Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bayi mungil itu menjerit lirih saat diangkat dari reruntuhan bangunan di Kota Ercis, Turki, Selasa pekan lalu. Suara tangisnya yang pelan segera tenggelam di antara tempik-sorak belasan orang yang mengerumuninya. Hampir 48 jam dia terperangkap di sela patahan tembok dan udara dingin yang menggigit.
Azra Karaduman, nama bayi itu, adalah mukjizat di antara gempa dahsyat yang mengguncang kota tersebut pada Ahad pekan lalu. Keberuntungan tampaknya menaungi keluarga Azra. Beberapa jam kemudian, regu penyelamat menemukan ibu sang bayi, Semiha, dalam keadaan hidup. Ia ditemukan dalam posisi meringkuk di dekat sofa.
"Saya senang sekali. Apa lagi yang bisa saya katakan? Biarlah Tuhan menolong mereka," kata nenek Azra, Sevim Yigit. Namun kebahagiaan mereka belum lengkap karena ayah Azra belum ditemukan.
Azra dan ibunya hanya dua dari ribuan orang yang terjebak dalam puing-puing bangunan yang ambruk akibat gempa hebat yang mengguncang dua kota di Provinsi Van, yakni Ercis dan Van. Van adalah provinsi yang mayoritas penduduknya etnis Kurdi. Wilayah ini juga menjadi pusat pendukung Partai Buruh Kurdi (PKK).
Guncangan berkekuatan 7,2 skala Richter itu terasa hingga ke negeri jiran: Iran dan Armenia. Televisi pemerintah Iran melaporkan warga Kota Chaldoran di perbatasan dengan Turki panik akibat guncangan itu. Sejumlah rumah warga retak.
Di ibu kota Armenia, Yerevan, yang berjarak 160 kilometer dari Ercis, penduduk berhamburan ke jalan-jalan. Namun tak ada bangunan yang rusak. Reaksi penduduk Armenia itu tak berlebihan mengingat negeri itu pernah diguncang gempa dahsyat pada 1988, yang menewaskan lebih dari 25 ribu orang.
Lindu pekan lalu merupakan yang terburuk dalam 12 tahun terakhir setelah gempa hebat yang meluluhlantakkan kawasan industri padat penduduk di wilayah barat daya Turki pada 1999. Gempa tersebut menewaskan 17 ribuan orang. Gempa besar juga pernah mengguncang Kota Caldiran di Provinsi Van pada 1976 dan menewaskan 3.840 orang.
Sejumlah ahli gempa menyatakan gempa di wilayah Van ini disebabkan oleh tumbukan antara Lempeng Arab dan Eurasia, yang mendesak Blok Anatolia. Turki memang menjadi langganan gempa. Hampir setiap hari gempa kecil melanda negara ini.
Kali ini kerusakan terparah terjadi di Kota Ercis, yang terletak di dekat perbatasan dengan Iran. Di kota berpenduduk sekitar 75 ribu jiwa ini, 80 bangunan ambruk, termasuk sebuah asrama yang dihuni puluhan pelajar.
Isak tangis menggema dari segala penjuru kota pascagempa. Orang tua dan anak-anak berkumpul di sekitar puing-puing bangunan, mencari sanak keluarga mereka yang hilang.
"Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kami terlempar membentur dinding dan furnitur. Semua berlangsung dalam 20 detik," kata seorang warga Ercis, Yunus Ozmen, 23 tahun.
Petugas penyelamat bekerja siang-malam mengevakuasi korban dari tumpukan tembok beton. Bahkan, di beberapa tempat, mereka bekerja hanya dengan sekop dan tangan.
Ratusan orang bisa diselamatkan, tapi ribuan lainnya masih tertimbun. "Saya bahagia bisa mengeluarkan para korban. Rasanya lebih bahagia ketimbang mendapatkan berton-ton uang dari mereka," ujar petugas penyelamat Oytun Gulpinar.
Hingga Kamis lalu, lebih dari 500 orang dilaporkan tewas dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Jumlah korban diperkirakan terus bertambah karena ratusan orang masih tertimbun reruntuhan bangunan. "Ratusan orang tewas, mungkin 500 atau bahkan 1.000," kata petugas pengamatan gempa Turki, Mustafa Erdik.
Pemerintah Turki mengerahkan 2.400 petugas penyelamat dan 200 ambulans dari 45 kota di sekitar lokasi gempa. Enam batalion tentara diturunkan untuk mencari korban. Enam helikopter dan tiga pesawat kargo militer C-130 berseliweran mengangkut tenda, bahan makanan, dan obat-obatan.
Korban yang selamat pun menumpuk di sejumlah rumah sakit. Bahkan sejumlah korban terpaksa dirawat di halaman gedung rumah sakit yang rusak parah. "Kami tak bisa menghitung berapa orang yang meninggal di rumah sakit ini. Mungkin lebih dari 100," kata perawat di rumah sakit umum Ercis, Eda Ekizoglu.
Penduduk di dua kota itu diperintahkan menjauhi reruntuhan bangunan karena gempa susulan masih kerap terjadi. Dalam beberapa hari terakhir, tercatat lebih dari 100 gempa susulan terjadi di wilayah itu. Salah satunya berkekuatan 6,0 magnitude.
Sekitar 970 bangunan rata dengan tanah di kedua kota di bagian timur Turki itu. "Rumah kami rusak berat. Kami akan hidup seperti ini sampai satu atau dua pekan ke depan," kata Zuleyha, 34 tahun, yang tinggal di mobil dengan suami dan putra mereka yang berusia lima tahun.
Di Kota Van, ibu kota provinsi di tepi danau yang dikelilingi gunung bersalju, pencarian korban dilakukan lebih cepat. Derek dikerahkan untuk mengangkat reruntuhan bangunan. "Kami mendengar tangisan dan rintihan dari bawah reruntuhan," kata Halil Celik, warga setempat.
Di kota ini, ratusan orang kehilangan jejak sanak keluarganya. Constanze Hasimoglu, misalnya, kebingungan mencari putrinya, Hattice, 23 tahun. Hattice sempat menelepon ibunya beberapa saat setelah gempa. "Dia bilang, 'Halo, halo.' Dia panik. Setelah itu, sambungan telepon terputus," ujar Hasimoglu putus asa.
Hasimoglu tak mau meninggalkan tumpukan puing sebuah gedung. Ia yakin putrinya terperangkap di situ. Dengan saksama ia memperhatikan setiap gerakan petugas penyelamat yang membongkar tumpukan puing. Ia berharap putrinya segera ditemukan dalam keadaan hidup.
"Masih banyak orang terperangkap di bawah reruntuhan. Butuh waktu berhari-hari untuk mencari mereka," kata Duncis Genger, sukarelawan medis.
Tim penyelamat juga mengerahkan anjing pelacak untuk mencari tanda-tanda kehidupan di balik reruntuhan. Alat-alat berat diturunkan di lokasi ditemukannya tanda-tanda kehidupan. "Sebagian besar korban dalam kondisi mengenaskan," kata dokter Ekin Tasatan, yang bekerja untuk tim penyelamat. Ia terpaksa mengamputasi tangan seorang perempuan yang remuk tertimpa beton.
Petugas penyelamat berkejaran dengan waktu untuk menyelamatkan para korban. "Ini situasi yang mendesak," kata Hakki Erskoy, manajer bencana pada Bulan Sabit Merah Turki.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan hampir semua rumah, yang terbuat dari lempengan lumpur yang dikeringkan dengan matahari, rata dengan tanah. Secara kualitas, kata dia, bangunan-bangunan itu tidak tahan menghadapi guncangan gempa. "Ketika kami melihat reruntuhan bangunan, kami sadar betapa buruk kualitas bahan bangunannya," kata Erdogan, yang terjun ke kawasan gempa menggunakan helikopter.
Bulan Sabit Merah Turki mendirikan tenda-tenda untuk menampung para korban. Lapangan sepak bola di kota berpenduduk sekitar 367 ribu jiwa itu disulap menjadi lautan tenda. Rumah sakit darurat didirikan di dalam stadion. Para korban yang selamat pun masih kelihatan shocked. Mereka khawatir akan gempa susulan. "Saya masih gemetar. Saya akan tetap tinggal di jalan," kata Gulizar, perempuan dari etnis Kurdi yang rumahnya ambruk.
Sebagian korban yang kehilangan tempat tinggal berlindung di dalam mobil, sebagian lagi di tenda-tenda. Tapi tak jarang korban hanya berlindung di balik selimut di tengah suhu udara malam yang mendekati nol derajat Celsius. Di sejumlah desa di dekat perbatasan Iran, para korban bahkan hidup tanpa listrik. Jaringan telepon terputus.
Bantuan pun mengalir dari berbagai penjuru dunia. Iran, yang ikut merasakan guncangan, telah mengirim regu penyelamat. Perdana Menteri Yunani George Papandreou juga menyatakan siap mengirim bantuan.
Bahkan Israel, yang hubungannya dengan Turki belakangan dingin akibat konflik Palestina, ikut menawarkan bantuan. Tawaran itu disampaikan Presiden Israel Shimon Peres melalui telepon kepada Presiden Turki Abdullah Gul. "Israel siap memberikan bantuan yang mungkin dibutuhkan di mana pun dan kapan pun di wilayah Turki," ujar Peres.
Sapto Yunus (Reuters, AP, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo