Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1><b>Harga minyak dunia</b></font><br />Lampu Kuning Harga Minyak

Pemerintah ketar-ketir atas lonjakan harga minyak mentah dunia. Anggaran negara diperkirakan tekor.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gejolak harga minyak mentah dunia benar-benar mencuri perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sampai-sampai, materi pidato pembukaan Pameran Produk Ekspor 2007 di arena Pekan Raya Jakarta, Selasa pekan lalu, sesak oleh soal kecemasan akibat lonjakan harga minyak.

Sehari sebelumnya, ia memanggil Menteri Koordinator Perekonomian Boediono serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro ke Istana. Isi perbincangannya sama: tren harga minyak yang tidak turun, sebaliknya justru meroket.

Akhir pekan lalu, di pasar Asia, harga menembus US$ 92 per barel. Di bursa Amerika Serikat, harga minyak ringan jenis light sweet untuk pengiriman Desember juga US$ 92 per barel. Dan di London, minyak brent laut utara mencatat rekor baru, yakni US$ 89.

Yudhoyono mengatakan pemerintah akan mengantisipasi gejala global itu agar tak menggoyang perekonomian nasional. ”Ini sudah lampu kuning untuk semua negara di dunia, tidak hanya Indonesia,” kata dia.

Bagi Indonesia, harga minyak memang berpengaruh langsung pada anggaran pendapatan dan belanja negara karena adanya beban subsidi. Contohnya tahun 2005 lalu. Ketika harga menyentuh US$ 70 per barel, negara tekor Rp 59,7 triliun untuk mensubsidi bahan bakar minyak (BBM) dan Rp 3,363 triliun untuk listrik.

Padahal, saat itu, pemerintah telah menaikkan harga BBM hingga dua kali dalam setahun. Tahun ini, pemerintah menyiapkan Rp 55,6 triliun untuk subsidi BBM dalam anggaran perubahan 2007, plus Rp 32,49 triliun subsidi listrik. Anggaran tahun depan pun sudah diketuk di parlemen, yakni Rp 45,8 triliun BBM dan Rp 29,78 triliun listrik. Asumsinya, harga minyak berkisar US$ 60 per barel.

Persoalannya, harga terus membubung. Pengamat perminyakan Kurtubi memperkirakan harga akan bertahan di sekitar US$ 80 per barel hingga kuartal pertama 2008. Ini lantaran pasar yang sangat ketat. Kebutuhan minyak Cina melonjak mengiringi angka pertumbuhan yang mencapai 11 persen, begitu pula India.

Kurtubi menambahkan, permintaan akan terus meningkat menjelang musim dingin di belahan bumi utara pada Desember hingga Februari tahun depan. Apalagi ramalan lembaga berwenang AS menyebutkan winter kali ini akan lebih dingin ketimbang tahun lalu. ”Singkat kata, demand sangat kuat,” ujarnya.

Kebutuhan dunia yang tinggi itu, kata Kurtubi, tak bisa dipenuhi oleh produsen minyak yang tergabung dalam OPEC lantaran kapasitas produksi sudah maksimal, 31 juta barel per hari. Negara-negara produsen non-OPEC—yang memasok 49-50 juta barel per hari—pun angkat tangan. Kondisi ini diperparah oleh faktor geopolitik Timur Tengah.

Toh, kekhawatiran sang Bos tak dirasakan para pembantunya. Menteri Boediono, misalnya, seperti biasa, adem-ayem. Ia optimistis target makroekonomi akan tetap on the track. Makanya, ia tak berencana mengotak-atik anggaran tahun ini, yang tinggal beberapa bulan lagi. Bujet untuk tahun depan pun belum akan direvisi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lebih pede lagi. Berdasarkan simulasi, kata dia, kenaikan harga minyak memang akan menyedot anggaran. Namun penerimaan negara dari penjualan gas tak kalah seru. Pasalnya, harga minyak dan gas beriringan.

Hitung-hitungannya, bila rata-rata harga minyak tahun ini US$ 70 per barel, justru negara untung. Diperkirakan akan terjadi surplus Rp 0,3-0,5 triliun. Malah, jika harga naik lagi US$ 10 per barel, kantong negara akan bertambah Rp 0,5-1 triliun.

Itu baru dari neraca perdagangan minyak dan gas. Menurut Sri Mulyani, ada komoditas lain yang menjadi primadona, seperti batu bara dan minyak sawit. ”Jadi, overall, sebenarnya APBN tidak masalah,” katanya meyakinkan.

Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, sepakat gonjang-ganjing harga minyak dunia tidak akan mengguncang APBN. Alasannya, daya serap anggaran pusat dan daerah rendah. Ia mencatat dana ekses APBD sekitar Rp 95 triliun dan duit nganggur di pusat Rp 40 triliun. Artinya, ada duit untuk menutup pembengkakan subsidi BBM.

Namun, menurut anggota Panitia Anggaran DPR, Dradjad H. Wibowo, kenaikan harga minyak ini tak bisa dimungkiri akan membuat negara tekor, kendati ada tambahan penerimaan. Hanya, kata dia, bila tekor netonya tak lebih dari Rp 5 triliun, anggaran tahun ini relatif aman karena bisa ditutup dari pengurangan belanja barang.

Tahun depan, Dradjad menambahkan, bila lifting tetap di bawah 1 juta barel per hari, dengan harga rata-rata US$ 75-80, APBN 2008 akan terguncang. Sebab, tekornya minimal Rp 35 triliun. ”Ini baru dampak langsung dari naiknya harga minyak. Dampak tidak langsungnya masih sulit dihitung, seperti koreksi di pasar modal yang cepat atau lambat pasti akan terjadi.”

Retno Sulistyowati, R.R. Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus