Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=1>Telekomunikasi</font><br />Menagih Setoran Si Berry Hitam

Research In Motion, penyelenggara layanan BlackBerry, belum menyetor sejumlah kewajibannya ke negara. Akibat statusnya yang tak jelas?

24 Januari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STAF khusus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Silmy Karim, bergegas memasuki gedung Sapta Pesona di Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu. Pagi itu, Silmy akan mengikuti rapat bersama para pejabat Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sekitar dua jam lamanya kedua instansi itu membahas topik yang sedang menjadi gunjingan di jejaring sosial: Research In Motion (RIM) tak pernah membayar pajak.

Bagi Silmy dan kawan-kawan, perusahaan layanan BlackBerry itu tak asing lagi. Tahun lalu, Badan Koordinasi menyetujui pendirian PT RIM Indonesia. Karena itulah, ”Kami berkoordinasi menyatukan suara,” kata Silmy kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Pajak RIM pertama kali dilontarkan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring lewat akun Twitter-nya. ”Kicauan” Tifatul muncul tak lama setelah ia mengancam akan menutup layanan BlackBerry karena RIM tak mau menyensor konten pornografi. Para pengguna BlackBerry memprotes bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera itu. Gerah jadi bulan-bulanan, Tifatul membuka rahasia. ”Anak gagak bertukar cincin, tak bayar pajak kok (RIM) dibelain,” tulis Tifatul.

Lambat-laun isu penyaringan konten pornografi melebar menjadi persoalan setoran pajak. Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Budi Setiawan memaparkan, bila pelanggan BlackBerry di Indonesia membayar biaya langganan Rp 90 ribu setiap bulan, operator seluler lokal hanya mendapat sekitar Rp 27 ribu. Penerimaan ini masih dipotong biaya operasional dan pajak. Sebaliknya, RIM memperoleh pendapatan bersih Rp 63 ribu.

Dengan total pelanggan BlackBerry 3 juta orang, pendapatan bersih RIM di Indonesia dikalkulasi bisa mencapai Rp 189 miliar per bulan atau Rp 2,26 triliun per tahun. Namun sejauh ini negara tak memungut sepeser pun dari perusahaan asal Kanada itu. ”Bayangkan potensi dana sebesar itu melenggang begitu saja,” ujar Budi.

Sumber Tempo menambahkan, sesuai dengan ketentuan, penyelenggara jasa telekomunikasi dikenai pungutan—pendapatan negara bukan pajak—dan iuran Universal Service Obligation pedesaan masing-masing 0,5 dan 1,25 persen dari pendapatan operasional. Semula RIM akan dibidik. Tapi rencana batal karena tak ada aturan yang bisa mengklasifikasikan posisi bisnis RIM. Budi mengakui masalah tersebut. ”Harus diakui, Undang-Undang Telekomunikasi tak bisa menyentuh RIM,” ujarnya.

Menurut Budi, RIM bukan hanya tak menyetor biaya penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Perusahaan itu juga tak membayar biaya sertifikasi setiap tipe BlackBerry yang akan dimasukkan ke Indonesia. ”Biaya itu dibayar oleh importir yang menjual produk milik RIM,” ujarnya.

Lolosnya RIM dari semua kewajiban tadi lantaran statusnya tak jelas di industri telekomunikasi dalam negeri. Pemerintah dan operator seluler kabarnya mulai gelisah dengan status RIM sejak tahun lalu. Kementerian Komunikasi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, dan enam operator seluler menggelar pertemuan pada 23 Desember lalu guna membicarakan ketidakjelasan RIM dalam struktur industri telekomunikasi. Akhirnya disepakati menjadikan mereka sebagai perusahaan penyelenggara jasa multimedia. ”Intinya RIM diarahkan agar dianggap sebagai operator,” bisiknya.

Menteri Tifatul pun sejauh ini hanya bisa ”menyerang” RIM lewat penyaringan konten porno, penyediaan server, dan layanan purnajual di Indonesia. Skenario besarnya, RIM harus membangun infrastruktur di Indonesia. Dengan demikian, ”Nantinya sebagai entitas bisnis bisa dikenai pungutan,” ungkap si sumber.

Direktur Pelaksana RIM untuk Asia Tenggara, Gregory Wade, menyatakan bahwa perusahaannya tunduk pada hukum Indonesia. RIM siap membayar semua ketentuan, termasuk kewajiban perpajakan yang berlaku bagi produsen dan importir lainnya. ”Kami bangga menjadi kontributor yang signifikan bagi perekonomian Indonesia,” katanya di Jakarta pekan lalu.

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus