Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Bisnis Telekomunikasi</font><br />Maaf, Asing Dilarang Masuk

Pemerintah melarang investasi asing di bisnis menara telekomunikasi. Banyak yang kena tendang.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Papan tanda larangan masuk itu dipasang pertengahan Maret lalu. Perusahaan asing, meski porsi sahamnya cuma secuil, dilarang berbisnis di usaha menara telekomunikasi. Tak aneh jika sepanjang tiga pekan terakhir juru bicara Departemen Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto, kerepotan menjelaskan ihwal pelarangan itu.

Pertanyaan memang datang dari berbagai penjuru, dari operator telekomunikasi, pengusaha, pengacara, staf humas, hingga kantor kedutaan asing di Jakarta. Sumber pertanyaan itu adalah pasal lima dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika mengenai pedoman pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi.

Dalam pasal 5 peraturan tersebut dinyatakan bahwa perusahaan penyedia jasa menara dan kontraktor harus 100 persen dimiliki perusahaan dalam negeri. ”Dari awal kami tahu pasal ini bisa jadi kontroversi,” kata Gatot.

Sinyal larangan itu sebenarnya baru menguat awal tahun ini. Dalam tiga rancangan peraturan sebelumnya, memang tidak disebut-sebut soal larangan itu. Rancangan versi revisi 30 Mei 2007, misalnya, hanya menyebutkan ”Menara bersama dapat disediakan oleh penyelenggara telekomunikasi dan/atau penyedia menara”.

Yang paling kencang meminta pemerintah menutup pintu investasi asing ini adalah Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi, yang dimotori bos Indonesian Tower, Sakti Wahyu Trenggono. Di mata Sakti, teknologi pembangunan menara ini sangat sederhana, sehingga tidak memerlukan perusahaan asing untuk mengerjakannya. ”Masak, bikin begini saja kita tidak bisa?” kata Sakti dua bulan lalu.

Baru pada 19 Februari lalu, rapat Departemen Komunikasi dan Informatika memutuskan larangan itu akan diterapkan. Gatot mengatakan semangat peraturan ini adalah mencegah pengusaha asing menguasai bisnis telekomunikasi dari hulu sampai hilir.

Jejak investor asing memang ada di hampir semua operator telekomunikasi, termasuk tiga pemimpin pasar—Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo. Indosat dan Excel malah sepenuhnya dikuasai asing. Nah, kalau ada subsektor telekomunikasi yang masih dikuasai perusahaan lokal, ya, bisnis sewa-menyewa menara ini.

Tak ayal, peraturan itu membuat banyak perusahaan kena sikut. Setidaknya ada tiga kelompok usaha yang bakal terkena imbas peraturan verboden ini, yakni investor asing yang sudah malang melintang di bisnis menara, calon investor yang berminat masuk ke bisnis itu, dan operator telekomunikasi.

Sebelum peraturan itu keluar, beberapa investor asing memang sudah menancapkan kaki di bisnis menara telekomunikasi. Di antara barisan perusahaan menara dengan saham asing yang bakal kena tendang itu ada PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo) dan PT Infratech Indonesia.

Awal 2007, Protelindo dibeli oleh Pan Asia Tower. Perusahaan Singapura ini didirikan oleh J. Michael Gearon dengan menggandeng dua perusahaan keuangan, Noonday Global Management dan Farallon Capital Management. Mister Gearon ini juga bukan pemain asing di bisnis menara. Dia salah satu pemilik American Tower, yang punya lebih dari 25 ribu menara di Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko.

Dengan sokongan dolar dari seberang itu, Protelindo cepat sekali melejit. Hingga awal 2007, ia baru punya hampir seribu menara, dan menjadi perusahaan penyedia menara sewa terbesar kedua, setelah perusahaan lokal, Indonesian Tower (PT Solusindo Kreasi Pratama). Tapi kini Protelindo sudah menggusur Indonesian Tower.

Maret lalu, Protelindo mencaplok 3.692 menara milik PT Hutchison CP Telecommunications (Three). Nilai transaksinya sekitar US$ 500 juta atau Rp 4,6 triliun. Nantinya, Hutchison akan menyewa menara dari Protelindo. Menurut Dennis Lui, Kepala Eksekutif Hutchison Telecom International, induk Hutchison CP, duit hasil penjualan menara ini akan dipakai untuk mempercepat ekspansi Three di Kalimantan dan Sulawesi.

Berbeda dengan Protelindo, Infratech merupakan kontraktor menara. Sebagian modal perusahaan ini disetor oleh MPL Pte. Limited, anak perusahaan United Engineers Limited, dari Singapura. Namun Indra Gunawan, bos Protelindo, dan Infratech tidak menanggapi permintaan wawancara dari Tempo.

Tapi yang agaknya paling ”sial” terkena dampak peraturan itu adalah operator telekomunikasi. Sebab, merekalah sesungguhnya pemilik menara terbanyak dan yang sebenarnya pantas disebut raja menara. Dari sekitar 50 ribu menara telekomunikasi di Indonesia, Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo menguasai hampir 45 ribu.

Awal tahun lalu, mereka sebetulnya sudah berancang-ancang masuk bisnis penyewaan menara ini. Telkomsel, misalnya, berniat memisahkan unit bisnis menara. Akhir 2007, Indosat juga sempat membuka penawaran penjualan sebagian menaranya. Dan yang paling terang rencananya adalah PT Excelcomindo Pratama (XL).

Perusahaan milik Telekom Malaysia itu berniat membentuk anak perusahaan untuk mengelola 7.000 menara miliknya dan akan menjual sebagian saham di perusahaan baru itu. ”Kami hanya jadi minoritas,” kata Dian Siswarini, Direktur Jaringan XL.

Penawaran sudah digelar dan peminat sudah mengular. Ada sekitar 100 perusahaan berminat, baik investor dalam negeri maupun luar negeri. Dari perusahaan menara hingga perusahaan keuangan. Dari Gulf Tower asal Timur Tengah, raja menara dari India—Bharti Infratel—hingga Indonesian Tower.

Kini rencana mereka terancam buyar. Karena di ketiga perusahaan itu ada saham investor asing, mereka dilarang mendirikan anak perusahaan atau menyewakan menaranya. ”Kami sedang mengkaji kembali,” kata Dian. Telkomsel dan Indosat bersikap sama. ”Kami akan ikut aturan,” kata Adita Irawati, juru bicara Indosat.

Kendati tak banyak dilirik, sewa-menyewa menara ini bukan bisnis recehan. Investasinya memang tak kecil. Menurut Sakti, ongkos mendirikan satu menara Rp 1 miliar-1,5 miliar. Tapi hasilnya juga menggiurkan. Satu menara bisa memuat hingga lima base transceiver station (BTS) dengan ongkos sewa Rp 14 juta-18 juta per bulan. Misalnya saja sewanya Rp 15 juta per bulan dan ada tiga BTS terpasang, setiap tahun pemilik menara bisa mengantongi Rp 540 juta. Hitung saja berapa duitnya jika rata-rata kontrak sewa minimal 10 tahun.

Sikap pemerintah sendiri sebenarnya juga belum seragam soal larangan ini. Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Yus’an menilai peraturan itu hanya akan menghambat investasi di telekomunikasi. ”Padahal di Indonesia masih banyak daerah yang blank spot,” katanya.

Menurut dia, pemerintah semestinya lebih mempertimbangkan kebutuhan konsumen telekomunikasi. Dia juga meminta pengusaha nasional tidak ”meminjam tangan” pemerintah. ”Kalau ingin menang persaingan, lakukan dengan cara yang benar, jangan gunakan pemerintah.”

Apa pun kritik Badan Koordinasi Penanaman Modal, Sakti tetap saja girang. Dia menolak anggapan bahwa keputusan itu hanya akan menguntungkan segelintir pengusaha menara kelas jumbo seperti dirinya. Di bisnis ini, perusahaan yang punya lebih dari 500 menara sekarang memang bisa dihitung dengan jari. Selain Indonesian Tower dan Protelindo, hanya ada perusahaan milik Sandiaga S. Uno (Tower Bersama).

Di luar mereka, kata Sakti, investor kecil juga berpeluang menggaet untung dari bisnis ini. Dia memberikan contoh Mitrayasa, yang hanya punya delapan menara. ”Ini keputusan pemerintah yang luar biasa,” katanya. Soal kemampuan duit, Sakti yakin pengusaha lokal punya banyak cara. Duit bisa datang dari mana pun.

Sapto Pradityo, Munawarroh, Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus