Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI sudah sore ketika suara mesin dari pabrik tekstil di Desa Jetis, Karanganyar, Jawa Tengah, milik PT Sekar Lima Pratama masih terdengar memekakkan telinga, Rabu pekan lalu. Ratusan karyawan tampak tekun menenun benang menjadi kain. Namun Liliek Setiawan, sang pemilik, sedang gundah menghadapi lonjakan tarif listrik. Jika pabrik di atas tanah dua hektare miliknya itu diteruskan, kerugian pasti akan melonjak. Sebaliknya, bila ditutup, ratusan karyawannya bakal menganggur.
Asal-muasalnya memang keputusan PT PLN mencabut pembatasan (capping) kenaikan tarif listrik industri 18 persen sejak 1 Januari 2011. Dengan pencabutan itu, berarti kenaikan tarif listrik industri selanjutnya akan lebih dari 18 persen. Sudah tentu bagi Liliek, kebijakan ini akan semakin membengkakkan tagihan setrum pabriknya. Untuk sambungan listrik 1.035 megawatt, dia harus membayar Rp 150-200 juta setiap bulan. ”Pembatasan tarif enggak dicabut saja, saya sudah rugi kok, apalagi dicabut,” dia mengeluh saat dijumpai Tempo, Rabu pekan lalu, di pabrik yang didirikannya pada 2001 itu.
Pencabutan capping, bagi Liliek, yang juga menjabat Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Surakarta Bidang Industri, Perdagangan, dan Agrobisnis, tak sekadar menaikkan beban ongkos setrum. Menurut dia, keputusan PLN menunjukkan aturan harga listrik di negeri ini tidak jelas.
Kebingungan serupa dialami Deden Sawega, pengusaha tekstil di Majalaya, Bandung, Jawa Barat. Pemilik CV Sandang Makmur Lestari ini mengaku baru saja menaikkan gaji karyawan awal tahun. Padahal industri tekstil sedang dihadapkan pada ketidakpastian harga benang. Kini beban semakin berat setelah pembatasan kenaikan tarif maksimal dicabut. ”Bisa-bisa kami tiarap,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta PLN tidak sepihak mencabut pembatasan kenaikan tarif. PLN juga diminta mematuhi kesepakatan pemerintah dengan Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat bahwa tidak ada kenaikan tarif listrik pada 2011. Pencabutan itu, kata dia, akan memukul industri lantaran biaya produksi melonjak akibat kenaikan ongkos setrum. ”Kalau begini, bagaimana produk nasional bisa bersaing,” ujarnya.
Direktur Utama PLN Dahlan Iskan berkukuh capping harus dicabut. Sebab, aturan itu hanya dinikmati segelintir pengusaha. Dia menyindir pengusaha yang menentang pencabutan capping bersikap manja. Ini pun tak ada kaitan dengan turunnya daya saing industri. ”Saya kira daya saing tidak bagus karena mental manja ini,” ujarnya.
KISRUH tarif listrik industri merupakan buah dari kebijakan pemerintah masa lalu yang membiarkan PLN menentukan tarif berbeda-beda. Pengguna listrik ada yang terkena tarif daya maksimum, tarif multiguna, hingga tarif khusus business to business. Ketika diputuskan ada kenaikan tarif listrik, terjadi disparitas (perbedaan) tarif listrik antarindustri yang membuat kenaikan rata-rata bisa mencapai 30-40 persen.
Komisi Energi secara khusus menggelar rapat kerja dengan agenda kenaikan tarif listrik pada 19 Juli 2010. Rapat yang dipimpin Teuku Riefky Harsya dari Fraksi Partai Demokrat ini dihadiri Menteri Energi Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh, Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, Ketua Kadin Suryo B. Sulisto, Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Erwin Aksa, dan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi.
Setelah hampir tujuh jam, rapat akhirnya menyepakati tarif listrik industri boleh naik tapi dipatok maksimal 18 persen. Komisi Energi juga memerintahkan Menteri Darwin mengganti Peraturan Menteri Energi Nomor 7/2010 tentang Tarif Tenaga Listrik menjadi peraturan presiden, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30/2009 tentang Ketenagalistrikan.
Seusai rapat itu, PLN menerapkan tarif baru industri rata-rata Rp 735 per kilowatt-jam (kWh) berdasarkan Peraturan Menteri Energi Nomor 7/2010 yang terbit akhir Juni itu. Catatannya, bila dengan harga baru ini kenaikan tarif pelanggan lebih dari 18 persen, pelanggan hanya membayar tagihan dengan kenaikan maksimal (capping) tadi.
Belakangan, PLN menyadari ada masalah dengan capping ini. Menurut Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PLN Murtaqi Syamsudin, aturan itu tidak adil karena hanya dinikmati oleh 25 persen atau 9.771 industri dari keseluruhan pelanggan industri sebanyak 38.449 unit di Jawa. Mereka yang ”diuntungkan” berasal dari berbagai sektor industri yang umumnya beroperasi sebelum 2004.
Dengan capping, menurut dia, pengusaha tersebut rata-rata hanya membayar listrik Rp 667 per kWh. Adapun yang tidak terkena capping harus membayar tarif keekonomian Rp 735 per kWh. Artinya, ada disparitas Rp 68 per kWh yang ditanggung 28 ribuan pengusaha. ”Ini kan tidak adil,” Murtaqi memaparkan. Adapun di kawasan Jakarta; Babelan, Bekasi; Karawang (Jababeka); dan Lippo Cikarang, ada sejumlah industri yang listriknya disuplai perusahaan swasta, PT Cikarang Listrindo, dengan tarif Rp 850 per kWh.
Disparitas harga itu menuai protes, khususnya dari pelanggan baru. Sebuah grup properti yang memiliki beberapa mal, misalnya, bahkan bisa terkena tarif berbeda-beda sesuai dengan tahun dibangunnya mal itu.
Ellen Hidayat, pengelola Emporium Pluit Mall dari Agung Podomoro Group, memberi contoh. Lantaran Emporium berdiri setelah 2008, terkena tarif business to business yang mahal. Adapun Senayan City, yang dibangun sebelum 2004, kena tarif jauh lebih murah. Akibatnya, para pemilik toko (tenant) di Senayan lebih memilih buka di mal lama karena biaya listriknya lebih murah. ”Ini kan jadi tidak sehat,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia ini.
Disparitas harga pelanggan sejenis juga dilarang Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Itu sebabnya, PLN berkonsultasi dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha pada 11 Januari lalu. ”Posisi kami dilematis,” ujar Murtaqi Syamsudin. Namun, menurut anggota Komisi Pengawas, Didik Achmadi, PLN hanyalah pelaksana kebijakan pemerintah. ”Pemerintahlah yang harus membuat aturan baku agar tarif ini jelas dan tidak diskriminatif,” kata Didik.
Sumber Tempo di Kementerian Keuangan mengatakan capping menjadi persoalan karena tidak ada dasar hukumnya. Kesepakatan rapat Komisi Energi dengan pemerintah tak berkekuatan hukum bagi PLN untuk menerapkan pembatasan kenaikan tarif maksimal. Peraturan Menteri Energi Nomor 7/2010 juga tidak mengatur capping.
Tak mengherankan akhirnya Komisi Energi memerintahkan Menteri Darwin mengganti Peraturan Menteri Energi Nomor 7/2010 menjadi peraturan presiden. Sayangnya, ujar pejabat ini, hingga kini Darwin belum mengubah peraturan itu. PLN tentu tak mau disalahkan membebankan tarif yang tidak ada aturannya. ”Eksekusi regulasi tarif ini memang lemah,” ucapnya.
Masih ada masalah lain. Pembatasan kenaikan tarif maksimal juga tidak ada dalam perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011 yang mematok subsidi listrik Rp 40,7 triliun. Jika capping terus diterapkan, menurut Murtaqi, pemerintah harus menambah subsidi Rp 1,8 triliun. Sebaliknya, dengan pencabutan capping bukan berarti tarif listrik naik. Dengan pencabutan ini, PLN justru menjalankan tarif sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 7/2010. ”Jadi bukan tarif naik, melainkan memberlakukan tarif secara utuh dari yang selama beberapa bulan ini cuma dikenakan 18 persen,” ujar Murtaqi.
Kepada Tempo, Menteri Darwin mengatakan capping merupakan satu aspek dari tarif dasar listrik. Itu sebabnya, keputusannya memerlukan persetujuan dari anggota Dewan. Soal perubahan Peraturan Menteri Nomor 7/2010 menjadi peraturan presiden, dia mengaku, sudah sampai tahap draf final. ”Pembatalan pencabutan capping tidak perlu peraturan menteri baru,” ujarnya. Penambahan beban subsidi listrik akibat pembatasan kenaikan tarif, menurut dia, akan dilakukan melalui revisi APBN 2011.
Dalam rapat kerja Rabu pekan lalu, Komisi Energi meminta Menteri Energi tidak memberikan persetujuan kepada PLN yang akan membatalkan capping listrik sebelum ada persetujuan dari anggota Dewan. Tapi, menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, konsultan hukum PLN, pembatalan tak perlu persetujuan anggota parlemen karena dilakukan dalam kerangka Peraturan Menteri Nomor 7/2010 yang tidak membutuhkan persetujuan politikus di Senayan.
Anne L. Handayani, Nieke Indrietta, Eka Utami Aprilia, Ukky Primartantyo (Solo), Angga Sukma Wijaya (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo