Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=brown>PERBANKAN</font><br />Dilema Mendorong Laju Kredit

Bank Indonesia melansir beleid baru untuk mendorong kredit perbankan. Bank besar memilih kena penalti ketimbang menggenjot kucuran kredit.

21 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang bankir melukiskan hubungan antara perbankan dan Bank Indonesia. "Tiga minggu ini hubungan kami seperti orang demam, panas-dingin," katanya sambil meringis.

Asal-muasal demam adalah aturan baru BI yang resmi berlaku pada 1 Maret 2011. Menurut aturan itu, bank harus memiliki loan to deposit ratio (LDR) atau rasio kredit terhadap dana pihak ketiga sebesar 78 sampai 100 persen.

Jangan coba melanggar pagu rasio kredit. Kurang atau melebihi batas, bank dikenai sanksi penalti. Jika kurang dari batas bawah, bank harus menambah setoran giro wajib minimum (GWM) BI senilai 0,1 persen dari dana pihak ketiga untuk tiap satu persen kekurangan LDR. Bila rasio kredit melebihi seratus persen, bank juga wajib menambah simpanan di giro wajib minimum sebesar 0,2 persen dana pihak ketiga untuk setiap kelebihan satu persen. Ini berlaku untuk bank dengan rasio kecukupan modal bank (CAR) kurang dari 14 persen. Bank boleh melenggang bebas penalti jika rasio kecukupan modalnya lebih dari angka tersebut.

Persoalannya, beberapa bank besar memiliki rasio kredit kurang dari pagu Bank Indonesia. Berdasarkan data pada Desember tahun lalu, rasio kredit terhadap dana pihak ketiga BCA 55,1 persen, Bank Mandiri 65,4 persen, dan BNI 69,9 persen. Walhasil, penalti untuk mereka bukan angka yang kecil. BCA harus menambah setoran giro wajib hingga Rp 6,3 triliun, Bank Mandiri sekitar Rp 3,9 triliun, dan BNI wajib menyetor Rp 1,5 triliun.

Bagi bank, menyimpan uang di giro wajib bukan tindakan bisnis yang gurih. Bunga yang ditawarkan BI bagaikan kembang layu. Simpanan giro wajib primer hanya berbunga 2,5 persen. Lalu, giro wajib tambahan tak beroleh bunga alias nol persen, karena ini pertanda rasio kredit bank masih rendah. Bandingkan kalau duit itu ditempatkan di Sertifikat Bank Indonesia, bank bisa memetik bunga 5,75 persen.

Kebijakan baru BI ini dinilai tidak konsisten dan membingungkan. "Bank dipaksa gedean mengucurkan kredit, tapi di sisi lain likuiditas ditarik masuk giro wajib minimum," tutur Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono kepada Tempo di ruang kerjanya di Menara BCA, Rabu pekan lalu.

Dugaan ini dibantah Direktur Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso. "Tidak benar bank dipaksa mengucurkan kredit," katanya. Kebijakan baru ini semata demi menjaga pertumbuhan kredit supaya terukur dan tidak berisiko. "Terlalu lambat tidak betul. Terlalu kencang bisa terpeleset," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Setiap bank, menurut dia, menaikkan rasio kredit secara bertahap. Kredit harus dikucurkan hati-hati. "Aspek prudent tetap diutamakan," katanya.

Wimboh mengakui ada perbedaan perspektif antara BI dan perbankan. Sebagai otoritas, BI harus mengatur bagaimana kredit perbankan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk inilah aturan loan to deposit ratio dan giro wajib minimum diterapkan. "Targetnya jangka panjang," ujarnya.

Sebaliknya para bankir memiliki perspektif berbeda. "Targetnya jangka pendek. Bank untung, pemegang saham senang," kata Wimboh. Beberapa bank menimbun untung dengan mudah, tak perlu repot bekerja keras menggenjot kredit. Caranya, bertanam duit di surat utang Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau pinjaman antarbank. Hasil penempatan itu saja sudah membuat bank untung. "Karena cost of fund atau ongkos bunga simpanan nasabah yang murah sudah tertutupi," kata Wimboh.

Selain tak sehat bagi pertumbuhan ekonomi, keuntungan gampang itu tidak dinikmati banyak bank. Lebih banyak bank yang tak bisa bermain di SBI lantaran harus membiayai dana operasional simpanan pihak ketiga. Wimboh mendorong bank untuk lebih efisien dan menurunkan biaya simpanan. "Kalau biaya dana turun, bunga pinjaman otomatis turun," kata Wimboh. Selanjutnya akan tercipta efek domino: permintaan kredit naik, pembiayaan proyek berjalan, lapangan kerja tercipta, pembangunan terjadi, ekonomi tumbuh.

Demi mendorong efisiensi bank, akhir bulan ini BI mengharuskan bank beraset lebih dari Rp 10 triliun mengumumkan prime lending rate atau suku bunga dasar kredit. "Efisiensi bank akan terlihat dari bunga dasar kreditnya," kata Wimboh.

Sigit setuju dengan niat BI mendorong kredit demi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Tapi mengukur kinerja kredit, menurut dia, bukan dari tingkat LDR. Teorinya, kata Sigit, LDR yang naik terlalu tinggi berisiko membuat bank kolaps jika terjadi pengetatan likuiditas. "Inilah yang terjadi saat krisis 1997-1998," ujarnya.

Harus pula dicatat, menurut Sigit, perbankan kita bisa dibilang berprestasi luar biasa dalam mengelola risiko. Buktinya, tingkat kredit seret atau non-performing loan (NPL) secara nasional cuma 2,56 persen, jauh di bawah ketentuan NPL bank maksimal 5 persen. "Memberi kredit justru akan menurunkan kualitas kredit," kata Sigit.

Nah, dengan alasan menjaga kualitas kredit, tiga bank papan atas, BCA, BNI, dan Bank Mandiri, memilih kena penalti ketimbang menaikkan LDR. Meski demikian, ketiganya setuju bahwa pertumbuhan ekonomi melalui intermediasi bank masih perlu didorong.

"Pertumbuhan kredit bank tidak secepat lonjakan dana masyarakat," begitu kata Wakil Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja. Pada 2010, kredit bank tumbuh 25 persen ketika industri perbankan tumbuh 24 persen. Total kredit yang disalurkan Rp 153 triliun, naik dari Rp 123 triliun tahun sebelumnya. Tahun lalu, dana masyarakat yang masuk BCA naik Rp 40 triliun, jauh lebih gemuk ketimbang pertumbuhan kredit.

Proporsi pertumbuhan rasio kredit BCA, menurut Jahja, juga naik. Tahun lalu tercatat 56 persen, naik dari tahun sebelumnya yang 52 persen. "Kami memang selalu meningkatkan pertumbuhan kredit, tapi tak bisa langsung mencapai 78 persen," katanya.

Mengebut mengucurkan kredit bukan pilihan yang bijak bagi BCA. Karena itu, Jahja mengaku siap membayar setoran penalti. Lagi pula, "Duit ini tidak hilang, kok. Kan disimpan dalam giro wajib. Buat kami ini bukan bersifat penalti," katanya. Hanya, uang sebesar itu bisa mendatangkan keuntungan gurih jika digunakan sebagai pinjaman antarbank. "Terasa seperti penalti karena ada opportunity yang hilang," kata Jahja.

Direktur Utama BNI Gatot M. Soewondo bertindak serupa. Dia memilih menambah setoran giro wajib. Sedikitnya hingga tiga bulan ke depan, Gatot memilih langkah berhati-hati. Alasannya, "Ongkos yang kami tanggung untuk kredit yang berisiko menjadi macet itu besar sekali," kata Gatot. Tingkat kredit macet BNI per 31 Desember 2010 adalah 4,3 persen, turun dari tahun sebelumnya 4,7 persen.

Mandiri punya kisah senada. Akhir tahun lalu, rasio kredit Mandiri tercatat 71 persen. "Kami harus menambah setoran giro wajib lebih dari Rp 1 triliun," kata Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini, yang juga menyatakan bahwa Mandiri baru bisa mencapai rasio kredit 78 persen tahun depan.

Sebagai Ketua Umum Himpunan Bank-Bank Negara, Gatot meminta BI memberi kelonggaran. Dia menyarankan, obligasi rekap yang berada dalam neraca bank BUMN bisa diperhitungkan dalam rasio kredit terhadap dana pihak ketiga. BNI, misalnya, menyimpan obligasi rekap Rp 17 triliun, sedangkan Bank Mandiri Rp 83 triliun. Namun usul ini tidak bisa diterapkan. "Karena berlawanan dengan prinsip kebijakan rasio kredit, yakni meningkatkan kucuran kredit kepada masyarakat," kata Wimboh.

Bagi analis perbankan Mirza Adityaswara, langkah bank memilih penalti dengan menambah setoran GWM bisa dimengerti. Laju pertumbuhan kredit, Mirza menegaskan, tidak bisa terlampau jauh di atas pertumbuhan industri perbankan. Saat ini laju pertumbuhan kredit bank sudah selaras dengan pertumbuhan industri perbankan, yakni di kisaran 22-24 persen. "Justru berbahaya kalau laju kredit terlampau jauh dari pertumbuhan industrinya," kata Mirza.

Kebijakan LDR yang ditanggapi perbankan dengan menyetor penalti, bukan menggenjot kredit, menurut Mirza, bisa dimaknai secara berbeda. Kepada publik, BI menyampaikan kebijakan ini demi mendorong pertumbuhan kredit. Tapi, kata Mirza, "Secara tersirat, kebijakan ini sebenarnya adalah pengetatan likuiditas untuk mengendalikan inflasi."

Anne L. Handayani, Agoeng Wijaya, Febriana Firdaus


Perbandingan 10 Bank Terbesar per Desember 2010)

BankDana Pihak Ketiga (Rp triliun)Kredit (Rp triliun)LDR (%)
BCA 277,5 153,1 55,1
Mandiri 332,7217,865,4
BNI189,3132,469,9
BRI328,7241,073,3
Panin 75,155,774,1
BII59,950,183,6
Permata59,551,586,5
CIMB Niaga117,8102,787,1
Danamon80,275,393,9

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus