Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Harga Kertas</font><br />Limbung Dihajar Kertas Bekas

Menipisnya bahan baku memicu lonjakan harga kertas dunia. Pukulan telak bagi industri penerbitan dalam negeri.

7 April 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan ini telepon di lantai enam Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta, makin sering berdering. Sebagian besar penelepon berasal dari luar Jakarta. Di sana, pengurus Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) Pusat menerima banyak curhat. ”Banyak yang mengeluh, terutama penerbit dari luar Jawa,” kata Muhammad Ridlo Eisy. Pesan semacam juga kerap menyapa telepon seluler Ketua Harian SPS itu.

Keluh-kesah ini sayup-sayup mulai terdengar awal tahun. Harga kertaslah yang menjadi pemicu. Pada 14 Januari lalu, PT Aspex Kumbong dengan serikat penerbit dan perwakilan beberapa media cetak menggelar pertemuan di Dasol Restaurant, Taman Ria Senayan. Di tengah makan malam dengan suguhan masakan Korea, produsen kertas koran terbesar di Indonesia itu mewartakan niat hendak menaikkan harga.

Lee Byung Ki, salah seorang direktur Aspex, menyatakan penyebabnya adalah lonjakan harga kertas bekas yang menjadi bahan baku kertas koran. Untuk menyesuaikannya, harga kertas juga akan dinaikkan US$ 50-70 per ton dari US$ 675. Kontan, menurut Direktur Eksekutif SPS Asmono Wikan, para konsumen Aspex keberatan. Setelah melalui perundingan cukup alot, disepakati harga naik US$ 30, yang berlaku sejak saat itu.

Nah, akhir bulan lalu, industri penerbitan dibikin terkaget-kaget. Baru tiga bulan beradaptasi dengan harga baru, Aspex kembali mengumumkan kenaikan harga. Mulai 1 April, harga kertas menjadi US$ 800 per ton alias naik US$ 95. Langkah itu pun diikuti beberapa produsen kertas lain, seperti Adiprima Suraprinta, Kertas Blabak, dan Kertas Leces, dengan harga bervariasi.

Menurut Ketua Presidium Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Muhammad Mansur, harga bahan baku naik karena pesatnya pertumbuhan pabrik di Cina dan India. Seperti di Indonesia, di sana kertas bekas tak cuma untuk membuat kertas koran, tapi juga untuk fluting, kertas kraft, kertas pembungkus, dan kertas semen. Alhasil, kebutuhannya membengkak, yang kemudian memicu naiknya harga kertas. Pertengahan tahun lalu, satu ton kertas bekas dihargai US$ 180. Memasuki tahun Tikus, harganya menjadi US$ 250, dan kini US$ 300.

Nah, setiap tahun Indonesia membutuhkan bahan baku kertas bekas sekitar 5,5 juta ton. Separuhnya dipenuhi dari suplai dalam negeri dan sisanya diimpor. Selain ada persaingan dengan Cina dan India, pasokan makin terbatas karena Uni Eropa melarang ekspor material ini. Menurut Mansur, negara-negara maju juga membutuhkan bahan baku yang besar. ”Kita bisa mengimpor setelah mendapat izin dengan ketat,” kata Mansur. Alhasil, harga kertas pun membubung tinggi.

Kenaikan harga kertas 18,5 persen dibanding tahun lalu itu membuat banyak penerbit di Indonesia limbung. Menurut Asmono, dari 953 penerbit di Indonesia, hanya 30 persen yang tergolong sehat. Repotnya, porsi belanja kertas pada perusahaan penerbitan itu sangat besar. ”Ada yang mencapai 70 persen dari total biaya produksi,” kata Asmono. Itu sebabnya, sedikit saja harganya bergerak naik, keuangan perusahaan langsung guncang.

Sumber Tempo di SPS menyatakan, akibat kenaikan itu, beberapa penerbit memperbanyak program pensiun dini karyawan. Bahkan di Jawa bagian tengah sudah ada yang perusahaan yang merestrukturisasi anak-anak usahanya. Kondisi lebih memprihatinkan dialami penerbit di luar Jawa, yang kembang-kempis karena harga kertas di sana lebih mahal akibat tingginya ongkos kirim.

Hantaman tak hanya menggoyahkan koran. Majalah yang menggunakan kertas dengan bahan baku pulp bernasib sama. Tahun lalu, penerbit masih menikmati satu ton kertas cetak (writing and printing) seharga US$ 900 kini menjadi US$ 1.000. ”Ini terasa banget,” kata sumber Tempo di sebuah majalah Islam. Untuk menyiasatinya, harga eceran dinaikkan Rp 2.000 per eksemplar meskipun daya beli menurun. Buntutnya, oplah mengkerut 20 persen menjadi 80 ribu.

Seperti kertas koran, menurut Mansur, penyebabnya juga kelangkaan bahan baku. Kali ini yang dijadikan kambing hitam adalah pemerintah. Menurut dia, penyelesaian illegal logging yang berlarut menghambat produksi pulp. Dampak ketidakkompakan kepolisian dan Departemen Kehutanan dalam operasi ini membuat PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper tidak optimal berproduksi.

Padahal kedua perusahaan itu merupakan produsen bubur kayu terbesar. Mereka menyumbangkan 4 juta ton dari total kapasitas produksi nasional 6,5 juta ton. Dampaknya, mulai awal tahun lalu, harganya terus merangkak. Setiap bulan naik US$ 20-30 per ton. Kini harga di Asia sudah bertengger di angka US$ 750 untuk pulp serat pendek dan US$ 780 untuk yang serat panjang.

Gandi Sulistiyanto sepakat dengan Mansur. Di samping tidak jelasnya penegakan hukum, menurut Wakil Komisaris Utama Indah Kiat itu, faktor lain adalah penutupan sebagian pabrik pulp di Amerika Utara dan Eropa karena menyusutnya bahan baku dan melonjaknya harga energi. Produksi dunia pun mengecil dan itu membuat harga pulp melonjak terus. ”Sebagian investasi mereka sedang mendekat ke bahan baku, ke Indonesia,” kata Gandi.

Itulah yang kini dirasakan para penerbit. Untuk bertahan dari gempuran ini, sebagian penerbit mencari celah keluar. Surat kabar Pikiran Rakyat hendak memangkas biaya operasional. Misalnya dengan efisiensi ongkos transportasi sirkulasi. Distribusi koran tak perlu langsung dari pusat. Begitu sampai di agen utama, ”seterusnya, kalau perlu, menggunakan jasa ojek,” kata Pemimpin Umum Pikiran Rakyat Syafik Umar.

Strategi ini juga diterapkan oleh sejumlah anak perusahaan. Untuk beberapa wilayah, sirkulasi koran Pikiran Rakyat Group ada kemungkinan dijadikan satu. Langkah lainnya adalah menaikkan harga jual. Namun, kata Syafik, itu salah satu langkah pamungkas mengingat daya beli masyarakat yang rendah.

Pemimpin Redaksi The Jakarta Post Endy M. Bayuni mengatakan korannya perlu efisiensi untuk bertahan. Namun dia menegaskan tidak akan mengambil dari kantong biaya redaksi. Salah satu kemungkinannya adalah merevisi harga jual. Tapi langkah ini tidak akan diambil dalam waktu dekat karena koran berbahasa Inggris itu sudah menaikkan harga awal Maret lalu. Ungkapan sama dilontarkan Herry Hernawan. ”Kami harus menambah subsidi kertas koran,” kata Direktur PT Tempo Inti Media itu.

Menghadapi soal ini, Jumat pekan lalu SPS menggelar pertemuan. Rapat yang berlangsung satu setengah jam itu membuahkan beberapa poin. Di antaranya SPS Pusat akan menelisik dugaan praktek monopoli harga kertas oleh PT Aspex. ”Kita akan melakukan studi untuk itu,” kata Asmono.

Perusahaan yang sebagian besar sahamnya dikuasai investor Korea itu memproduksi 420 ribu ton kertas per tahun atau sekitar 52 persen dari total produksi nasional. Namun tak sampai 30 persen yang digelontorkan ke lokal. Atas tuduhan dugaan monopoli ini, ”Saya no comment,” kata Tini, Sekretaris Direksi Aspex.

Selain itu, SPS mendorong pabrik lain meningkatkan kapasitas. Dalam rapat itu juga muncul ide tentang impor kertas yang dikelola konsorsium di bawah Serikat. Asmono berharap, dengan langkah ini, dering di kantornya tak lagi dibanjiri keluhan.

Muchamad Nafi

Harga Kertas Koran (ton)
2003US$ 560
2004US$ 600
2005US$ 620
2006 (Juni)-2007US$ 675
2008 Q1US$ 705
2008 Q2US$ 800
EropaUS$ 850
MalaysiaUS$ 810

Produksi Kertas Koran (ton)
TahunKapasitasProduksiImporEksporKebutuhan
2000650.000495.2503.860323.125175.985
2001659.800510.8004.170323.650191.320
2002749.800537.725317.180221.435
2003749.800556.6302.530227.270331.890
2004749.800564.09018.660250.180332.570
2005749.800589.44010.820257.290342.970
2006749.800602.95022.400276.460348.890
Sumber: Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus