Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana merger Bank Niaga dan Lippo masih menyisakan masalah. Pemegang saham minoritas LippoBank merasa dirugikan oleh keputusan pemegang saham pengendali kedua bank itu, yakni Khazanah Nasional Berhad. ”Opsi penjualan lebih menguntungkan pemegang saham minoritas,” kata salah seorang investor yang tak mau disebutkan namanya.
Toh, keputusan tentu saja berada di tangan pemegang saham pengendali. Khazanah memang harus memilih karena Bank Indonesia mengharamkan satu pemegang saham memiliki lebih dari satu bank (single presence policy). Artinya, Khazanah bisa menjual salah satu bank seperti yang ditempuh Temasek atau menggabungkan Niaga dengan Lippo.
Ternyata pilihan kedua yang diambil manajemen perusahaan milik pemerintah Malaysia itu. Jadilah kedua bank itu menjelma menjadi CIMB-Niaga. Dalam proses merger itu, saham Lippo dihargai Rp 2.969 per lembar atau tiga kali nilai buku, sedangkan saham Niaga dilepas dengan harga Rp 1.052 per lembar atau setara dengan 2,5 kali nilai buku.
Padahal, demikian pendapat para pemegang saham minoritas, kalau opsi penjualan yang dipilih, harganya bisa lebih dari empat kali nilai buku. Acuannya tak lain ketika Temasek melepaskan Bank BII ke Maybank, Malaysia, dengan harga 4,6 nilai buku.
Selain itu, merger ini dinilai lebih menguntungkan pemegang saham Niaga ketimbang Lippo. Salah satunya, rasio pinjaman terhadap simpanan Bank Niaga yang sudah 92,9 persen mengakibatkan ruang bagi bank ini untuk melakukan ekspansi kredit sangat sempit. Sedangkan rasio pinjaman LippoBank masih di kisaran 60 persen. Dengan merger, ruang ekspansi kredit Bank Niaga membesar.
Keuntungan lain yang bisa dinikmati bank peninggalan keluarga Julius Tahija ini adalah tingkat pengembalian modal dan margin keuntungan yang diproyeksikan lebih besar lagi. Kesimpulannya, menurut perhitungan investor minoritas, LippoBank tidak membutuhkan merger.
Berbeda dengan pemegang saham minoritas, pemerintah, yang masih punya 1,7 persen saham di Lippo, tak mempersoalkan merger itu. Wakil Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset Raden Pardede mengingatkan, merger kedua bank itu harus dilihat dalam konteksnya. ”Kebijakan kepemilikan tunggal itu kan untuk memperkuat perbankan,” katanya.
Di samping itu, menurut Raden, harga saham Lippo sebesar tiga kali nilai buku itu masih wajar. Pemerintah tidak dalam posisi mencari keuntungan sendiri. ”Jangan kemaruk melihatnya,” kata Raden menegaskan. Analis perbankan Mirza Adityaswara memiliki perhitungan yang sama.
Menurut Mirza, harga merger itu tak bisa disamakan dengan harga penjualan BII. Apalagi bank di Indonesia yang harga sahamnya tiga kali nilai buku pada umumnya memiliki tingkat pengembalian modal (return on equity) lebih dari 20 persen. Nah, dia memperkirakan CIMB-Niaga masih butuh waktu untuk mencatat tingkat pengembalian modal di atas 20 persen.
Kalau investor tak sabar atau tak setuju dengan merger itu, kata Mirza, mereka punya opsi menjual sahamnya. Seperti dituturkan Datuk Nazir Razak, Kepala Eksekutif CIMB Group, sebagai pembeli siaga, dana Rp 6 triliun telah dialokasikan untuk membeli saham minoritas LippoBank dan Rp 5,2 triliun untuk Bank Niaga.
N.D. Murdani, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia, punya pendapat lain. Ia menyarankan pemegang saham lama menukarkannya dengan saham baru. ”Nantinya lebih untung,” ucapnya.
Anne L. Handayani, Munawwaroh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo