Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESAWAT itu teronggok di apron Terminal 1 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang. Seluruh badannya ditutupi cat putih, termasuk logo maskapai dan nomor penerbangan di badan serta ekornya.
Inilah pesawat MD-90 rute Makassar-Jakarta milik Lion Air yang tergelincir di landasan pada Senin dua pekan lalu. Roda pendarat depan dan bagian kiri pesawat buatan McDonnell Douglas itu patah. Si MD, menurut hasil audit Departemen Perhubungan, tak bisa dipakai lagi (total lost).
Dalam sebulan ini, dua MD milik Lion celaka. Takut ada kecelakaan susulan, Departemen Perhubungan melarang Lion menerbangkan dua MD-90 lainnya. Regulator penerbangan nasional ini juga mengaudit semua pesawat tua yang kini terbang di Indonesia—dari MD-82, MD-90, hingga Boeing 737-200. Hasilnya, Departemen Perhubungan meminta operator penerbangan segera meremajakan pesawatnya.
Semua pesawat Boeing 737-200, misalnya, harus pensiun lima tahun lagi. Untuk si MD, regulator menempelkan catatan khusus. Bunyinya: detail perawatan tidak boleh diabaikan. ”Jika tidak diikuti, bisa fatal akibatnya,” kata Direktur Sertifikasi dan Kelaikan Udara Departemen Perhubungan Yurlis Hasibuan.
Si MD, menurut catatan Departemen Perhubungan, dioperasikan Lion Air dan maskapai anak usahanya, Wings Air. Pengguna Boeing 737-200 lebih banyak: Merpati Nusantara Airlines, Sriwijaya Air, dan Batavia Air—sekadar contoh. Nah, Boeing ini bahkan dipakai dua maskapai yang baru saja mengantongi izin operasi, yakni Jatayu Air dan Top Air.
Kecuali oleh Batavia Air, semua pesawat itu didatangkan ke Indonesia secara leasing. Nah, Boeing 737-200 dan si MD adalah pesawat paling murah yang bisa disewa di pasar. Untuk mendatangkan Boeing 737-200, maskapai cuma membayar US$ 1,5 juta atau sekitar Rp 18 miliar kepada lessor sebagai deposit dan membayar sewa bulanan US$ 150 ribu (Rp 1,8 miliar). Ongkos sewa tipe MD lebih murah. Depositnya rata-rata hanya US$ 1,25 juta (Rp 15 miliar) dan biaya sewa bulanannya US$ 75 ribu (Rp 900 juta).
Ini jauh lebih murah dibanding ongkos sewa pesawat yang lebih baru. Boeing 737-300 atau Boeing 737-400, misalnya, butuh deposit US$ 2,5 juta atau setara dengan Rp 30 miliar dan biaya leasing per bulan US$ 250 ribu (Rp 3 miliar). Boeing yang lebih baru—737-700 atau 737-800 NG—perlu deposit US$ 3,5 juta (Rp 40 miliar) dan sewa per bulan US$ 400 ribu (Rp 5 miliar). Untuk Airbus A319 atau A320, struktur biayanya hampir sama dengan 737-800 NG.
Alhasil, karena mahalnya biaya sewa pesawat baru, operator mungkin tak bisa segera melakukan peremajaan pesawat seperti yang diperintahkan Departemen Perhubungan. Tapi, menurut Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, MD-90 sebenarnya belum saatnya diremajakan. ”Karena paling tua usianya 20 tahun,” ujarnya.
Si MD juga memiliki beberapa keunggulan penting sebagai pesawat untuk armada berjadwal. Kapasitas penumpangnya besar dan suku cadangnya tidak sulit. Dibanding Boeing, ujar Edward, tipe ini lebih menguntungkan. ”Tipe ini masih laik,” katanya.
Lain lagi kata pemakai Boeing 737-200. Wakil Presiden Sriwijaya Air Harwick Lahunduitan mengaku masih wait and see untuk mengganti 737-200. ”Saat ini belum memungkinkan mengganti pesawat itu, tapi rencananya Sriwijaya akan mengganti Boeing 737-200 dengan Airbus 320,” ujarnya.
Merpati juga masih menunggu pesawat baru dari Cina. Direktur utama maskapai ini, Bambang Bhakti, mengatakan pesawat bermesin jet bakal mulai digantikan dengan tipe propeller yang lebih cocok untuk rute feeder. Jadi penumpang pesawat masih harus menunggu lama untuk bisa tenang naik pesawat baru.
Anton Aprianto
Pemilik MD dan Boeing 737-200
MD 90Lion Air | 5 Unit | Wings Air | 11 | Boeing 737-200 | Batavia Air | 16 unit (3 beroperasi) | Sriwijaya Air | *14 unit | Kartika Airlines | 2 unit | Trigana Air Service | 1 unit | Express Air | 2 unit | Tri-MG Intra Asia Airlines | 3 unit | Top Air (izin baru) | 2 unit | Jatayu Air (izin baru) | 2 unit | |
*13 unit 737-300, 1 unit 737-200
SUMBER: DEPARTEMEN PERHUBUNGAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo