Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK kunjung didapatkannya izin kanal baru membuat Chandra Hawan Aden tak enak makan-tidur. Para pemegang saham PT Axis Telekom Indonesia, tempatnya bekerja, terus "memburu"-nya. Sudah setahun lebih urusan ini menggantung. Padahal tanggung jawab ada di pundaknya sebagai kepala divisi regulasi dan hubungan pemerintahan di Axis. "Wajar mereka takut kehilangan modal yang ditanam," ujar Chandra.
Semua bermula dari kebijakan pemerintah yang menyiapkan spektrum 60 megahertz (MHz) pada pita 2,1 gigahertz (GHz). Spektrum ini disiapkan untuk teknologi generasi ketiga atau 3G. Teknologi ini kondang lantaran menawarkan jalur "ngebut", terutama untuk sambungan telepon seluler dan akses Internet.
Alokasi spektrum tersebar ke selusin blok dengan besaran frekuensi masing-masing 5 MHz. Satu blok terdiri atas dua kanal: atas (up-link) dan bawah (down-link). Yang tersisa kini tinggal tiga blok, yakni 2, 6, dan 11.
Alokasi pertama disebar pada 2004 kepada lima operator, yaitu PT Hutchinson CP Telecommunication (Tri) di blok 1, Axis di blok 3, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) di blok 5, PT XL Axiata di blok 6 (kemudian berpindah ke blok 9), dan PT Indosat di blok 7.
Lima tahun kemudian, pemerintah kembali melego blok tambahan (second carrier). Tapi hanya tiga operator yang mendapatkan kuota ekstra, yaitu Telkomsel (blok 4), Indosat (blok 8), dan XL (blok 10). Adapun blok 12 dihuni PT SmartFren Telecom Tbk, satu-satunya operator berbasis teknologi CDMA.
Tri dan Axis tak kebagian jatah. Kabarnya hal itu dipicu oleh keterlambatannya menyorongkan proposal. Maklum, biaya awal (up-front fee) per kanal relatif mahal: Rp 160 miliar. Baru belakangan Axis dan Tri sanggup memenuhi harga pemerintah. Akibatnya, alokasi second carrier kepada Tri dan Axis belum terlaksana hingga kini.
Persoalan semakin ruwet buat Axis untuk mendapatkan blok tambahan setelah Kementerian Komunikasi dan Informatika berniat menata ulang blok 3G pada November 2010. Alokasi untuk setiap operator bakal ditata menjadi dua blok secara berdampingan.
Posisi baru ini, menurut pemerintah, akan membuat operator lebih mudah mengoptimalkan kapasitas frekuensinya. "Kesepakatan disetujui semua operator, termasuk Telkomsel," ujar anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Heru Sutadi.
Dengan skenario baru itu, Kementerian menyiapkan operator Tri di blok 1 dan 2, Axis di blok 3 dan 4, Telkomsel di blok 5 dan 6, Indosat di blok 7 dan 8, serta XL di blok 9 dan 10. Persoalannya, blok 4, yang seharusnya bakal menjadi jatah Axis, sudah ditempati Telkomsel.
Berdasarkan aturan, Telkomsel harus segera "hijrah" ke blok 6. Sedangkan XL berpindah ke blok 9. Namun rupanya hanya XL yang patuh. Selang sebulan setelah keputusan dikeluarkan, XL tuntas menyelesaikan proses migrasi dari blok 6 ke 9. Sedangkan Telkomsel ogah "hijrah". Alasannya, proses migrasi mengganggu layanan. "Kami punya 105 juta pelanggan yang akan terganggu kenyamanannya," kata juru bicara Telkomsel, Ricardo Indra.
Dalam pernyataan yang dikutip sejumlah media, Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menyebutkan migrasi bakal membuat kantong perseroan jebol hingga Rp 34 miliar. Tapi dalam kesempatan lain disebutkan ongkos yang bakal ditanggung Telkomsel hanya sekitar Rp 10 miliar.
Terhadap keberatan Telkomsel, Heru tak sependapat. Menurut dia, operator lazim melakukan penyesuaian perangkat frekuensi. "Ibaratnya hanya bergeser kamar," tuturnya. "Bukan seperti kita pindah rumah." Toh, Heru menambahkan, XL terbilang sukses melakukan migrasi frekuensi.
Saat melakukan perpindahan, manajemen XL mengakui tidak ada keluhan berarti dari pelanggan. Sebab, prosesnya dilakukan saat traffic komunikasi pelanggan berada di titik terendah, yaitu pada tengah malam hingga dinihari. "Proses perpindahan pun hampir tak memakan biaya," kata juru bicara XL, Febriati Nadira.
Salah seorang konsultan asing di perusahaan operator seluler menyokong pendapat Heru dan Febriati. Ia menunjukkan trik pemindahan data pelanggan dari satu blok ke blok lain tak ruwet. Dengan melibatkan perangkat mobile switching centerdan radio network controller, ribuan data dari menara pemancar 3G dapat dipindahkan ke blok lain hanya dalam belasan menit. "Semudah memindahkan frekuensi radio," ujarnya.
Lantas kenapa Telkomsel terus ngotot tak mau melakukan migrasi? Alasannya, menurut sumber lainnya, operator nomor wahid di Tanah Air itu sesungguhnya sedang mengincar penguasaan tiga blok berdampingan sekaligus, yaitu blok 4, 5, dan 6.
Untuk blok 6, yang ditinggalkan XL, Telkomsel bertarung melawan Indosat. Blok 11 sebetulnya juga masih lowong. Namun penguasaan atas blok ini besar kemungkinan bakal jatuh ke tangan XL, yang memang sudah menguasai blok 9 dan 10. Letaknya yang jauh membuat Telkomsel dan Indosat tak tertarik membidik blok 11.
Ketiga operator ini boleh saja sibuk berebut. Tapi, masalahnya, Badan Regulasi belum akan membuka slot third carrier sebelum tahapan kedua rampung. Prioritas utamanya adalah merampungkan alokasi blok tambahan untuk Tri dan Axis. "Belum ada payung hukumnya, sehingga tidak ada lelang third carrier," kata Heru.
Juru bicara Kementerian Komunikasi, Gatot Dewa Broto, juga menegaskan, institusinya ingin menuntaskan persoalan tersebut secara utuh, bukan sepotong-sepotong. Dia pun menolak tudingan Kementerian Komunikasi lembek terhadap Telkomsel karena mayoritas saham perusahaan ini dikuasai negara. "Ini masalah waktu saja," kata Gatot. "Jadi tak ada pihak mana pun yang menyetir kebijakan kami, termasuk Telkomsel."
Ribut-ribut soal alokasi spektrum ini rupanya tertangkap radar Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Namun Ketua Komisi Pengawas Nawir Messi menganggap sejauh ini persoalannya masih sebatas soal kebijakan. "Belum ada rencana memanggil pihak yang terlibat," ujarnya. Namun, "Jika betul ada diskriminasi alokasi, Komisi akan membawanya ke tingkat penyelidikan."
Bagi pemerintah, upaya penuntasan persoalan ini penting karena, bila terus menggantung, negara tahun ini berpotensi kehilangan pendapatan negara bukan pajak dari sektor telekomunikasi sedikitnya Rp 960 miliar. Kalkulasi itu berasal dari up-front fee dua operator: Axis dan Tri, masing-masing Rp 320 miliar, plus biaya tahunan Rp 160 miliar. Tahun lalu sektor telekomunikasi menyetor Rp 5,1 triliun.
Penyelesaian yang berlarut-larut juga amat merugikan rekanan bisnis perusahaan operator. Sebut saja dua vendor besar yang digandeng Axis untuk pengadaan menara. PT Huawei Tech Investment (Cina) mengucurkan US$ 500 juta untuk 5.000 menara. Ericsson, raksasa telekomunikasi Swedia, menganggarkan US$ 60 juta untuk 1.000 menara.
Investasi itu kini terancam mubazir. Padahal Axis, yang merupakan perusahaan patungan Saudi Telecom Company (Arab Saudi) dan Maxis Communications Berhad (Malaysia), sanggup membayar up-front fee Rp 320 miliar plus biaya tahunan Rp 160 miliar selama 10 tahun untuk mendapatkan blok keduanya. "Seharusnya pemerintah konsisten dengan aturan," ujar Chandra.
Bobby Chandra
Potensi Operator dalam Layanan 3G
Operator | Blok 3G | BTS | Pelanggan | Berdiri |
Telkomsel | 10 MHz | 36.550 | 105 juta | 1995 |
Indosat | 10 MHz | 18.800 | 45,7 juta | 1967 |
XL | 10 MHz | 22.191 | 41 juta | 1996 |
Tri | 5 MHz | 12.000 | 16 juta | 2007 |
Axis | 5 MHz | 7.000 | 15 juta | 2007 |
Diolah dari Berbagai Sumber | ||||
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo