Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspor Indonesia benar-benar sudah memasuki area lampu merah. Februari lalu, ekspor Indonesia hanya US$ 7,08 miliar, atau anjlok 32,86 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Jika disandingkan dengan angka Juni lalu, ekspor Indonesia bahkan sudah turun hampir 44 persen. Melihat angka impor yang juga turun sangat dalam, ekspor Indonesia dalam dua bulan ke depan diperkirakan masih akan ambles.
Bahwa perdagangan global akan melambat, itu sudah diramalkan. Cuma, bak bola liar, percepatan krisis ini ternyata sulit diraba. Dana Moneter International (IMF), dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2008, memproyeksikan pada 2009 ekonomi dunia masih akan tumbuh 3 persen. Satu bulan kemudian, angka itu dikoreksi menjadi 2,2 persen, dan pada Januari diturunkan lagi menjadi 0,5 persen. Indonesia juga berkali-kali menurunkan proyeksi pertumbuhan. Terakhir, proyeksi mengarah pada angka 3-4 persen. Sebelumnya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2009, Indonesia diramalkan masih tumbuh 4,5 persen.
Gambaran IMF memang terlihat nyata. ”Perusahaan yang menerima barang ekspor kita dan memperdagangkannya berjatuhan akibat krisis,” kata Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady, Senin pekan lalu. Akibatnya, Edy memperkirakan, nilai ekspor Indonesia akan kian terjerumus April ini. ”Bisa anjlok menjadi hanya US$ 3-4 miliar,” katanya.
Kepada Tempo, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Soetrisno mengatakan menyempitnya pasar global sudah mulai dirasakan oleh pengusaha tekstil. ”Kami sudah memberhentikan sekitar 30 ribu pekerja,” katanya. Ini hampir setengah dari angka yang dirilis Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, bahwa hingga Maret lalu sudah sekitar 62 ribu orang kehilangan pekerjaan. ”Dibanding tahun lalu, ekspor kuartal pertama kami turun 30 persen,” kata Benny memberikan alasan.
Baiknya pekerjaan yang hilang akan segera ”diganti”. Menurut Direktur Jenderal Industri Logam, Metal, Tekstil, dan Aneka Departemen Perindustrian Anshari Bukhari, pemerintah sudah mengalokasikan Rp 240 miliar untuk restrukturisasi mesin tekstil. Tujuannya adalah meremajakan mesin agar produktivitasnya meningkat. ”Ini bisa menyerap tenaga kerja kurang-lebih 22 ribu orang,” katanya di Jakarta, Selasa pekan lalu.
Benny mengatakan, dalam kondisi sekarang, pemerintah mestinya berfokus pada industri-industri yang bisa menghasilkan devisa besar sekaligus banyak menyerap tenaga kerja, seperti tekstil atau sepatu. Dalam bahasa yang lain, ekonom Faisal Basri mengatakan pemerintah mesti membantu produk ekspor yang kandungan impornya rendah, seperti furnitur. ”Cara lain adalah mengerem laju ekspor bahan baku,” katanya. Secara tak langsung, ini bisa mengurangi daya saing kompetitor furnitur seperti Cina dan Vietnam, yang selama ini banyak mengandalkan bahan baku dari Indonesia.
Tentang membuka peluang pasar di luar, Faisal menyarankan pemerintah lebih agresif. Dia mencontohkan ekspor crude palm oil atawa CPO ke Pakistan. Selama ini, jualan Indonesia masih di bawah Malaysia karena Pakistan memberlakukan bea masuk 15 persen kepada barang Indonesia. Sedangkan untuk Malaysia, beanya cuma 5 persen. Menurut Faisal, Pakistan marah karena Indonesia mengenakan bea masuk yang lebih besar atas jeruknya dibanding Cina. ”Nah kalau pemerintah mau nego lagi dengan Pakistan soal jeruk, kita punya peluang menambah ekspor CPO ke sana,” katanya.
Ia pun menyarankan produsen tekstil dan produk tekstil, juga sepatu dan elektronik, mulai melirik pasar dalam negeri. ”Krisis ini justru kesempatan untuk memperkuat pasar lokal,” katanya. Pemerintah sendiri sebenarnya berharap paket stimulus, termasuk pengurangan pajak, bisa menggairahkan pasar dalam negeri. Tapi banyak ekonom ragu itu akan berhasil. Menurut ekonom Adrian Panggabean, kebijakan stimulus pemerintah tak dilengkapi ”pagar” yang menjamin stimulus itu segera dibelanjakan. ”Bagaimana kalau uang tersebut justru ditabung atau dibelanjakan tapi enam bulan lagi,” katanya.
Kekhawatiran Adrian jelas harus diantisipasi pemerintah. Pasar ekspor yang remuk mesti dikompensasi dengan peningkatan pasar domestik. Jika gagal, ekonomi akan meluncur ke bawah dan sebaliknya angka pengangguran bakal melejit.
Philipus Parera
Ekspor-Impor Indonesia 2008-2009 (US$ miliar)
Mar 08
1. 10,10
2. 11,90
Mei
1. 11,66
2. 12,89
Agu
1. 11,86
2. 12,50
Okt
1. 10,61
2. 10,79
Des
1. 7,70
2. 8,69
Feb 09
1. 5,82
2. 7,08
Ket:
1. Ekspor
2. Impor
Sumber: Data Badan Pusat Statistik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo