Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LARUT malam luruh di sepanjang sungai pembelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, Jakarta. Sekumpulan anak umur belasan tahun memberontak malam: tak hendak tidur. Di tepi kanal yang dulu bernama Molenvliet itu mereka merdeka. Melihat sekujur kawasan yang ngetop sebagai zona lampu merah, dengan rokok di tangan. "Di sini enak buat nongkrong dan merokok," kata siswa kelas 5 sekolah dasar, sebut saja Andy, Jumat pekan lalu. Puluhan puntung rokok berserak di ujung kaki mereka.
Andy dan teman-temannya merasa nyaman tiap malam mengendus tembakau di tepi kanal galian kapten Cina Phoa Bing Am empat setengah abad silam itu. Jari orang lalu-lalang dekat mereka, menjepit batang rokok aneka merek. Mulut para wanita yang berderet dengan dandanan menor bak cerobong asap. Para lelaki yang mengobrol juga sarat gumpalan asap. "Nanti kalau mau pulang minum teh tawar panas, biar enggak bau rokok," kata Andy.
Perilaku Andy adalah secuil fragmen: rokok akrab sejak usia dini. Fenomena itu dinilai sebagai ancaman generasi muda. Lembaga dan kelompok masyarakat pun beramai-ramai memerangi rokok. Kampanye antirokok membesar. Komisi Nasional Perlindungan Anak masif ke jalan. "Kami cemas, sejak 2005 jumlah perokok anak tinggi sekali," kata Lisda Sundari, Office Manager Komisi yang juga pelaksana monitoring perokok anak.
Legitimasi moral bahaya rokok makin kuat ketika Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram rokok dua pekan lalu. Reaksi bermunculan, dari yang mendukung hingga yang mencibir. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Kesehatan Sudibyo Markus menggambarkan sejak 1999 Kairo, Mesir, mengharamkan rokok. Brunei Darussalam sejak 2006. Kota suci Mekah dan Madinah juga melarang. "Muhammadiyah sudah mendiskusikan sejak 20 tahun silam."
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan fatwa haram belum final. Kesimpulan Majelis akan dibahas dalam pleno Majelis Tarjih dan Tajdid se-Indonesia pada April mendatang di Malang, Jawa Timur. "Ini murni untuk kemaslahatan manusia, tak terkait dengan pesanan siapa pun," kata Din. Dia ingin meluruskan karena Muhammadiyah dituding mendapat kucuran dana besar dari program hibah Bloomberg Initiative.
Memang, dalam situs www.tobaccocontrolgrants.org, sebelas institusi di Indonesia: lembaga swadaya masyarakat, universitas, organisasi masyarakat disebut mendapat kucuran dana besar sejak 2006. Program ini dibuat untuk mendukung berbagai aktivitas yang berkaitan dengan pemantauan bahaya tembakau di 40 negara. Situs itu menyatakan krisis kesehatan gara-gara tembakau membunuh lebih dari 14 ribu orang tiap hari. Pada 2030, diperkirakan 8 juta nyawa melayang akibat tembakau. Program ini digulirkan Michael R. Bloomberg, dermawan di Kota New York.
Dalam situs itu, Muhammadiyah disebut mendapat dana US$ 393.234 atau setara dengan Rp 3,6 miliar (kurs Rp 9.200). Dinas Kesehatan Kota Bogor mendapat US$ 228.224 (Rp 2,1 miliar). Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia mendapat dua proyek sebesar US$ 280.755 (Rp 2,6 miliar) dan US$ 40.654 (Rp 374 juta). Kemudian Direktorat Pengendalian Penyakit Tak Menular menerima US$ 529.819 dan juga ada beberapa lembaga lain.
Sudibyo Markus mengaku tak tahu soal duit Bloomberg. Yang dia tahu, Muhammadiyah berhubungan dengan International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. "Dana yang kami terima sekitar Rp 3,7 miliar," kata dia. Selain itu, Muhammadiyah menerima bantuan Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria, senilai Rp 60 miliar. Semua itu tak terkait dengan fatwa haram rokok. "Rapat fatwa hanya butuh gula, kopi, dan singkong goreng," kata Sudibyo.
Soal dukungan asing tak jadi soal bagi Komisi Nasional Perlindungan Anak. "Fatwa Muhammadiyah itu luar biasa," kata Ketua Komisi Seto Mulyadi. Kak Seto mengakui lembaganya mendapat bantuan Bloomberg. "Tapi, sebelum Bloomberg, kami sudah gencar kampanye tentang perlindungan anak atas bahaya rokok," kata dia. Lisda Sundari menambahkan, tanpa bantuan Bloomberg pun, Komisi terus bergerak. "Dana Bloomberg diterima pada 2008 sebesar Rp 4,5 miliar."
Dana itu digunakan melawan kecemasan serangan rokok pada anak. Dari riset Komisi, pada 2004, perokok usia 5-9 tahun naik 400 persen. Anak-anak beranggapan rokok tak bahaya, terkesan maco, gaul, sportif, dan solider. "Itu semua buah pencitraan iklan rokok," kata Lisda. Bentuk iklan bisa melalui konser musik atau kegiatan remaja yang selalu dibarengi pembagian rokok gratis dan hadiah berlogo rokok. Akibatnya, rokok menjadi familiar.
Awal 2006, Komisi memonitor bagaimana rokok mendekati remaja. Hal itu untuk mencegah jumlah perokok anak tak terus meningkat dan usia mulai merokok tak makin kecil. Pasar anak dan remaja merupakan pasar potensial industri rokok. "Anak dan remaja adalah pengganti para perokok yang sudah tobat atau mati," kata Lisda.
Dia menunjukkan hasil pemantauan industri rokok pada 2007 yang didukung Southeast Asia Tobacco Control Alliance. Komisi memaparkan dokumen raksasa rokok Amerika Serikat, Philip Morris, dalam brosur kampanyenya. "Remaja hari ini adalah calon pelanggan tetap hari esok karena mayoritas perokok mulai merokok ketika remaja. Pola merokok sangatlah penting bagi Philip Morris." Kutipan itu disebutkan sebagai laporan peneliti Myron E. Johnson kepada Wakil Presiden Riset dan Pengembangan Philip Morris.
Lisda mencontohkan ngerinya jebakan industri rokok pada event di Tangerang. Ada kegiatan bertajuk Clas Carnaval, bekerja sama dengan stasiun televisi SCTV. Produsen Clas Mild dan SCTV membuat kegiatan family edutainment. "Gilanya, hadiah semua permainan ada logo dan berhadiah rokok," kata Lisda. Event semacam itu menjalar ke semua pelosok Indonesia. Akibatnya, rokok dianggap tak berbahaya dan sehat.
Pada saat menggalang kampanye antirokok, Lisda sempat dibuat tak bisa bicara. Gara-gara pertanyaan lugas anak-anak. "Bunda, kalau rokok itu bahaya, kenapa boleh beriklan?" Kesan menancap akibat iklan, bahwa rokok itu normal, menggelisahkan. Jika masih belum bisa melarang rokok, setidaknya pemerintah membuat aturan mendorong larangan iklan rokok. "Melarang iklan rokok merupakan bentuk perlindungan terhadap anak," kata Lisda.
Para perokok pemula menyalakan rokoknya setelah melihat iklan. Hasil penelitian Komisi, 99,7 persen remaja melihat iklan rokok di televisi. Sebanyak 86 persen melihat di iklan luar ruang (outdoor), dan 76 persen dari media cetak. Pemerintah harus menyadari rokok zat adiktif berbahaya, apalagi buat anak-anak. "Jadi apa salahnya ada lembaga asing membantu," kata Lisda.
Anehnya, Dinas Kesehatan Kota Bogor membantah menerima dana Bloomberg. "Dana kami dari anggaran pendapatan belanja daerah," kata Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor, dokter Triwandha Elan. Rancangan Kawasan tanpa Rokok di Kota Bogor sudah sejak 2004. Namun, pada 2009, lembaga No Tobacco Community menawarkan kerja sama mendukung Bogor bebas rokok. "Tapi soal uang kami tak pernah tahu jumlahnya," kata Elan.
Ketua No Tobacco Community Asep Suhaemi juga mengaku tak pernah menerima duit Bloomberg. "Kami terima dari Union (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease)," kata Asep. Dana mereka terima bertahap mulai Desember 2008 dengan nilai US$ 38.368. Pada 28 Juli 2009 US$ 29.764, 30 September US$ 29.764, dan Desember 2009 US$ 29.796. Totalnya US$ 97.796. Dana itu digunakan untuk mendukung Dinas Kesehatan Kota Bogor berkampanye bebas rokok.
Siapa pun yang menyumbang atau mendukung antirokok sepertinya menjadi tak penting. Tanpa bantuan siapa pun, gerakan antirokok terus bergerak. "Dan menerima bantuan demi menyelamatkan anak bangsa bukan sesuatu yang tercela," kata Geni Achnas, aktivis antirokok. Agar perokok seusia Andy tak lagi terpenjara malam di tepi kanal Molenvliet, mengendus asap maut.
Dwidjo U. Maksum, Deffan Purnama (Bogor)
Penerima Bantuan Bloomberg
Lembaga | Jumlah (US$) |
Asosiasi Kesehatan Masyarakat Indonesia | 1.034.169 |
Direktorat Pengendalian Penyakit Tak Menular | 529.819 |
Komnas Perlindungan Anak | 455.911 |
YLKI dan Pusat Studi Agama dan Masyarakat | 454.480 |
Muhammadiyah | 393.234 |
Swiss Contact | 360.952 |
Lembaga Demografi FEUI | 321.409 |
Dinas Kesehatan Kota Bogor | 228.224 |
Forum Bahasa Indonesia Tobacco Control Support Center | 12.800 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo