Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1><b>Penamaan Pulau</b></font><br />Upaya Membakukan Janda Berhias

Terombang-ambing berhari-hari di laut hanya untuk berburu nama pulau. Sebuah cara mempertahankan kedaulatan.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terbayangkan oleh Achmad Murman, tugasnya akan berbuah belahan jiwa. Pada September 2006, pria 30 tahun itu ditunjuk menjadi anggota tim toponim (penamaan pulau) Departemen Kelautan dan Perikanan. Tim ini melakukan survei dan mengumpulkan daftar nama geografi—biasa disebut gasetir—semua pulau di Indonesia.

Delapan anggota tim, termasuk Murman, kemudian disebar ke seantero Nusantara. Ketika melakukan survei di Pulau Masalembu—14 jam perjalanan feri dari Sumenep, Madura, Jawa Timur—staf Sub-Direktorat Identifikasi Potensi Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan itu bersua dengan seorang bidan. Maka demikianlah, Agustus lalu, keduanya melangkah ke pelaminan. ”Jalan-jalan keliling Indonesia berbonus jodoh,” katanya tergelak.

Itulah berkah sampingan kegiatan ini. Adapun berkah utamanya ialah sukses inventarisasi pulau di Indonesia menurut kaidah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), dan pembakuan nama geografi pulau berdasarkan United Nations of Experts on Geographical Names (UNGEGN). ”Ini artinya memastikan pemberlakuan fungsi pemerintahan kita di seluruh wilayah negara,” kata Alex S.W. Retraubun, Direktur Pemberdayaan Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Saat ini Indonesia memiliki sekitar 17.500 pulau. Dari jumlah itu, 24 diduga hilang akibat pemanasan global, penambangan pasir, dan bencana alam. Sebanyak 92 pulau masuk kategori pulau kecil terluar, dan 12 di antaranya rawan sengketa dengan negara lain. ”Baru 7.870 pulau yang telah memiliki nama,” kata Alex. Karena itulah dibentuk tim toponim tadi, yang mulai bekerja sejak 2005.

l l l

SECARA bergilir, semua anggota tim harus mengunjungi 11 provinsi setiap tahun, dan melakukan survei 12-15 hari dalam sebulan. Berbekal data citra satelit, peta, laporan sensus, daftar nama pulau yang telah ada, dokumen resmi yang dibutuhkan, serta telepon satelit, mereka terbagi atas beberapa kelompok. Masing-masing kelompok meliputi dua anggota tim, dua tokoh lokal, dan dua awak kapal.

Karena Indonesia negara kepulauan, pilihan utama jatuh pada jalur laut. ”Pada empat hari pertama memang senang, tapi setelah itu bosan,” kata salah satu anggota tim, Muhammad Tedy Asyirin, kepada Tempo, dua pekan lalu. Maklum, anggota tim survei adalah orang yang biasa berkantor di Jakarta.

Rasa bosan baru menguap tatkala sukses mencapai lokasi. Apalagi jika menemukan pulau baru yang nama dan lokasinya tak tercantum dalam daftar panduan. Tedy, misalnya, mengaku sangat bersemangat ketika menemukan Pulau Kuala Ketek dan Kuala Ketek Utara, dua pulau baru di perairan Kabupaten Simeuleu, yang muncul setelah tsunami Aceh, 2004.

Jika menemukan pulau yang telah terdaftar, Tedy hanya melakukan pengecekan seputar nama, termasuk penulisan, ejaan, pengucapan (fonetik), sejarah penamaan, dan informasi tentang pulau tersebut. Berbeda dengan ketika menemukan dua pulau baru itu, Tedy sempat dimintai pendapat tentang nama pulau oleh tetua adat. ”Kami hanya merekomendasikan nama, bukan menciptakan nama pulau,” ujarnya.

Tak hanya soal pembakuan nama pulau, tim yang tugasnya direncanakan selesai akhir tahun ini pun harus menghadapi ganasnya alam. Selama tiga hari tiga malam rombongannya terombang-ambing di tengah perairan Kepulauan Natuna, dan kehabisan bekal.

Menurut rencana, dari Pontianak mereka hendak menuju Pulau Tambena di Kepulauan Natuna. Karena gelombang lumayan tinggi, kapal terseret arus. ”Saya pikir saya akan mati saat itu,” katanya. Untunglah, mereka diselamatkan sebuah kapal nelayan berbendera asing.

Sekali waktu, Ismail dan kelompoknya tak tahu arah. Koordinat lokasi pulau dalam data yang dipegangnya saat itu berbeda dengan kondisi di lapangan. Rombongannya juga pernah gagal menemukan pulau yang dicari. ”Banyak pulau yang sudah hilang,” katanya sambil menyebut lima pulau di wilayah Kepulauan Riau yang musnah akibat penambangan pasir dan abrasi.

Ismail sempat heran setelah mengetahui sejarah di balik nama sebuah pulau. Misalnya Pulau Janda Berhias di dekat Batam, Kepulauan Riau. Masyarakat setempat bercerita tentang seorang janda yang gemar bersolek dan pernah tinggal di kawasan itu di masa silam. Ada lagi Pulau Hantu di Sulawesi Utara, yang menurut warga setempat banyak didiami penghuni dari dunia lain.

Dalam kegiatan yang menyedot dana Rp 3 miliar ini juga sering ditemukan gugus pulau dengan satu nama, atau sebaliknya. Misalnya, Pulau Tiga di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Tujuh di Kepulauan Natuna. Untuk mengatasinya, tim bersama tokoh setempat membuat dasar penamaan pulau dari bahasa lokal. Ambil contoh tiga pulau di wilayah perairan Kabupaten Malang, yang namanya diubah menjadi Pulau Pat Ji, Pat Ro, dan Pat Lu, yang berarti pulau pertama, kedua, dan ketiga.

Cara menghemat biaya operasional juga menarik. Maklum, tingkat kesulitan survei ini sangat bergantung pada kerapatan pulau, sehingga berpengaruh pada konsumsi bahan bakar minyak. Menurut anggota tim, Muhammad Yusuf, biaya transportasi untuk mengidentifikasi 100 pulau di Kepulauan Natuna selama 5-6 hari hanya Rp 12 juta.

Ceritanya berbeda ketika menyusuri Kepulauan Aru di Maluku. Jarak antarpulau sangat renggang, sehingga biaya transportasi membengkak. Biaya perjalanan dari Biak ke Pulau Mapia, misalnya, yang memakan waktu lima-enam hari, mencapai Rp 50 juta dan hanya berhasil mengidentifikasi satu-dua pulau. ”Itu sebabnya harus sepintar mungkin menekan biaya,” ujar Yusuf, yang saat itu menuntaskan separuh perjalanan dengan menumpang kapal nelayan.

l l l

HINGGA saat ini, tim telah berhasil mengumpulkan nama pulau di 31 provinsi. Survei di dua provinsi terakhir, DKI Jakarta dan Jawa Barat, baru akan digelar pada akhir bulan ini. Hasil survei itu akan diverifikasi oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupa Bumi, dan didaftarkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapat pengakuan internasional. Hingga Juli lalu, 4.981 pulau di Indonesia telah diverifikasi dalam sidang kelompok ahli nama geografis UNGEGN, Agustus lalu.

Program pembakuan nama pulau ini terkait dengan rencana pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah No. 38/2000 tentang titik terluar yang menjadi garis pangkal batas wilayah Indonesia. Rencananya, aturan yang memuat titik terluar Indonesia setelah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dan Timor Timur pada 2002 akan diluncurkan pada bulan ini. ”Dengan merekam data pulau kita di PBB, posisi kita kuat ketika menghadapi sengketa,” kata Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Rudolf W. Matindas.

D.A. Candraningrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus