Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua petugas keamanan membukakan pintu gerbang pabrik rokok PT Bentoel Prima di Jalan Suseno 2, Kota Malang, Jawa Timur, Kamis sore pekan lalu. Tak lama kemudian, ratusan buruh menyemburat keluar dari area pabrik. Para buruh, yang sebagian besar perempuan, menghampiri angkutan umum yang berjejer menunggu penumpang. Sebagian lainnya mendekati kerabat-kerabatnya yang menjemput dengan sepeda motor.
Seorang perempuan hamil menghampiri lelaki paruh baya yang membawa sepeda motor. Kholianah, 18 tahun, sang buruh itu, rupanya dijemput sang ayah tercinta. Itulah kegiatan rutin sehari-hari Kholianah dan ratusan buruh perusahaan rokok terbesar di Kota Apel tersebut. Tak ada perubahan drastis kendati produsen rokok yang didirikan 75 tahun yang lalu itu telah berubah pemilik.
Rabu dua pekan lalu, Rajawali Corpora, unit usaha Grup Rajawali yang dikendalikan Peter Sondakh, menjual hampir 3,9 miliar lembar saham Bentoel Internasional Investama (sekitar 56,96 persen) kepada British American Tobacco Plc. (BAT) dengan harga Rp 873 per lembar.
BAT juga mengambil alih saham Bentoel dari pemegang saham lainnya, sehingga perusahaan rokok terbesar kedua di dunia ini akan menguasai 85 persen saham Bentoel. Total akuisisi saham Bentoel mencapai US$ 494 juta (hampir Rp 5 triliun), lebih rendah dibanding penjualan PT HM Sampoerna Tbk. kepada Philip Morris senilai US$ 2 miliar (sekitar Rp 18 triliun) pada 2005.
Direktur Pelaksana Grup Rajawali Darjoto Setyawan mengatakan, Rajawali menjual Bentoel karena ingin lebih berfokus menjalankan lini bisnis inti properti, perkebunan, dan pertambangan batu bara. Adapun Bentoel membutuhkan investor strategis yang punya pengalaman dalam industri rokok dunia. ”Kami yakin pembeli (BAT) akan membawa Bentoel menjadi perusahaan yang lebih baik,” ujarnya.
Prospek industri rokok, kata Darjoto yang juga Komisaris Utama Bentoel, sebenarnya cukup bagus. Hanya, ada tantangan berat, misalnya rencana larangan beriklan di televisi, kenaikan tarif cukai setiap tahun, penerapan pajak daerah 10-15 persen, pembatasan ruang untuk merokok, hingga tekanan publik dalam soal dampak rokok terhadap kesehatan.
Pajak dan cukai memang menjadi momok utama bagi produsen rokok. Saat ini pemerintah menetapkan tarif pajak pertambahan nilai rokok 8,4 persen. Adapun tarif cukai spesifik Rp 40-290 per batang, bergantung pada harga jual eceran dan jenis produksinya (kretek tangan atau mesin). Tarif ini menggantikan sistem cukai gabungan advolarum (persentase dari harga jual eceran) dan spesifik. Dalam persentase, pada 2009, tarif cukai rokok spesifik rata-rata 42 persen, naik tujuh persen dibanding tahun lalu.
Tarif cukai rokok cenderung akan terus naik setiap tahun. Ini, kata Direktur Minuman dan Industri Tembakau Departemen Perindustrian Warsono, sesuai dengan road map industri rokok 2007-2020. Road map mengatur upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok dengan memperhatikan penyerapan tenaga kerja, penerimaan negara, dan kesehatan.
Produksi rokok di Tanah Air juga dibatasi sebanyak 260 miliar batang pada 2015. Bila produksi rokok maksimal itu terlewati, produsen akan kena tarif cukai rokok lebih tinggi. ”Pada 2020, tarif cukai rokok bisa tinggi lagi karena perlindungan kesehatan akan menjadi dasar penetapan cukai,” kata Warsono.
Ongkos memproduksi rokok juga akan semakin tinggi jika Dewan Perwakilan Rakyat meloloskan pengenaan pajak rokok daerah dalam Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Daerah-daerah, kata anggota Komisi Keuangan, Harry Azhar Azis, bisa memungut pajak rokok dengan tarif 10-15 persen pada 2014.
Produsen juga akan makin kesulitan memasarkan rokok bila parlemen mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Tembakau, sebagai bagian dari ratifikasi konvensi antirokok. Dengan kendala berderet seperti itu, banyak yang yakin industri rokok sudah tergolong sunset industry alias industri yang memudar.
Toh, tantangan itu tak membuat British American Tobacco keder. Produsen rokok patungan investor Inggris dan Amerika ini rupanya tak mengenal istilah sunset industry. Justru akuisisi Bentoel dianggap kesempatan terbaik untuk memasuki pasar kretek Indonesia. ”Prospek pasar kretek Indonesia sangat baik,” kata John Daly, Direktur British American Tobacco untuk Asia-Pasifik, kepada pers di Jakarta, dua pekan lalu.
Menurut analis BNI Securities, Akhmad Nurcahyadi, pajak, tarif cukai, dan rencana aturan pembatasan rokok, yang berujung pada tingginya pungutan, sebenarnya menyulitkan dan memberatkan produsen rokok. Tapi perusahaan rokok bertahan karena masih ada celah untuk berkembang. Inovasi teknologi rokok juga mampu menciptakan permintaan baru di kalangan yang sebelumnya tidak merokok. ”Secara ekonomi, Indonesia juga masih potensial,” ujarnya.
Bagi peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, tingginya antusiasme perusahaan rokok asing masuk pasar Indonesia tak mengagetkan. Perusahaan rokok asing yakin penjualan rokok di Indonesia masih akan meningkat karena pengendalian rokoknya lemah. Terlebih lagi Indonesia satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi antitembakau. ”Kita tidak terikat secara internasional untuk mengendalikan konsumsi rokok,” ujarnya.
Pasar rokok kretek di Tanah Air menggiurkan karena memang besar. Penjualan rokoknya bisa mencapai 240 miliar batang per tahun, nomor tiga di dunia setelah Cina dan India. Penduduknya banyak, dan jumlah perokok pemula juga cenderung naik. Kenaikan pajak dan cukai dalam road map industri rokok, kata Abdillah, tak bisa membendung upaya perusahaan udud terus berekspansi. ”Kenaikan tarif cukai 10 persen hanya menaikkan harga jual rokok dua persen saja,” ujarnya. Padahal daya beli masyarakat melebihi kenaikan harga rokok.
British American Tobacco sebenarnya sudah lama berada di Indonesia. Lewat PT BAT Indonesia Tbk., perusahaan ini memasarkan rokok putih Pall Mall, Kansas, Lucky Strike, dan lainnya. Tapi kinerjanya kurang mengkilap karena hanya menguasai dua persen pangsa pasar. Pasar rokok putih juga amat kecil.
Menurut Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Muhaimin Moeftie, pangsa pasar rokok putih hanya tujuh persen dari total penjualan rokok sebesar 240 miliar batang. Karena itu, kata dia, jangan heran bila BAT akhirnya masuk pula ke pasar rokok kretek. ”Pasar rokok putih begitu-begitu saja. Beda dengan rokok kretek, yang terus berkembang,” ujarnya.
Sejauh ini ada puluhan produsen rokok kretek di Indonesia. Tapi pasar rokok dikuasai lima produsen besar, yakni Sampoerna yang menguasai 29 persen pangsa pasar; Gudang Garam 25 persen, Djarum 22 persen, Bentoel 7 persen, dan Nojorono menguasai sekitar 6,7 persen. Sisanya produsen lainnya.
Masuknya BAT ke Bentoel, menurut analis Danareksa Sekuritas, Naya Tirambintang, tidak serta-merta akan mengubah peta persaingan dalam industri rokok kretek nasional. Sinergi BAT-Bentoel masih sulit menggeser Sampoerna, Gudang Garam, bahkan Djarum sekalipun.
Apalagi ketiga produsen rokok ini juga terus berekspansi dan berinovasi. ”Produk-produk Bentoel belum masuk top tier konsumen rokok,” ujarnya. Pendapat Naya diiyakan oleh Ketua Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia Ismanu Soemiran. ”Tidak semudah itu, karena kesetiaan perokok pada merek dan rasa tertentu luar biasa.”
Wakil Direktur Gudang Garam Slamet Budiono kepada Tempo juga mengatakan yakin tak akan banyak perubahan setelah masuknya BAT ke Bentoel. Yang ada, kata dia, Gudang Garam akan kembali menjadi nomor satu. ”Kami ahlinya membuat rokok,” kata dia.
Ambisi Gudang Garam tak menciutkan Sampoerna. Menurut Manajer Komunikasi Sampoerna Elvira Lianita, Sampoerna tetap optimistis menghadapi persaingan industri rokok Indonesia yang makin kompetitif. Sampoerna akan terus berinvestasi dan memperbaiki aset-aset terpenting perusahaan, termasuk karyawan. ”Kami juga akan terus berinovasi dan mengembangkan merek serta produk rokok untuk orang dewasa,” katanya.
Bentoel juga tak mau ketinggalan dengan menyiapkan investasi baru senilai Rp 800 miliar. Perusahaan rokok akan membangun delapan proyek, termasuk pabrik-pabrik rokok baru. Tampaknya, persaingan yang keras justru malah membuat kepulan asap industri rokok makin tinggi.
Padjar Iswara, Ismiwahid, Eko Widianto, Abdi Purmono (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo