Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Telepon seluler Benny Soetrisno, Senin siang awal bulan lalu, tiba-tiba berdering. Di ujung telepon, kepala cabang sebuah bank nasional mengajak Direktur Utama PT Apac Inti Corpora ini menyimpan uangnya dalam produk deposito bank sang bankir, dengan iming-iming tingkat bunga cukup menggiurkan, 12-13 persen per tahun. ”Bank ini sedang haus dana,” ujar Benny kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tingkat bunga yang ditawarkan kepada Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Kamar Dagang dan Industri Indonesia ini sangat tinggi. Nilainya jauh di atas bunga deposito rupiah yang dipajang di counter bank-bank nasional dan campuran, yang hanya 6,5-8 persen.
Berdasarkan penelusuran Tempo, bank tadi bukan satu-satunya bank yang mau memberikan bunga tinggi. Beberapa bank lain menawarkan bunga deposito yang cukup aduhai. Bank Danamon, misalnya, menawarkan bunga khusus (special rate) untuk deposito di atas Rp 5 miliar berjangka 1 bulan sebesar 10,5 persen. Bunga Bank Panin dan CIMB Niaga berada pada kisaran 10-11 persen. Bank Mega, BNI, dan BRI juga bersedia memberikan bunga 11 persen.
Seorang bankir kepada Tempo membisikkan, bunga khusus umumnya diminta nasabah gede berduit banyak, dari nasabah perorangan hingga institusi, seperti dana pensiun dan perusahaan asuransi, termasuk PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). ”Mereka biasa shopping rate (belanja bunga) dan punya daya tawar kuat menentukan bunga,” katanya.
Perusahaan-perusahaan dana pensiun itu memang memiliki dana yang sangat besar yang biasa ditempatkan di deposito sebagai instrumen investasi yang paling aman. Portofolio perusahaan-perusahaan ini di deposito berkisar dari ratusan miliar hingga satu triliun. Perusahaan asuransi begitu juga. PT Askes (Persero), misalnya, memiliki deposito Rp 2,7 triliun. Adapun Jamsostek menyimpan Rp 20,62 triliun di deposito.
Direktur Utama Jamsostek Hotbonar Sinaga menegaskan, perusahaannya tak aktif mencari bank yang mau memberikan bunga tinggi. ”Jika bagian investasi kami mencari-cari bank yang menawarkan bunga tinggi, itu patut dicurigai,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu. Justru, kata dia, bank-banklah yang getol menawarkan tingkat bunga tinggi. ”Biasanya kepala cabang bank menghubungi divisi investasi kami,” ujarnya.
Tapi Hotbonar mengakui deposito-deposito milik Jamsostek berbunga cukup menarik. ”Itu sesuai dengan aturan kami yang mewajibkan mendapatkan return tertentu.” Dari total portofolio deposito Jamsostek senilai Rp 20,6 triliun hingga akhir Maret 2009, katanya, Rp 12,6 triliun disimpan di bank-bank pemerintah. Lantaran risiko bank-bank pelat merah ini tergolong kecil, bunga deposito yang bisa diterima Jamsostek boleh di bawah bunga pasar saat ini, 10,5-12 persen.
Sisa portofolio deposito Jamsostek senilai Rp 8,02 triliun disimpan di bank-bank pembangunan daerah dan bank-bank swasta nasional. Bunga deposito di bank pembangunan daerah, ujar Hotbonar, boleh di atas atau sama dengan bunga pasar. Adapun bunga deposito milik Jamsostek di bank swasta harus di atas bunga yang berlaku di pasar saat ini. ”Ya, di atas 11 persenlah,” ujarnya.
Berbeda dengan Jamsostek, Dana Pensiun Telkom dan Kompas Gramedia justru mencari bank yang mau memberikan bunga deposito menarik. ”Kami biasanya membandingkan bunga dari lima atau enam bank,” ujar Direktur Investasi Dana Pensiun Telkom Wahyudi Salasa. Dana yang dikelola Dana Pensiun Telkom mencapai Rp 9 triliun. ”Bunganya sekitar 11 persen,” katanya.
Bendahara Dana Pensiun Kompas Gramedia Robertus Royanto mengatakan lembaganya memilih bank yang mau menawarkan tingkat bunga 1-2 persen di atas bunga di counter bank. ”Saat ini bunga yang kami terima 10-11 persen,” ujarnya. Tingkat bunga sebesar itu, kata dia, cukup wajar karena saat ini bunga dana di pasar masih cukup tinggi. Hingga akhir 2008, kekayaan Dana Pensiun Kompas Gramedia mencapai Rp 961,9 miliar, dan lebih dari separuhnya ditempatkan di deposito.
Masih tingginya tingkat bunga menunjukkan ”perang bunga deposito” belum usai. Perang ini dimulai pada pertengahan 2007, ketika likuiditas mengering. Beberapa bankir mengakuinya. Bahkan, menurut Direktur Utama Bank Mega Yungky Setiawan, pada akhir Maret lalu, jorjoran penawaran bunga deposito tinggi kembali menggila. ”Ada bank besar menawarkan bunga 12-an persen,” ujarnya.
Seorang bankir menjelaskan, setelah Bank Century ambruk akibat kesulitan likuiditas akhir tahun lalu, kini muncul gejala saling tidak percaya (distrust) antarbank. Kendati kondisi likuiditas di pasar uang sekarang sudah normal dibanding tahun lalu, beberapa bank besar yang kelebihan duit segar masih enggan memberikan pinjaman kepada bank lain yang membutuhkan likuiditas. ”Pasar uang antarbank (PUAB) masih belum berjalan sempurna,” katanya.
Buntutnya, bank-bank kecil-menengah terpaksa menawarkan bunga deposito tinggi kepada nasabah untuk mendapatkan likuiditas. Beberapa bank besar pun akhirnya ikut-ikutan menawarkan bunga deposito selangit. ”Jadilah seperti sekarang. Bunga deposito tak juga beranjak turun,” ujar bankir swasta itu.
Menurut Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo, melambungnya bunga deposito tampaknya juga terpengaruh oleh tingginya imbal hasil surat utang negara dan sukuk yang belum lama ini diterbitkan pemerintah, sebesar 11-12 persen. Akibatnya, pemilik dana hanya bersedia menempatkan dananya di bank yang mau memberikan tingkat bunga deposito minimal 11,5 persen.
Karena itu, kata Agus, agar kepercayaan antarbank pulih, sebaiknya ada penjaminan penuh terhadap dana nasabah. ”Tak perlu selamanya, misalnya cukup sampai 2012,” katanya dalam diskusi perbankan yang diselenggarakan Tempo di Jakarta pekan lalu. Saat ini, Lembaga Penjamin Simpanan hanya menjamin sampai Rp 2 miliar. Padahal 40-50 persen dana yang disimpan di bank merupakan duit di atas Rp 2 miliar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad menyayangkan seandainya ada fenomena pemilik dana besar menuntut return tinggi. Terlebih jika pemilik dana besar itu adalah badan-badan usaha milik negara. Fenomena ini, kata dia, kurang sehat bagi industri perbankan nasional karena akan menjadi jebakan bagi bank-bank untuk memberikan bunga yang tinggi. ”Bank jadi serba salah. Jika bank tak memberikan bunga tinggi, nasabah ini akan lari ke bank lain,” kata Muliaman.
Kekhawatiran Muliaman itu memang bisa dipahami. Masih tingginya bunga deposito ini membuat tingkat bunga kredit belum bisa turun signifikan kendati Bank Indonesia sudah menurunkan bunga acuan (BI Rate) menjadi 7,5 persen pada pekan lalu. Saat ini kisaran tingkat bunga kredit masih 15-17 persen. Padahal penurunan bunga pinjaman—di bawah 12 persen seperti yang diharapkan para pengusaha—sangat penting untuk menggairahkan sektor riil, yang sekarang terancam resesi global.
Hotbonar menolak tudingan bahwa Jamsostek ikut andil atas masih tingginya bunga deposito. ”Itu salah bank sendiri. Masak, nasabah yang disalahkan?” ujarnya. Jamsostek, kata dia, tak pernah bermain di air keruh, yakni mengambil kesempatan saat kondisi pasar uang antarbank belum normal. ”Toh, kami pun tak berkeberatan bila bank-bank pemerintah memberikan bunga di bawah bunga pasar,” katanya. Wahyudi sepakat. Dana-dana pensiun tak berkeberatan jika tingkat bunga deposito diturunkan.
Terlepas dari ada atau tidaknya fenomena tadi, Muliaman tetap hakulyakin persoalan tingginya bunga deposito bisa segera teratasi. Terlebih, dengan struktur pasar perbankan yang oligopolistik—dikuasai 15 bank besar atau biasa disebut market setter—mestinya tidak sulit menaikkan atau menurunkan bunga. ”Seharusnya transmisi penurunan BI Rate kepada suku bunga perbankan bisa lebih cepat,” ujar Muliaman. Masalahnya, tidak ada bank yang mau memulai lebih dulu.
Padjar Iswara, Ismi Wahid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo