Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA puluh unit alat berat itu bersicepat di lokasi pembangunan Bandar Udara Samarinda Baru, Kelurahan Sungai Siring, Kalimantan Timur, Jumat siang pekan lalu. Di area bekas rawa itulah subkontraktor yang ditunjuk PT Nuansa Cipta Realtindo sibuk menimbun tanah untuk menyelesaikan pembangunan landasan pacu sepanjang 2.100 meter.
Bandara baru ini dibangun untuk menggantikan Bandara Temindung, yang saat ini terlalu padat dikepung permukiman. Unit bisnis milik Susanto Supardjo—menantu Wakil Presiden Jusuf Kalla—itu dipilih Pemerintah Kota Samarinda menggarap proyek karena mengajukan biaya pembangunan paling rendah, Rp 995 miliar.
Kontrak ditandatangani November 2007. Harapannya, pembangunan kelar dalam 28 bulan. ”Tapi sampai sekarang belum apa-apa,” kata Maskur Sarmian, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Samarinda. Proyek dinilai lelet. Rencana kerja yang disampaikan Nuansa banyak meleset. Sedangkan Nuansa beralasan, melonjaknya harga barang akibat krisis finansial menyebabkan proyek terhambat.
Belakangan terungkap dana Rp 995 miliar itu hanya untuk sembilan item pekerjaan atau 40 persen pembangunan. Berdasarkan desain teknik per Februari lalu, proyek ini butuh suntikan Rp 1,4 triliun. Kekurangan biaya ini belum disepakati Dewan. ”Kami masih hitung-hitung dulu,” ujar Maskur.
Dwiyanto Purnomosidhi, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Samarinda, mengakui pemilihan Nuansa kontroversial. Pagu dana dari awal tidak ditetapkan pemerintah kota, tapi dipilih karena Nuansa mengajukan penawaran terendah. Sedangkan perencanaan tidak matang.
Sekretaris Daerah Kota Samarinda Fadly Illa mengaku tak tahu detail terpilihnya Nuansa. Setahu dia, proses telah dijalankan sesuai dengan aturan. Namun Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak pernah berucap Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur akan mengambil alih proyek bila Pemerintah Kota Samarinda tak mampu melaksanakannya.
Meski terseok-seok di proyek bandara, berkah Nuansa Group di bumi Kalimantan tak pernah surut. Pada Juli 2007, Nuansa Group—melalui Nuansa Energi Persada—meneken proyek pengembangan batu bara cair senilai US$ 3,5 miliar dengan Kenertec Co., perusahaan energi Korea Selatan. Proyek ini cukup untuk memasok lima persen kebutuhan bahan bakar Negeri Ginseng itu hingga satu dekade ke depan.
Nuansa memegang kuasa pertambangan di Nunukan, Kalimantan Timur. Cadangannya paling sedikit 200 juta ton batu bara. Nilai kalorinya, kata juru bicara Kenertec, Ahn Soo-hwan, 6.300 kilokalori per kilogram. Agar pasokan aman, Kenertec membeli 40 persen saham Nuansa Energi senilai US$ 2 juta. Perusahaan itu berharap bisa memproduksi tiga juta ton batu bara per tahun pada awal 2010. Batu bara itu akan dijajakan ke pembangkit dalam dan luar negeri.
Dua perusahaan ini—ditambah Posco E&C dan PT Kereta Api Indonesia—juga terlibat dalam pembangunan rel kereta api Balikpapan-Kalipapak-Muara Tuhup sepanjang 350 kilometer. Tahap awal dibangun 120 kilometer dari Kalipapak ke Muara Tuhup.
Menurut Director Representative Kenertec Hong Guanyil, proyek itu menelan dana US$ 2 miliar. Semula pembangunannya akan digeber tahun ini. Tapi, kata Julison Arifin, Direktur Pengembangan Usaha PT Kereta Api, Kenertec dan Posco menjadwal ulang proyek yang diteken dua tahun lalu itu karena imbas krisis finansial global. Desain teknik, kata Julison, baru akan disiapkan tahun depan.
Saat Jusuf Kalla berkunjung ke Negeri Ginseng tahun lalu, giliran PT Suma Sarana yang kelimpahan proyek. Suma, bersama Perusahaan Gas Negara dan perusahaan Korea, SK E&S, menandatangani nota kesepahaman mengembangkan transmisi dan distribusi gas bumi. Kerja sama itu diteken Presiden Direktur Suma Sarana Ismady Supardjo, kakak Susanto. Dua bulan kemudian, Nuansa Cipta meneken kerja sama dengan Korea Electric Power Corp. membangun dan mengoperasikan tiga terminal batu bara senilai US$ 150 juta.
Suma Energi, bersama PT Dahana, PT Pupuk Kaltim Tbk., dan PT Parna Raya, juga tengah membangun pabrik amonium nitrat senilai US$ 400 juta di Bontang, Kalimantan Timur. Kapasitas produksinya 300 juta ton per tahun.
Panen proyek itu seolah menghapus kegagalan Suma Sarana ketika tiga tahun lalu gagal bermitra dengan Kabupaten Blora mengembangkan Blok Cepu. Suma, kata Bupati Blora Yudhi Sancoyo, kalah karena cuma mengajukan skema pembiayaan 25 persen dari penyertaan modal yang dibutuhkan.
Sayang, Bustaman enggan berkomentar soal berbagai kiprah perusahaannya. Ia cuma bilang yang dilakukan Nuansa itu untuk membantu membangun kepentingan ekonomi daerah, yang dirintis hampir dua dekade lalu. ”Kami merangkak pelan-pelan dari nol,” katanya.
Menurut Kalla, yang dilakukan Nuansa juga untuk menaik investasi asing. ”Sampai sekarang belum ada realisasinya, dan harus sesuai aturan.”
Yandhrie Arvian, Firman Hidayat (Samarinda), Sudjatmiko (Blora)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo