Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1 color=#CC6600>Industri Rotan</font><br />Tak Ada Rotan, Terbitlah Pengangguran

Industri mebel dari rotan anjlok. Petani rotan kena getahnya.

6 April 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertempuran itu belum juga berakhir. Sejak 2005, Mente­ri Perdagangan membuka keran­ ekspor rotan secara terbatas. Sampai kini, sikap Menteri Mari Elka Pangestu tak berubah. Tapi Menteri Perindustrian Fahmi Idris tak henti-hentinya meminta peraturan itu dicabut. ”Aturan ini berdampak buruk bagi Indonesia,” kata Menteri Fahmi.

Kekesalan politikus Golkar ini kian menjadi setelah ia menerima pesan pendek, dua pekan lalu, dari Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani. Isinya soal keprihatinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan industri rotan. Fahmi kesal karena dia sudah melaporkan soal ini sejak 2006. ”Saya sudah menulis surat ke Presiden dua kali, cerita panjang-lebar,” katanya.

Menurut dia, aturan itu justru memicu konflik berkepanjangan antara petani, produsen bahan baku, dan industri mebel. Petani dan produsen me­ngeluh lantaran hasil produksi mereka tak terserap. Sebaliknya, industri furnitur dari rotan mengeluhkan harga dan kualitas bahan baku. Produsen pun memilih ekspor ketimbang memasok ke dalam negeri. Saat ini, Indonesia menguasai 80 persen rotan dunia.

Salah satu yang sering memprotes adalah industri furnitur Cirebon. Pemilik industri PT Mutiara, H. Jamal, misalnya, mengaku kini hanya mengirim 10 kontainer per bulan, merosot dibanding sebelum aturan berlaku—bisa 200 kontainer. Dari 10 kontainer itu, hanya 10 persen murni mebel rotan. Sisanya diisi bahan lain seperti pelepah pisang dan eceng gondok. ”Tidak murni rotan lagi,” katanya.

Untuk mendapat rotan juga harus antre. Tengkulak datang menawarkan rotan, tapi jumlahnya sedikit dan tidak tiap hari. Terakhir, tawaran tertinggi 1 ton. Itu pun rotan campuran kualitas jelek. Produksi rotan memang merosot tajam. Data Departemen Kehutanan pun menyebutkan produksi rotan pada 2007 hanya 3.153 ton, anjlok dibanding 1,88 juta ton pada 2004.

Turunnya kinerja industri diakui Ketua Umum Asosiasi Industri Perme­belan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahjono sejak akhir 2008 karena krisis global. Laporan eksportir menyebutkan omzet melorot 30 persen selama Januari-Februari lalu. ”Padahal tahun lalu penjualan mencapai US$ 2,1 miliar” (lihat tabel).

Ini diperparah temuan anggota Tim Monitoring dan Evaluasi, Hartono, bahwa ada indikasi ekspor ilegal. Modusnya, volume wajib pasok digelembungkan agar mendapat kuota ekspor lebih besar. Selama ini, jumlah ekspor maksimal sepertiga dari yang dipasok ke dalam negeri. Ada juga praktek jual-beli kuota antarindustri.

Temuan ekspor rotan ilegal ter­anyar terjadi awal bulan lalu, saat petugas­ Bea dan Cukai Wilayah I Belawan menggagalkan penyelundupan 16 ton rotan asalan ke Singapura. Untuk ini, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Diah Maulida menilai Bea-Cukai perlu punya badan intelijen yang kuat agar sewaktu-waktu bisa melakukan pengecekan.

Toh, ternyata larangan ekspor tidak efektif. Sebelum 2005, ketika ekspor dilarang, penyelundupan menjadi-jadi. Kini masalahnya bertambah. Pasokan ke dalam negeri makin rendah. Tahun lalu, misalnya, dari kuota 36 ribu ton per tahun bagi rotan Sulawesi, realisasinya hanya 5.000 ton. Selain itu, dari 250-an jenis rotan, hanya 50 yang menjadi favorit industri mebel. Itu pun hanya untuk ukuran 24-36 milimeter. Artinya, banyak bahan baku yang tak terserap industri lokal.

Pemilik industri rotan PT Wana Lestari di Sulawesi Tengah, Heri Mayloa, menuding pemerintah tak adil memberikan kuota. Kuota ekspor perusahaannya cuma 600-700 ton per tahun. Itu pun diberikan di akhir periode, sehingga selama dua bulan pertama ia gigit jari. Padahal, saat sulit seperti sekarang, ekspor menjadi pilihan terbaik.

Sejak Oktober 2008, permintaan industri mebel memang anjlok 50 persen menjadi 200 ton per bulan. Harga pun turun 10-15 persen menjadi Rp 10-11 ribu per kilogram. ”Industri lokal sering telat bayar hingga enam bulan, padahal kami harus membayar petani di awal,” katanya. Mengaku tidak melakukan ekspor ilegal, ia terpaksa memberhentikan 50 dari 200 pegawainya.

Direktur Eksekutif Asmindo Sae Tanangga Karim berpendapat industri mebel rotan stagnan karena tidak bisa bersaing dengan industri di luar negeri. Harga produk Cina lebih murah dan desain­nya lebih bagus. Jadi, sebelum minta ekspor ditutup, menurut dia, indus­tri harus bisa memanfaatkan semua bahan baku.

R.R. Ariyani, Ivansyah, Amandra Mustika, Vennie Melyani

Kinerja Ekspor Rotan dan Furnitur Rotan (US$ juta)

2005
1. 14,87
2. 33,17
3. 313,89

2006
1. 18,74
2. 36,77
3. 307,01

2007
1. 24,11
2. 37,56
3. 301,23

2008*
1. 21,04
2. 25,63
3. 239,65

Ket:
1. Bahan baku rotan
2. Kerajinan rotan
3. Furnitur rotan

Sumber: Departemen Perdagangan
*Sampai Oktober

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus