Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada larangan bagi seorang Wijiasih Cahyasasi memilih jalan hidupnya sebagai pebisnis. Kita barangkali cuma kaget kalau ternyata putri sulung almarhum Letnan Jenderal Sarwo Edhi Wibowo, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat yang dikenal jujur itu—biasa disapa Wiwiek—itu ternyata menjadi andalan keluarga dan berkongsi dengan seorang taipan dalam mengelola hutan Papua sejak 1995.
Masalah muncul manakala kakak ipar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini ternyata mengerahkan segala daya dan upayanya untuk membebaskan Amir Sunarko, Direktur Utama PT Sumalindo, dan wakilnya, David, dari dugaan menjadi penadah kayu hasil pembalakan liar di Samarinda, Kalimantan Timur. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kedua bos Sumalindo itu terancam hukuman sepuluh tahun penjara.
Kepolisian Resor Kutai Kartanegara sudah melakukan proses hukum yang benar—dan tentu saja hal ini harus didukung. Setelah dinyatakan sebagai tersangka, kedua petinggi Sumalindo itu akhirnya ditahan. Kepala Polres Kutai Ajun Komisaris Besar Fadjar Abdillah yakin polisi punya bukti dan saksi yang cukup untuk memenangkan kasus ini jika kelak disidangkan. Bahwa ada kayu meranti dan kayu rimba lain—tanpa dokumen sah—yang disembunyikan di antara ribuan batang kayu bulat yang dipesan Sumalindo, rasanya sulit dipatahkan.
Tindakan hukum polisi ini mestinya dibalas dengan upaya hukum pula—bukan ajimumpung dengan menggunakan kekuasaan. Penasihat hukum kedua tersangka memang berhak meminta penahanan mereka ditangguhkan. Sebatas inilah upaya itu seharusnya dilakukan oleh siapa pun. Selebihnya, serahkan saja kepada polisi dan kemudian jaksa yang menangani perkara gawat ini agar bekerja secara profesional. Permohonan itu bisa saja diterima atau sebaliknya, tentu setelah menimbang pelbagai alasan yang bisa dibenarkan secara hukum pula.
Namun, dengan dalih membela kawan lama, kakak tertua Ibu Negara Kristiani Herrawati atawa Ani Yudhoyono itu ternyata melakukan manuver kelewat jauh. Tindakannya justru susah untuk tak disebut memanfaatkan kekuatan Istana atau besarnya pengaruh keluarga Cikeas. Ia menemui Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri demi menangguhkan penahanan kedua rekan bisnisnya itu. Wiwiek juga mengirim utusan khusus untuk melobi Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Mathius Salempang. Bagus jika ternyata Kepala Polda memilih jalan terus dan tak menggubris lobi kerabat Istana.
Mestinya Wiwiek berhenti sampai di sini, untuk selanjutnya menunggu sikap jaksa atau bertempur di meja hijau. Tapi cawe-cawe yang dia motori masih saja gencar, bahkan menembus sampai Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Di kantor itu, demi merespons intervensi Wiwiek, kasus Sumalindo akhirnya dibahas secara khusus, bahkan forum menyimpulkan bahwa penahanan dua bos Sumalindo itu berdampak buruk terhadap iklim investasi Indonesia. Kebetulan Sumalindo adalah perusahaan terbuka yang sahamnya tercatat di bursa Jakarta.
Gerakan mengepung polisi yang menahan kedua bos Sumalindo merembet sampai Kementerian Kehutanan. Institusi ini juga dimainkan sebagai bumper gerakan membebaskan Sunarko dan David. Aneh rasanya, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, yang mengaku David adalah orang dekatnya, malah siap pasang badan: mengirim surat jaminan kepada Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara agar penahanan mereka bisa ditangguhkan. Tak tanggung-tanggung, jaminan itu diberikan atas nama Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan.
Surat jaminan ini terbukti manjur. Ketika berkas tersangka Amir Sunarko dan David diputuskan lengkap alias P21 oleh Kejaksaan Negeri Kutai Kartanegara, mereka langsung menghirup udara bebas. Susah untuk tak menduga bahwa keputusan kejaksaan itu betul-betul steril dari campur tangan kerabat Istana. Melihat kejadian ini, orang pun yakin bahwa reformasi hukum masih belum tuntas. Ternyata kekuasaan bisa dijadikan senjata pamungkas mengalahkan proses hukum.
Tindakan Wiwiek ini harus dihentikan. Presiden Yudhoyono harus turun tangan dan memerintahkan agar semua elemen negara tak boleh dijadikan gada penghenti jalannya proses hukum, kendati atas pesanan kerabatnya sendiri. Ia harus berani menegur kakak iparnya itu agar jangan meminjam tangan kekuasaan untuk urusan pribadi dan keluarga.
Langkah Wiwiek susah untuk dibilang tanpa pamrih. Buktinya, tak lama setelah gerakan mengepung polisi dan jaksa ini ternyata ampuh, dia didaulat menjadi Presiden Komisaris Sumalindo. Kejadian ini akan menjadi contoh buruk bagi tegaknya hukum di Tanah Air. Hukum ternyata masih bisa runtuh oleh tangan-tangan gelap sang penguasa, juga kerabatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo