengan Gita Wirjawan tak membuat upaya mengatasi hambatan ekspor walet ke Cina terhenti. Pada 18 Oktober lalu, pejabat-pejabat kementerian perdagangan kedua negara kembali membahas masalah sarang burung walet. Menurut Direktur Ekspor Produk Perkebunan dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Yamanah A.C., dalam pertemuan itu Indonesia melobi Cina agar menghilangkan hambatan perdagangan walet. Pemerintah Cina merespons positif dan berkomitmen mempercepat upaya penetrasi produk walet Indonesia ke Tiongkok. "Sekarang kita tinggal menunggu sambil mendesak."
Harun Mahbub, Nurochman Arrazie (Lampung), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo