Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDEBATAN yang berlangsung sejak Maret itu berakhir Jumat pekan lalu. Upaya Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan membuka sektor menara telekomunikasi untuk investasi asing gagal. Pemerintah memihak pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika agar sektor itu dimasukkan daftar negatif investasi.
Argumentasi Gita bahwa pemodal dan perbankan domestik tak mampu memenuhi target investasi di sektor itu pupus. Sektor telekomunikasi, terutama telepon seluler, memang tumbuh bak roket. Dua tahun terakhir, investasi industri ini menduduki peringkat paling tinggi. Semester pertama 2009, sekitar US$ 3,7 miliar (Rp 34 triliun) dikucurkan di sektor ini, US$ 1,2 miliar di antaranya berasal dari luar negeri.
Pertumbuhan itu otomatis diiringi kebutuhan menara untuk memperluas daerah cakupan sekaligus meningkatkan pelayanan pelanggan. Dalam hitungan Gita, jumlah menara yang saat ini hanya 60 ribuan tak cukup menutup daerah kosong (blank spot). Paling tidak, butuh 150-200 ribu menara lagi. Untuk itu, kebutuhan modalnya bisa mencapai US$ 20 miliar atau Rp 184 triliun. ”Perbankan dalam negeri paling banter bisa memberi Rp 2-3 triliun,” katanya.
Ia berharap, jika sektor ini dibuka untuk asing, kekurangan yang amat mencolok itu bisa ditutup. Gita menuturkan pengalamannya semasa menjadi komisaris PT Excelcomindo Pratama, perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Menurut dia, sejak investasi asing dilarang masuk pada 2008, pertumbuhan menara seret. ”Kredit perbankan sulit mengucur ke sana,” ujar Mantan Presiden JP Morgan Indonesia ini.
Ia berpendapat, sebaiknya sektor menara dibuka untuk modal asing, paling tidak sampai empat tahun mendatang. Kepemilikan asing juga bisa dibatasi sampai 49 persen. Mau tak mau, investor asing akan menggandeng pengusaha lokal. Setelah empat tahun, ujarnya, mereka bisa diarahkan menjadi perusahaan terbuka. ”Pengusaha lokal juga bakal diuntungkan dengan skema ini?” katanya.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring melihat dari sudut pandang berbeda. Investasi asing, menurut dia, sudah mendominasi industri telekomunikasi. Dari belanja modal industri ini sebesar Rp 70-80 triliun, 92 persen adalah asing. Sektor menara hanya 2 persen dari industri telekomunikasi. ”Pengusaha dalam negeri bisa membuatnya agar tak hanya jadi penonton,” kata Tifatul.
Tifatul menuturkan, ini juga berdasarkan masukan pengusaha nasional dalam pertemuan National Summit akhir Oktober 2009. Total bisnis teknologi komunikasi dan informasi di Indonesia, tuturnya, mencapai Rp 300 triliun per tahun. ”Kami berharap pengusaha nasional bisa mengambil keuntungan. Tidak melulu asing,” ujarnya.
Pembahasan masuk atau tidaknya sektor menara dalam DNI bukan hal baru sebenarnya. Semasa Mohammad Nuh menjabat Menteri Komunikasi, ia mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2008 tentang pedoman pembangunan dan penggunaan menara bersama telekomunikasi. Pasal 5 dalam peraturan itu berbunyi, ”Pembangunan menara merupakan bidang usaha tertutup untuk penanaman modal asing.” Selain itu, penyedia menara, pengelola atau kontraktor menara adalah badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki pelaku usaha dalam negeri.
Setahun setelah itu, Maret 2009, M. Nuh bersama Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Kepala BKPM Muhammad Lutfi menandatangani peraturan bersama mengenai pedoman pembangunan dan penggunaan bersama menara telekomunikasi.
Pada saat penyusunan rancangan revisi Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang usaha di bidang penanaman modal, sektor menara diusulkan masuk daftar negatif investasi. Semasa Lutfi, hal ini sudah disetujui. Namun rancangan ini belum diteken Presiden sampai Lutfi diganti Gita.
Basuki Yusuf Iskandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika, yang ikut andil menggodok revisi itu, mengatakan bahwa sebelum ada SKB menara bersama, yang mengerjakan menara juga pengusaha nasional. ”Secara teknologi mereka sanggup,” kata Basuki, yang ketika itu menjadi Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Dari sisi dana, menurut Basuki, pembangunan satu menara membutuhkan biaya Rp 1-1,5 miliar. Tak sulit untuk pengusaha nasional. ”Kalau pengusaha dalam negeri bisa membuat semuanya, untuk apa melibatkan asing?” tuturnya. Ia menambahkan, usulan memasukkan sektor menara dalam daftar negatif investasi telah melibatkan banyak pihak, termasuk Asosiasi Telepon Seluler Indonesia. BKPM tahun lalu akhirnya setuju memasukkannya ke daftar negatif.
Alasan Kementerian Komunikasi ngotot memasukkan sektor ini ke daftar negatif investasi adalah investor asing masih mempermasalahkan hal ini meskipun sudah ada peraturan menteri dan SKB mengenai menara bersama. ”Yang jadi pegangan investor adalah daftar negatif investasi, karena aturan ini diteken presiden. Makanya Kementerian Komunikasi ingin ini masuk DNI,” kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Gatot Dewa Broto.
Dengan konsep menara bersama, menurut Gatot, sebenarnya tak perlu penambahan menara dalam jumlah besar. Toh, satu menara bisa diisi empat penyewa operator. Dalam kurun 2-3 tahun mendatang, menara telekomunikasi yang berdiri akan berupa menara bersama. Dengan konsep menara bersama, jumlah penambahan menara yang dibutuhkan hanya 10 ribu unit dalam lima tahun mendatang.
Gatot melanjutkan, dalam aturan daftar negatif investasi menara, operator seluler tak perlu cemas dengan kepemilikan menaranya. Dalam Peraturan Menteri Kominfo Tahun 2008 mengenai menara bersama tersebut, kata dia, disebutkan dua macam kepemilikan menara. Pertama, menara yang didirikan operator seluler. Kedua, menara yang didirikan perusahaan menara bersama.
Pemerintah, Gatot menjelaskan, memahami kepemilikan modal operator seluler yang ada unsur penanaman modal asing. Maka menara yang telah didirikan operator seluler tak diganggu gugat dengan urusan daftar negatif investasi ini. Yang diatur kepemilikan modalnya adalah menara yang didirikan perusahaan menara bersama.
Gita Wirjawan tak setuju jika dianggap pembahasan mengenai daftar negatif investasi telah selesai. Menurut dia, pembahasan mengenai revisi daftar negatif belum mencapai tahap finalisasi, sehingga pembahasan masih berlanjut, termasuk daftar negatif investasi untuk sektor menara telekomunikasi. ”Sebenarnya revisi daftar negatif investasi belum final (ketika saya mulai menjabat Kepala BKPM), masih ada banyak pembahasan,” katanya.
Gita menjelaskan, BKPM dan sejumlah kementerian mengadakan beberapa pertemuan untuk membahas poin revisi rancangan mengenai daftar tersebut. Masalah menara, Gita juga meminta masukan dari pengusaha, antara lain Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi, dan operator seluler. Ia berharap revisi daftar negatif investasi bisa selesai bulan depan.
Namun, Jumat malam pekan lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring menelepon. ”Hasil kesepakatan bersama, sektor menara masuk lampiran rancangan revisi daftar negatif investasi,” kata Tifatul. Lalu ia menceritakan hasil rapat koordinasi bersama BKPM di kantor Menteri Perekonomian Hatta Rajasa. Kepemilikan asing di menara telekomunikasi diputuskan nol persen.
Menurut Tifatul, aturan ini tak cuma berlaku pada menara yang akan didirikan, tapi juga menara milik para operator seluler yang dilelang. Ia juga meminta menara itu dijual ke pengusaha nasional. Saat ini beberapa operator besar akan melelang ribuan menara mereka. ”Banyak investor asing berminat, tapi kita ingin ini untuk pengusaha nasional,” ucapnya.
Pelelangan menara jumlah besar ini tentu menyulitkan pengusaha nasional ambil bagian. Dari segi pendanaan, jika jumlahnya besar, mereka akan kesulitan. ”Kami harap, lelang dilakukan dalam jumlah kecil yang dipecah-pecah, sehingga pengusaha lokal dan UKM bisa ikut membeli,” katanya.
Peter Simanjuntak, Presiden Direktur PT Komet Konsorsium, salah satu perusahaan menara bersama, menyambut positif masuknya menara ke daftar negatif. ”Perusahaan kami sanggup membuat 500 sampai 1.000 menara baru,” katanya. Dari segi pendanaan, kata Peter, perbankan mestinya bisa menyediakan dana jika perusahaan dan operator sehat dan kredibel. Apalagi bisnis menara cukup prospektif.
Ia menjelaskan, investasi satu menara rata-rata Rp 1 miliar, dengan modal awal perusahaan Rp 100 juta. Perhitungannya, dengan pasar dan harga sewa yang bagus, dalam jangka waktu enam sampai tujuh tahun, perusahaan bisa balik modal. Saat ini rata-rata harga sewa menara Rp 13-14 juta per bulan. Satu menara menampung sampai 2.000 nomor telepon. Jika jumlah penduduk Indonesia 250 juta orang, kebutuhan menara masih banyak. ”Perbankan tak perlu khawatir,” ujarnya.
Nieke Indrietta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo