Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=2>Produksi minyak</font><br />Bila Target Terus di Awang-awang

Target lifting minyak dinaikkan. Dalam dua bulan, produksi minyak tak sampai 900 ribu barel per hari.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sudah sebulan terakhir ini ngebut menyelesaikan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu meminta Dewan segera menuntaskan pembahasan sebelum masa reses pada 5 April. ”Biar ada kepastian anggaran tahun ini,” katanya.

Perekonomian dunia memang tengah menghadapi ketidakpastian gara-gara harga minyak dunia yang terus melambung. Dua pekan lalu, harga minyak sempat menyentuh di atas US$ 111 per barel, harga tertinggi sepanjang sejarah. Dan itu sangat mempengaruhi anggaran, terutama angka patokan harga minyak. Pada akhirnya, angka ini juga akan bisa mengubah besaran penerimaan dan belanja negara.

Dua pekan lalu, pemerintah dan DPR sebetulnya sudah bersepakat mengubah harga patokan minyak dari US$ 60 per barel menjadi US$ 85 per barel. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2008, pemerintah sebelumnya mengajukan angka US$ 83 per barel. Tapi, melihat perkembangan harga minyak dunia, agaknya mustahil mempertahankan harga patokan di US$ 85 per barel.

Panitia Anggaran DPR sebetulnya sudah mengusulkan agar harga patokan didongkrak ke posisi US$ 95 per barel. Meski masih harus dihitung lagi karena akan berpengaruh terhadap penerimaan dan belanja, kata Sri Mulyani, pemerintah cenderung ke angka itu. Dampaknya memang besar. Subsidi bahan bakar minyak akan menggelembung menjadi Rp 156 triliun dari perhitungan semula Rp 106 triliun. Subsidi listrik juga naik menjadi Rp 55 triliun.

Susahnya, Indonesia bukan cuma menghadapi masalah itu. Produksi (lifting) minyak Indonesia juga terus menurun, sebaliknya impor minyak terus membubung. Bahkan Indonesia kini sudah masuk kategori pengimpor neto. Akibatnya, Indonesia tak sepenuhnya bisa mengambil manfaat dari tingginya harga minyak dunia. Malahan, Indonesia harus pontang-panting menyiasati terus membengkaknya subsidi.

Yang jadi soal, Panitia Anggaran mematok angka lifting 960 ribu barel per hari, 927 ribu barel yang akan dibelanjakan dan 33 ribu sebagai cadangan kalau target tak tercapai. Angka tersebut naik dari APBN-P yang diajukan pemerintah sebesar 910 ribu barel. Terhadap usul ini, Sri Mulyani belum memberikan sikap. Ia hanya mengungkapkan, selama Januari-Februari, produksi minyak tak sampai 900 ribu barel per hari.

Urusan produksi minyak ini kabarnya membuat Sri Mulyani sakit kepala. Target produksi tidak seperti yang dicantumkan dalam APBN 2008—angka lifting-nya malah lebih tinggi, 1,03 juta barel per hari. Karena itulah, angka tersebut direvisi dalam APBN-P. Masalahnya, angka revisi itu belum pernah bisa dicapai dalam dua bulan pertama tahun ini.

Alvin Lie, anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, mengungkapkan bahwa Menteri Keuangan memang sangat direpotkan oleh rendahnya produksi minyak. ”Dari mana saya harus cari pengganti kalau ternyata target itu hanya pepesan kosong?” kata Alvin menirukan ucapan Sri Mulyani dalam sebuah pembahasan anggaran perubahan.

Rapat Komisi Energi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro pekan lalu, dia menambahkan, juga berjalan alot antara lain gara-gara penentuan produksi minyak ini. Dalam rapat sebelumnya pada 3 Maret, Purnomo setuju angka lifting minyak di posisi 960 ribu barel. Dengan catatan, produksi lapangan Duri, Riau, milik Chevron sebesar 50 ribu barel dimasukkan.

Lagi-lagi karena masalah produksi inilah, kata anggota Panitia Anggaran DPR Rama Pratama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang membuat pemerintah mempercepat pembahasan anggaran perubahan. Bukan karena faktor eksternal seperti terus naiknya harga minyak mentah. Target yang tak tercapai itu membuat Indonesia sebagai salah satu negara produsen tak bisa memetik keuntungan dari melejitnya harga minyak.

Jika produksi minyak meningkat, paling tidak pemerintah bisa mendapat tambahan penerimaan, sehingga hasil akhirnya bisa positif. Tapi, yang terjadi produksi terus menurun. Pada 2000, produksi minyak Indonesia masih 517,4 juta barel per tahun (1,4 juta barel per hari), sedangkan per November tahun lalu tinggal 317 juta barel per tahun (950 ribu barel per hari)

Turunnya produksi karena perusahaan minyak hanya menggenjot ladang minyak yang sudah berusia lanjut. Lagi pula, selama delapan tahun terakhir, kata pengamat perminyakan Kurtubi, hampir tidak ditemukan ladang minyak baru, sehingga produksi tidak bisa ditingkatkan. Padahal, pada era 1980, hampir tiap minggu ditemukan sumur baru.

Menurut Kurtubi, ladang baru tak ada karena investasi di sektor ini tersuruk. Pangkal dari tak ada investasi baru ini, dia melanjutkan, karena Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, yang menjadi disinsentif terhadap investor yang hendak menanam duit. Baru mau melakukan eksplorasi, pengusaha sudah diwajibkan membayar pajak penghasilan dan dikenai bea masuk barang modal untuk kegiatan eksplorasi.

”Itu semua membuat mereka malas datang,” ujar Kurtubi. Dia menegaskan, kalau Indonesia ingin menaikkan kembali produksi minyak, tak ada pilihan lain kecuali mencabut atau merevisi undang-undang yang sangat tidak ramah terhadap pengusaha itu.

Tapi Wakil Direktur Utama Iin Arifin Takhyan dan juru bicara Pertamina Wisnuntoro optimistis produksi minyak masih bisa digenjot. Pertamina pada tahun ini akan meningkatkan produksi dari 153 juta barel per hari menjadi 160 juta barel. ”Kalau dalam anggaran ditetapkan produksi 960 ribu barel, mestinya itu sudah diperhitungkan oleh DPR dan pemerintah,” kata Wisnuntoro.

Anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Amanat Nasional Tjatur Sapto Edy juga sepakat. Menurut dia, Pertamina bukan satu-satunya produsen minyak di negeri ini. Tahun lalu perusahaan itu hanya menyumbang 20 persen. Sisanya dipasok produsen minyak terbesar Chevron Pasifik Indonesia (CPI), Total E&P Indonesie, ConocoPhillips, BP Indonesia, dan China National Offshore Oil Company (CNOOC).

Sampai sebelum palu diketukkan tanda DPR menyetujui, tampaknya penentuan lifting minyak tetap akan menjadi isu paling panas yang masih akan bergulir di Senayan. Menurut Rama, kalaupun DPR setuju dengan angka 960 ribu barel, ia pesimistis pemerintah akan mampu memenuhinya. ”Dari tahun ke tahun target itu tak pernah tercapai,” katanya.

Ia tidak melihat jalan keluar lain kecuali bermain-main di area subsidi bahan bakar dan listrik, karena program konversi dari minyak tanah ke gas gagal. Pemotongan anggaran departemen juga tidak optimal. Jika subsidi yang diotak-atik terus, ujung-ujungnya adalah menaikkan premium dan solar yang selama ini disubsidi. ”Padahal, masalahnya adalah produksi minyak yang terus menurun,” katanya.

Kurtubi sependapat. Masalahnya memang ada di lifting minyak. Namun, menurut dia, kesalahan tak semata-mata bisa ditimpakan pada Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Kardaya Warnika. Produksi minyak memang menjadi tanggung jawab Kardaya, tapi mestinya Menteri Purnomo juga ikut bertanggung jawab. ”Dia sudah menjadi menteri energi sejak Abdurrahman Wahid menjadi presiden,” katanya.

Komisi Energi sendiri sudah sejak setahun lalu meminta Kardaya mundur. Dia dinilai tidak mampu menaikkan cadangan dan produksi minyak sesuai dengan janjinya ketika menjalani uji kelayakan di DPR pada Januari 2005. Belakangan ini, permintaan agar Kardaya mundur kembali menguat. Tapi, apakah mundurnya Kardaya akan bisa membuat lifting minyak naik, itu yang belum tentu terpecahkan.

Grace S. Gandhi, Sahala Lumbanraja, Anne L. Handayani, Gunanto E.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus