Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI kebanyakan bankir, Bank Nationalnobu bisa dianggap besi tua yang sudah karatan. Modalnya pas-pasan. Namanya tak berbunyi di industri perbankan nasional. Tapi lain pula anggapan Mochtar Riady.
Dua pekan lalu terbetik kabar, pendiri Grup Lippo itu membeli bank yang berkantor di Jalan KH Mochamad Mansyur, Tanah Sereal, Tambora, kawasan padat penduduk dekat Jembatan Lima, Jakarta Barat, itu. Inilah tonggak kembalinya Mochtar ke bisnis perbankan sejak ia kehilangan Bank Lippo pada 1999.
Menerima tawaran kongsi dari Yantony Nio, Chief Executive Officer Grup Pikko, Mochtar mengakuisisi bank itu dari pemilik sebelumnya, Alfi Gunawan dan PT Gunawan Sejahtera. Akuisisi ini menelan dana Rp 100 miliar. PT Kharisma Buana Nusantara menguasai 60 persen, sisanya dimiliki Yantony Nio. Di PT Kharisma, Mochtar pemegang saham mayoritas.
Rencana jual-beli Bank Nationalnobu disampaikan ke Bank Indonesia, setahun lalu. Setelah melakukan proses uji tuntas, Mochtar menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia, awal September lalu. Direkam melalui kamera selama hampir dua jam, ”Dia terlihat kalem,” kata Joni Swastanto, Direktur Perizinan dan Informasi Perbankan Bank Indonesia.
Mochtar berjanji akan menyiapkan dana segar sebelum akhir 2010, agar modal Bank Nationalnobu bisa memenuhi ketentuan bank sentral, yang mensyaratkan minimum modal Rp 100 miliar. Akuisisi ini mendapat restu bank sentral pada 16 September lalu.
Yang membuat banyak orang terheran-heran, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bagaimana mungkin Mochtar dan kelompok usaha Lippo, yang pernah melakukan akrobatik keuangan di industri perbankan, bisa kembali memiliki bank. ”Kelompok usaha yang pernah dibantu negara karena tidak becus mengurus perbankan sebaiknya tidak diizinkan lagi menjadi pemilik bank,” kata Achsanul Qosasi, anggota Dewan dari Fraksi Demokrat.
Pada saat krisis moneter Indonesia, 1997-1998, Bank Lippo termasuk kloter pertama penikmat dana rekapitalisasi yang diguyur pemerintah. Jumlahnya Rp 7,73 triliun. Sebagai gantinya, keluarga Riady mesti melepas 59,2 persen saham di Bank Lippo kepada pemerintah. Belakangan terkuak Bank Lippo menikmati dana lebih besar dari semestinya.
Kelebihan dana itu terjadi karena Bank Lippo sukses meraup dana Rp 3,75 triliun setelah menerbitkan saham baru. Dijumlah dengan suntikan dana pemerintah, total duit yang diterima Rp 11,68 triliun. Padahal dana yang dibutuhkan buat memenuhi rasio kecukupan modal Rp 8,7 triliun. Artinya, ada kelebihan Rp 2,94 triliun.
Pada 30 Maret 2000, Lippo mengembalikan sebagian dana Rp 1,67 triliun. Sisanya tidak dikembalikan karena merasa, untuk memenuhi rasio kecukupan modal, mesin uang keluarga Riady itu butuh dana Rp 10 triliun. Akrobatik kembali dipertontonkan ketika harga saham Bank Lippo digembosi selama 40 hari berturut-turut, pada akhir 2002. Transaksi jual-beli saham dilakukan oleh broker yang sama.
Ambruknya nilai saham disusul skandal laporan keuangan ganda. Pada November 2002, Bank Lippo melaporkan kepada publik kondisi keuangannya per 30 September 2002. Di situ total aktiva tercatat Rp 24,18 triliun, dengan laba Rp 98,7 miliar. Namun, dalam laporan yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta, pada Desember 2002, aktivanya tinggal Rp 22,8 triliun, dan merugi Rp 1,27 triliun.
Ternyata, ada penurunan nilai agunan yang sudah diambil alih dari Rp 2,39 triliun menjadi hanya Rp 1,42 triliun. Ini trik Bank Lippo untuk melego asetnya dengan harga murah. Aset ini merupakan jaminan yang diserahkan Grup Lippo sebagai pembayaran atas utang-utangnya kepada Bank Lippo. Itu sebabnya, ada kerugian besar yang kemudian dicatatkan pada laporan keuangan Desember 2002.
Banyak analis yakin semua itu cuma akal-akalan pemilik lama, yang berniat membeli aset berharga mereka—berupa properti—dengan harga murah. Tapi secara hampir bersamaan juga memborong saham Bank Lippo dengan harga supermurah.
Atas insiden itu, Badan Pengawas Pasar Modal cuma menjatuhkan denda atas direksi Bank Lippo Rp 2,5 miliar. Mochtar Riady lolos dari hukuman. Begitu pula Roy Edu Tirtadji, Wakil Presiden Komisaris Bank Lippo. Padahal semula tim pemeriksa merekomendasikan agar jajaran komisaris ikut memikul tanggung jawab.
Dalam rapat umum pemegang saham luar biasa, April 2003, Mochtar dan Roy Tirtadji tetap masuk jajaran komisaris. Seorang bekas pejabat Badan Penyehatan dan Perbankan Nasional mengakui pengaruh pemilik lama di Bank Lippo cukup kuat. Meski tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali, Mochtar dan tetap berperan di balik layar.
Pada 2004, Mochtar dan Roy kembali menjadi komisaris, meski 52 persen saham Bank Lippo senilai Rp 1,2 triliun berpindah tangan ke Swissasia Global. Mochtar sempat diduga berada di balik Swissasia, sesuatu yang dibantah Roy Tirtadji. Dua tahun lalu, konsorsium itu menjual saham Bank Lippo kepada Khazanah Holding Berhad asal Malaysia seharga Rp 3,5 triliun, dan akhirnya bersalin rupa menjadi CIMB Niaga.
Meski namanya penuh kontroversi, Mochtar aman-aman saja. ”Namanya tak pernah masuk daftar orang tercela,” kata Joni Swastanto. Begitu pula dalam daftar bankir tidak lulus. Itu sebabnya, Direktorat Pengawasan memberikan rekomendasi agar Mochtar diperkenankan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan di Direktorat Perizinan Bank Indonesia.
Ditemui dalam acara resepsi 40 tahun Bank Mayapada, Jumat dua pekan lalu, Mochtar juga membantah dirinya pernah masuk daftar orang tercela Bank Indonesia. “Informasi itu tidak benar,” ujarnya.
Uji kelayakan dan kepatutan itu mengundang pertanyaan. ”Bank Indonesia semestinya belajar dari pengalaman masa lalu, jangan cuma melihat komitmen dan kemampuan finansialnya,” kata Maruarar Sirait, anggota Dewan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Istilah daftar orang tercela dilekatkan pada bankir yang melakukan penggelapan, transaksi fiktif, atau kolusi yang merugikan bank. Ratusan bankir yang banknya menerima dana rekapitalisasi pada 1999 masuk kategori ini.
Pada November 2003, ketentuan ini direvisi. Sejak itu, kriteria bankir terbagi menjadi tiga: lulus uji kelayakan dan kepatutan, lulus bersyarat, atau tidak lulus hingga maksimum 20 tahun. Bankir nakal yang sebelumnya masuk daftar orang tercela otomatis masuk kategori bankir tidak lulus selama 20 tahun.
Setelah aturan ini diberlakukan, Mochtar mengikuti uji kelayakan dan kepatutan, terkait dengan kasus yang sedang diteliti Direktorat Pengawasan. Sumber Tempo mengatakan bisa jadi kasus yang ditelisik itu terkait dengan laporan keuangan ganda. Hasilnya, dia dinyatakan lulus bersyarat. ”Artinya, perannya dalam kasus itu tidak besar,” kata Joni Swastanto.
Dengan lulus bersyarat, Mochtar tidak diperbolehkan masuk ke perbankan selama empat tahun. Anehnya, bank sentral tetap memberikan restu ketika dia dikukuhkan menjadi presiden komisaris pada saat pemilik Bank Lippo berpindah tangan ke Swissasia.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman Hadad membenarkan penerbitan izin akuisisi Bank Nationalnobu. ”Yang bersangkutan sudah memenuhi aturan,” katanya. ”Kalaupun dulu ada catatan, sudah kedaluwarsa.”
Didatangi Kamis pekan lalu, kantor pusat Bank Nationalnobu lengang lengau. Tak ada petugas keamanan, tak ada satu nasabah pun. Slip deposito dan tabungan berserakan. Di sudut ruangan seluas hampir dua kali lapangan badminton itu bertebaran kotak kayu dan tumpukan kardus air mineral.
Bank yang dulu bernama Alfindo Sejahtera itu memang gurem. Tiga tahun lalu, dari semua bank nasional, kekuatan modalnya berada pada urutan buncit. Per Juli lalu, total kredit yang disalurkan Rp 1,13 miliar. Rugi bersihnya Rp 12 miliar. Mochtar menargetkan, dari Rp 111 miliar, dalam lima tahun ke depan, bank ini menjadi bank swasta beraset Rp 10 triliun.
Banyak yang percaya Mochtar orang ”sasmita”, pandai membaca arah angin. Banyak pula yang menyindirnya sebagai tukang sulap keuangan. Dengan jam terbang segudang, bukan tak mungkin ikhtiar pria 82 tahun ini membesarkan Nationalnobu menjadi kenyataan. Seperti halnya keabadian yang selalu diimpikannya buat semua unit usaha Lippo—yang dalam bahasa Mandarin berarti rezeki abadi.
Yandhrie Arvian, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo