Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH dari ingar-bingar Jakarta, pertemuan di kantor bupati Pemerintah Kabupaten Natuna itu terasa istimewa. Siang itu, ruang pertemuan sesak dihadiri oleh pemuka agama, masyarakat, jajaran Musyawarah Pimpinan Daerah, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Natuna. Mereka, sebagian sampai berdiri di luar ruangan, tumplek mendengarkan rencana perusahaan daerah ikut mengembangkan blok gas Natuna D-Alpha. Mereka sekaligus ingin melihat Nuansa Group, investor yang dipinang menjadi mitra.
Pembesar Nuansa Group hadir di sana. Antara lain Susanto Supardjo (menantu Wakil Presiden Jusuf Kalla), Ismady Supardjo, Pieter Wattimena, dan Bustaman Laguna. Pieter, bekas pejabat di Departemen Pertahanan, bergiliran dengan Direktur Utama Badan Usaha Milik Daerah Natuna Urai Efet menyampaikan presentasi. Pertemuan itu berlangsung persis satu pekan setelah rencana pengembangan (plan of development) Natuna D-Alpha yang disodorkan ExxonMobil ditolak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi pada pertengahan Januari lalu.
Menjelang magrib, pertemuan ditutup dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Natuna dan Nuansa Group. Mereka sepakat membentuk PT Natuna Global Energy. Di perusahaan ini, perusahaan daerah mengantongi 51 persen saham, sisanya milik PT Nuansacipta Coal Investment, anak usaha Nuansa. Lewat kendaraan ini, Pemerintah Kabupaten Natuna ingin berpartisipasi mengembangkan ladang gas terbesar di Asia Tenggara itu, dengan penyertaan modal (participating interest) 10 persen.
Mereka juga berkongsi membentuk PT Natuna Energy Investment—perusahaan jasa teknik, pengadaan barang, dan konstruksi. PT Suma Sarana, salah satu anak usaha Nuansa, mendekap 85 persen saham di perusahaan itu. Sisanya dimiliki perusahaan daerah. Nota kesepahaman tadi diteken Bupati Natuna Daeng Rusnadi, Urai Efet, Ismady Supardjo, dan Pieter Wattimena. Menginap semalam di Hotel Kaisar, Natuna, bos Nuansa besoknya langsung balik ke Jakarta.
Menurut Daeng Rusnadi, badan usaha itu segera dibentuk karena Pemerintah Kabupaten Natuna berpeluang ambil bagian dalam proyek tersebut. Kesempatan itu terbuka karena dalam Peraturan Pemerintah 35/2004 tentang Pengelolaan Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Pasal 34 dinyatakan, kontraktor wajib menawarkan 10 persen penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah setelah rencana pengembangan lapangan disetujui pemerintah. Minat dan kesanggupan daerah harus disampaikan paling lambat 60 hari.
Itu sebabnya, Urai buru-buru mencari mitra. ”Bila tidak, kami tak mampu berlari kencang menghimpun dana,” katanya. Apalagi waktu yang tersedia cuma dua purnama. Sedangkan kantong perusahaan daerah pas-pasan. Padahal, proyek ini ditaksir menelan dana US$ 35 miliar. Untuk mencari sepersepuluh biaya proyek, bukan perkara mudah. Sementara mengambil dana dari anggaran pembangunan dan belanja daerah jelas tidak diizinkan. Apalagi bujet anggaran Natuna tahun ini cuma Rp 996 miliar.
Satu pekan kemudian, di depan notaris Sutjipto, akta perusahaan ditandatangani Bustaman dan Urai di Menara Sudirman, Jakarta. Menurut Urai, posisi direktur utama diisi Zahrul Hadi Prabowo. Wakil direktur utama ditempati Bustaman. Adapun Urai Efet dan Pieter Wattimena duduk sebagai komisaris.
Gerak cepat Nuansa menyalip investor lain. Selain Nuansa, Ketua Partai Amanat Nasional Soetrisno Bachir dan Hyundai Corporation, Korea Selatan, sempat tertarik membenam duit di sana. Tapi hingga detik ini hanya Nuansa yang memberi komitmen. Nuansa akan bertanggung jawab mengatur seluruh sumber pendanaan. Namun, Bustaman belum mau menjelaskan dari mana sumber pembiayaan berasal.
Langkah Susanto ini mirip dengan ikhtiarnya tiga tahun lalu saat Suma Sarana berusaha menjadi mitra Pemerintah Kabupaten Blora dalam pengembangan Blok Cepu. Bedanya, ketika itu dia gagal.
SEMUA ini bermula dari sepotong iklan di dua harian nasional pada awal November lalu. Lewat advertensi itu, Urai mengundang investor menjadi mitra Pemerintah Kabupaten Natuna ikut mengelola gas di Natuna. Modal yang dibutuhkan Rp 10-20 triliun.
Iklan itu sukses menjaring peminat. Urai banyak ditelepon orang. Tapi yang mengajak bertemu hanya tiga perusahaan. Ia, misalnya, diundang bertemu perwakilan Hyundai Corporation di Menara BRI II di bilangan Semanggi, Jakarta. Tapi Hyundai tidak langsung memberi sinyal. Perusahaan itu masih menunggu kepastian dari kantor pusat di Korea Selatan.
Menurut seorang perwakilan Hyundai di Jakarta, ini terjadi karena status ExxonMobil di Natuna ketika itu simpang siur. Sementara itu, proses seleksi perusahaan asing yang akan dipilih menjadi mitra Pertamina belum rampung. Padahal, kata dia, Hyundai tertarik berinvestasi di industri minyak dan gas Indonesia.
Di pekan yang sama, Soetrisno Bachir mengundangnya makan malam di salah satu restoran Jepang di Jalan Mahakam, Jakarta Selatan. Di situ Soetrisno memperkenalkan Urai dengan salah satu direksi Tristar Global Holdings. Soetrisno punya saham di perusahaan itu. Ia belum memberi keputusan dan minta diingatkan bila tawaran penyertaan modal resmi diberikan oleh Pertamina.
Soetrisno membenarkan pertemuan itu. Dia bahkan mengaku sudah bertemu Bupati Natuna tahun lalu, dan meninjau lokasi karena tertarik investasi di sana. ”Tapi saya hanya membuka jalan,” ujarnya. Setelah itu, tim pengembangan bisnis perusahaannya yang menindaklanjuti. Hasilnya seperti apa, ia tidak mengikuti.
Setelah bertemu Soetrisno, Urai bertemu Bustaman di gedung Mega Plaza, Kuningan, Jakarta—tempat Nuansa berkantor. ”Saat itu saya belum tahu kalau Nuansa punya menantu Pak Jusuf Kalla,” katanya. Dia baru tahu perusahaan itu milik Susanto Supardjo satu bulan kemudian, saat Nuansa memastikan niatnya menjalin kongsi di blok yang memiliki cadangan gas 222 triliun kaki kubik itu.
Ditemani Ismady dan Bustaman, Susanto lalu bertemu dengan Urai di Hotel Panaroma, Batam, pada pertengahan Desember 2008. Kuasa hukum dan beberapa pejabat Pemerintah Kabupaten Natuna hadir di situ. Seharian mereka menyiapkan rancangan nota kesepahaman dan nama perusahaan yang akan dibentuk. Rancangan nota itulah yang kemudian ditandatangani di kantor bupati Natuna pada pertengahan Januari lalu.
Entah kebetulan atau tidak, masuknya Susanto ke blok gas itu tak berselang lama setelah sang mertua beberapa kali menerima kunjungan petinggi Royal Dutch Shell Belanda dan Statoilhydro Norwegia sepanjang tahun lalu. Yang dibicarakan tak jauh soal peluang perusahaan asing itu berpartisipasi di Natuna.
Dua pekan setelah akta PT Natuna Global Energy diteken, Kalla bahkan membuka tangan lebar-lebar buat Shell. Perusahaan Belanda itu, kata dia, berpeluang menjadi salah satu pengembang ladang gas Natuna asalkan bersedia mengucurkan investasi dari hulu hingga hilir. Syarat itu disampaikan Kalla kepada Van der Veer, Chief Executive Officer Shell, saat pesta koktail di Den Haag.
Tapi Kalla menolak dikaitkan dengan masuknya Susanto ke Natuna. Kepada Tempo, ia menyatakan pemerintah mendorong setiap pengusaha untuk berkembang tanpa diskriminasi. ”Semua proyek harus melalui proses tender terbuka,” ujarnya.
Sinyalemen keterlibatan Kalla di Natuna juga ditolak Bustaman. Dia memastikan, masuknya Nuansa ke Natuna tidak ada sangkut paut dengan langkah Jusuf Kalla. ”Ini murni bisnis,” katanya. Siapa pun boleh bermitra karena kesempatan investasi itu diiklankan di media massa. Kebetulan saja, kata dia, Nuansa satu-satunya perusahaan yang paling serius.
Menurut Bustaman, perusahaan patungan itu tidak semata-mata untuk pengembangan Blok D-Alpha. Tapi bisa menjadi ”kendaraan” bila pemerintah daerah ingin terlibat di proyek lain, seperti pembangunan infrastruktur. Perusahaan patungan itu membuka diri bila ada perusahaan lain yang berminat gabung. Nuansa, kata dia, tidak mungkin mencari dana sendirian. ”Makin banyak pegangan tangan, makin solid,” ujar pria yang bertanggung jawab atas pengembangan bisnis Nuansa itu.
Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, sesuai ketentuan, pemerintah daerah atau nasional memang berpeluang terlibat dalam proyek minyak dan gas. Tawaran itu diberikan setelah rencana pengembangan disetujui BP Migas. Nyatanya, Pertamina masih belum melewati tahap itu.
Proses seleksi perusahaan asing yang akan menjadi mitra Pertamina saja belum rampung. Ini terjadi karena syarat dan kondisi yang akan ditawarkan ke masing-masing kontestan belum selesai. Perusahaan pelat merah ini—bersama pemerintah—masih berkutat mengkaji syarat dan kondisi yang akan ditawarkan. ”Selagi tahap ini belum kelar, proses seleksi belum bisa dilanjutkan,” katanya. Tambahan waktu ini mestinya bisa dimanfaatkan Nuansa mencari sumber fulus, kalau perusahaan itu benar-benar serius.
Yandhrie Arvian, Rumbadi Dalle (Natuna)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo