Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADA pemandangan lain di bundaran air mancur persimpangan Jalan Sudirman dan Jalan Ahmad Yani, Bogor, Jawa Barat. Sejak awal Januari lalu, tidak lagi ditemui papan reklame besar berisi iklan A Mild, besutan Sampoerna. Reklame besar Djarum di depan terminal bus Baranangsiang yang kontraknya berakhir bulan depan juga tidak diperpanjang.
Ini buntut dari pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2009 tentang Kawasan tanpa Rokok, dan diperkuat Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2010 yang diteken awal bulan ini. Kawasan tanpa rokok adalah tempat dilarang merokok, mengiklankan, memproduksi, menjual, dan mempromosikan rokok. Tujuh kawasan itu: tempat beribadah, tempat kerja, tempat bermain anak, kendaraan umum, lingkungan pendidikan, sarana kesehatan, dan tempat olahraga.
Sanksi bagi yang melanggar meliputi denda administrasi maksimal Rp 15 juta, hukuman kurungan paling lama tiga minggu, dan perampasan alat promosi. Wali Kota Bogor Diani Budiarto menegaskan, "Ada hal-hal yang mudarat dari rokok." Iklan rokok yang sudah habis masa kontraknya tidak diperpanjang sampai 2011.
Tapi bukan berarti perusahaan rokok lantas stop beriklan. Di sekitar kawasan air mancur itu pula, tepatnya di sebuah kafe di Jalan Dadali, puluhan payung fiberglass warna merah-putih mengusung iklan A Mild berjejer. Sepanjang Jalan Empang-Cikaret hingga perbatasan Kota Batu juga makin diramaikan iklan rokok. Kotak neon dan papan reklame berbagai merek rokok silih berganti mejeng di warung, kios, dan toko. Spanduk rokok dan pamflet berjejalan menempel di dinding tembok.
Selain merangsek ke jalan kecil di Kota Bogor, produsen rokok menyiapkan alternatif promosi lainnya. Produsen rokok Gudang Garam, misalnya. Sponsor Piala Dunia 2010 di Indonesia ini sudah berancang-ancang menggelar acara nonton bareng dan kegiatan otomotif. Tapi, tempat dan waktunya masih dirahasiakan.
Pemandangan serupa juga terlihat di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Iklan A Mild yang dulu terpampang di Jalan Sudirman kini berganti dengan papan reklame imbauan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Padang Panjang tentang kawasan tanpa rokok. Begitu juga Jalan Soekarno-Hatta yang iklan rokoknya bersalin dengan penyedia telekomunikasi, Esia. Papan reklame rokok di jalan utama, kedai, hingga warung tidak lagi berbau rokok.
Ini dampak dari Peraturan Wali Kota Nomor 10 Tahun 2009 tentang Larangan Merokok dan Larangan Iklan Rokok yang berlaku sejak tahun lalu. Sebelumnya, pemerintah Padang Panjang juga merilis Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Kawasan tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tertib Rokok.
Dua beleid itu kian mempersempit ruang iklan rokok. Tidak boleh lagi ada sponsor rokok untuk acara musik, olahraga, hingga bantuan ke usaha kecil dan menengah. Wali Kota Padang Panjang Syuir Syam mengaku sudah ada beberapa perusahaan rokok yang mendekatinya untuk mensponsori berbagai kegiatan, tapi mereka akhirnya mundur teratur. "Saya katakan boleh saja asal tidak ada gambar atau bentuk iklan rokoknya. Tapi mana mereka mau," katanya Kamis pekan lalu.
Pemerintah daerah berdalih punya tujuan mulia dalam mengekang iklan rokok, yakni agar Padang Panjang menjadi kota sehat, seperti yang tengah giat dipromosikan sebagai sentra pertanian organik. Namun, akibatnya, pendapatan asal daerah dari iklan rokok bisa berkurang hingga Rp 100 juta. Tapi belakangan pundi itu diisi dari operator telekomunikasi. Sedangkan Pemerintah Kota Bogor siap kehilangan pendapatan dari pajak reklame rokok Rp 4 miliar per tahun.
Ini baru dua contoh kota yang memperketat iklan rokok. Masih ada Palembang, Surabaya, dan Pontianak. Bahkan DPRD Palembang tengah menggodok Rancangan Peraturan Daerah Kawasan tanpa Rokok mengatur sanksi bagi perokok atau pengelola tempat umum, yakni tiga bulan kurungan atau denda Rp 50 juta.
Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Ismanu Soemiran tak habis pikir dengan meluasnya aturan yang sifatnya sporadis itu. Bentuk iklan rokok sudah dibatasi dengan tidak boleh lagi membuat orang terangsang atau tertarik mengkonsumsinya. "Kalau besok-besok kita menyiasati dengan warna, apa juga tidak boleh," katanya.
Ismanu malah menilai, pengetatan aturan iklan tidak akan menekan industri rokok, melainkan perusahaan periklanan. Sebab, jika terus diperketat, menurut dia, industri rokok makin inovatif berpromosi. "Kami akan sefleksibel mungkin," tuturnya.
Fatwa haram rokok yang dilontarkan Majelis Ulama Indonesia hingga Muhammadiyah baru-baru ini pun ditanggapinya santai. Dampaknya terhadap penjualan rokok, menurut dia, tidak akan signifikan. "Fatwa kan hubungannya individu sekali antara umat dan Tuhan. Kalau melanggar, tidak ada sanksi nyata," katanya.
Industri ini lebih tertekan bila tarif cukai dinaikkan. Seperti yang terjadi pada 1998, ketika cukai naik tiga kali menjadi 150 persen. Hasilnya pun kontraproduktif karena memicu pertumbuhan rokok ilegal hingga tiga ribuan banyaknya dari sebelumnya hanya 600 industri rokok terdaftar. "Negara juga yang dirugikan."
Ismanu meminta industri rokok tidak melulu digojlok. Industri rokok kretek di Indonesia, menurut dia, sangat unik, dan satu-satunya di dunia. Berangkat dari skala rumah tangga dan menyerap banyak tenaga kerja, menurut dia, industri rokok tumbuh subur karena tingginya permintaan pasar yang tidak bisa didikte.
Berbeda dengan pernyataan Ismanu, Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia Adhy Trisnanto menilai belanja iklan industri rokok tidak lantas menyusut akibat aturan daerah tersebut. Alhasil, perusahaan periklanan pun tidak merugi.
Kontribusi iklan rokok terhadap total belanja iklan nasional juga tidak signifikan. Apalagi setelah bisnis teknologi informasi maju berkembang, menurut dia, belanja iklan rokok tidak semoncer seperti zaman dulu. Nielsen Media Research mencatat, belanja iklan Rp 48,5 triliun sepanjang tahun lalu didominasi layanan telekomunikasi, partai politik, korporasi, toiletries, dan minuman.
Asosiasi Periklanan, kata dia, sebetulnya sangat setuju kalau iklan rokok diatur. Tapi larangan total iklan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau dinilainya tidak masuk akal. "Rokok itu komoditas legal, tapi kenapa dihambat pemasarannya," katanya.
Lebih jauh Adhy menilai, meski dihantam berbagai aturan, perusahaan rokok bakal tetap bertahan. "Makin dihambat, ya makin kreatif. Itu sudah hukum alam," ucapnya. Cara paling lazim saat ini adalah brand activation, dengan mensponsori acara kontak langsung dengan konsumen. "Dipadu dengan iklan di media massa, promosi menjadi sangat efektif," tuturnya.
Lihat saja, Sampoerna dan Gudang Garam masih menikmati kepulan asap rokok yang dijualnya. Padahal aturan daerah memperketat penjualan dan iklan rokok terbit sejak 2005. Berdasarkan catatan Bursa Efek Indonesia, nilai penjualan yang dibukukan Sampoerna dan Gudang Garam hingga kuartal ketiga tahun lalu masing-masing Rp 28,4 triliun dan Rp 23,5 triliun.
Direktur PT HM Sampoerna Tbk., Yos Ginting, menilai tidak ada masalah jika pemerintah daerah membatasi iklan rokok. Yang pasti, Sampoerna, kata dia, berpromosi tanpa melanggar aturan. "Kami selalu menaati aturan waktu beriklan di televisi, sponsor di acara olahraga ataupun acara musik," tuturnya.
Tahun lalu, perusahaan menjual 73,3 miliar batang rokok dan menyumbang lebih dari Rp 15 triliun dari total Rp 54 triliun penerimaan cukai negara. Ia juga enggan berandai-andai bagaimana dampak terhadap industri rokok jika rancangan peraturan pemerintah itu disahkan. "Kami mendorong regulasi menyeluruh, adil, dan berimbang, yang disusun transparan serta diterima semua pihak."
Pemerintah agaknya juga masih mendukung industri rokok. Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian Warsono meminta tiap pemangku kebijakan tetap berpegang pada Roadmap Industri Hasil Tembakau dan Kebijakan Cukai 2007-2020. Dengan urutan prioritas pada penerimaan, kesehatan dan tenaga kerja pada tahun ini hingga 2015, menurut dia, industri rokok seyogianya tidak terus-menerus ditekan. "Kami minta bertahaplah."
Di lain pihak, menurut Warsono, industri rokok senantiasa mematuhi roadmap yang dirumuskan bersama para pemangku kepentingan terkait. Salah satunya tentang batasan produksi rokok hingga 2020 maksimal hanya 260 miliar batang. Tahun lalu produksi rokok mencapai 245 miliar batang dan tahun ini produksi maksimal dipatok 240 miliar batang.
Walhasil, Kementerian Perindustrian tak mematok pertumbuhan industri ini terlampau tinggi. "Paling banter 2 persen itu sudah bagus," tuturnya. Apalagi produk ini sangat sulit "dilempar" ke luar negeri. Pertumbuhan ekspor rokok per tahun lebih dari 15 persen, terutama ke negara ASEAN, sebetulnya potensial. "Tapi tiap negara kini membatasi konsumsi rokok."
R.R. Ariyani, Deffan Purnama (Bogor), Febrianti (Padang)
Penjualan Perusahaan Rokok
(Rp triliun)
Tahun | HM Sampoerna | Gudang Garam |
2005 | 24,67 | 24,85 |
2006 | 29,55 | 26,34 |
2007 | 29,79 | 28,2 |
2008 | 34,68 | 30,3 |
2009 | 28,37 | 23,5 |
Proyeksi Produksi Maksimal Rokok
(Miliar Batang)
Tahun | Rokok kretek | Rokok putih |
2000 | 206 | 25,8 |
2005 | 205,5 | 15,7 |
2010 | 221 | 19,2 |
2015 | 236 | 23,4 |
2020 | 234 | 26 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo