Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1><b>Saudagar Minang</b></font><br />Kembali ke Kampung Halaman

Ratusan saudagar Minang perantauan berkumpul di Padang. Berikhtiar membangun jaringan.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mata itu jatuh dari pelupuk Basrizal Koto. Di depan ratusan saudagar Minang yang berkumpul di Hotel Pangeran Beach, Padang, dua pekan lalu, pengusaha asal Pariaman, Sumatera Barat, itu tak kuasa menyembunyikan rasa haru, terutama saat mengisahkan masa lalunya.

Perhelatan bertajuk Silaturahmi Saudagar Minang 2007 yang berlangsung 19-21 Oktober itu dihadiri sekitar 800 saudagar Minang di seluruh Indonesia—lima belas di antaranya dari Malaysia. Basrizal salah satu yang didapuk berbagi kisah dalam perhelatan yang dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla itu.

Basrizal mulanya memang bukan siapa-siapa. Ia tumbuh dari keluarga miskin. Ayahnya merantau. Ibunya tukang cuci kain tetangga dan menganyam tikar demi segenggam beras. Ia pun hanya mencecap pendidikan hingga kelas empat sekolah dasar.

Siapa sangka, pria 48 tahun itu kini memiliki 10 perusahaan. Di bawah bendera MCB Group yang menjadi induk usahanya, Basrizal berkibar di bidang penjualan mobil, jasa angkutan darat, properti, penerbitan, serta budi daya sapi dan ikan.

Namanya cukup bergema di Riau dan Sumatera Barat. Dialah pemilik harian Riau Mandiri dan radio Mandiri FM di Pekanbaru serta harian Sijori Mandiri di Batam. Plaza Minang, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Padang, juga kepunyaannya.

Pencapaian itu diperolehnya berkat naluri dagang yang terpupuk sedari kecil. Basrizal pernah berjualan kerupuk buatan sang ibu. Pada 1972, saat usianya 13 tahun, ia merantau ke Pekanbaru dan menjadi kondektur opelet. Ia kembali ke tanah Minang dengan merintis jual-beli mobil di Padang, dan mengembangkannya hingga ke Pekanbaru pada 1983. Dari situlah garis tangan Basrizal berubah. Hidupnya kini bergelimang keberhasilan.

Basrizal tidak sendirian. Sama-sama datang dari keluarga miskin dan tanpa modal jumbo, Haji Junaidi Jaba juga merengkuh sukses sebagai saudagar. Pria 51 tahun asal Padang Sibusuk, Sawahlunto, yang kini menetap di Kuala Lumpur, Malaysia, itu adalah pemilik enam gerai restoran Sari Ratu di negeri jiran. Ia juga memiliki tujuh perusahaan tekstil yang tersebar di Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, dan Bangkok.

Padahal kedua orang tua Junaidi adalah petani. Ia pun semula hanya pekerja kapal ikan di Dumai, Riau. Garis hidupnya berubah setelah ia merantau ke Singapura pada usia 16 tahun. Di Negeri Singa itu, Junaidi bekerja sebagai buruh pembantu di kedai tekstil milik orang Bombay, India.

Pemilik toko kemudian mengirimnya ke Korea Selatan untuk belajar desain motif kain. Belakangan, Junaidi malah ditempatkan di Korea Selatan sebagai desainer motif. Pada 1986, ia mulai merintis usaha tekstil sendiri.

Adapun bisnis rumah makan baru dilakoninya delapan tahun lalu, bekerja sama dengan pemilik restoran Sari Ratu di Jakarta. Kini tiap kedai restorannya beromzet Rp 15-30 juta per hari. Ia pun tengah bersiap membuka restoran baru di Singapura.

Keberhasilan dua saudagar Minang tadi, kata Jusuf Kalla, bukti bahwa tidak ada sekolah untuk menjadi saudagar. Bahkan tak sedikit pengusaha berpendidikan rendah. ”Yang penting spiritnya,” kata Kalla, yang ayahnya adalah saudagar asal Watampone, Sulawesi Selatan. Itu sebabnya Kalla berharap pertemuan antarsaudagar Minang itu bisa menumbuhkan semangat berdagang dan saling menjalin kerja sama.

Firdaus H.B., ketua perhelatan itu, mengatakan pertemuan antarsaudagar Minang ini memang diikhtiarkan untuk membangun jaringan dan kebanggaan sebagai seorang saudagar. Dengan begitu, hubungan yang terbangun bisa untuk bertransaksi di kemudian hari. ”Selama ini, mereka tidak saling kenal,” kata Firdaus.

Apalagi saudagar Minang tersebar tidak hanya di dalam negeri, tapi juga di seluruh dunia. Luasnya sebaran itu bisa membuat jaringan saudagar Minang membesar dan mengukuhkan tradisi dagang di kalangan etnis Minang. Melalui jaringan itu, naluri bisnis yang tajam bisa ditularkan.

Sayang, tak semua saudagar Minang yang berada di negeri seberang datang ke perhelatan tersebut. Bukan cuma itu. Dari yang sedikit itu malah muncul keluhan bahwa bisnis mereka banyak yang surut. Bahkan, sebagian di antara mereka turun kelas menjadi pedagang kaki lima.

Yandhrie Arvian, Febrianti (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus