Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar baik dan buruk datang beriringan untuk Ketut Widi di pengujung 2010. Kabar baik: Pengadilan Negeri Denpasar mengabulkan gugatan cerainya terhadap suaminya yang jarang pulang dan tak mengurus dirinya serta anak mereka. Adapun kabar buruknya, hakim pengadilan memutus hak asuh dua anak itu ada pada bapaknya.
Hukum perceraian di Bali tunduk pada peraturan adat tentang purusa: garis keturunan dipegang laki-laki. Karena itu, setiap anak harus ikut ayah mereka jika orang tuanya bercerai. Jika hakim berpihak kepada perempuan, laki-laki tak wajib membiayai anak-anak mereka. Perempuan juga tak berhak atas harta yang didapat bersama mantan suaminya. Aturan adat inilah yang dipegang hakim dalam memutus perkara Ketut Widi.
Kini harapan perempuan 34 tahun itu bersandar pada beleid baru Majelis Utama Desa Pekraman. Pada 15 Oktober lalu, lembaga adat tertinggi di Pulau Dewata ini memang mengeluarkan putusan penting menyangkut hak perempuan dalam kedudukannya sebagai istri. Dalam Pasamuhan Agung III itu, Majelis Utama mengeluarkan ketetapan, perempuan berhak mendapat warisan dan hak asuh anak-anak mereka. ”Putusan ini akan saya bawa dalam sidang banding,” kata Widi kepada Tempo.
Kendati belum diadopsi sebagai hukum positif, putusan ini disambut gembira berbagai kalangan. Beleid anyar itu hingga kini terus disosialisasi ke lembaga hukum dan adat di seluruh pelosok Bali. ”Supaya jadi hukum positif,” kata Wayan P. Windia, Ketua Penasihat Majelis Utama yang juga guru besar hukum adat Universitas Udayana.
Perubahan ”revolusioner” hukum adat Bali ini terjadi setelah perdebatan sengit selama sepuluh tahun. Para aktivis perempuanlah yang mengajukan gugatan atas hukum yang sudah berlangsung sejak 1900 itu. Mereka tak henti-hentinya mengajak dialog tokoh dan lembaga adat perihal peran perempuan. ”Selalu kami tekankan, kita semua ini dilahirkan oleh seorang perempuan,” kata Luh Anggreni, pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Bali.
Purusa lahir dari hukum kolonial pada 13 Oktober 1900. Hukum adat yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda itu mengatur bahwa tanggung jawab keluarga (swadharma), hubungan dengan Tuhan (parahyangan), hubungan sosial (pawongan), dan pengaturan lingkungan (palemahan) dipegang laki-laki. Akibatnya, perempuan sama sekali tak berhak atas warisan (swadikara) orang tuanya.
Dengan aturan semacam itu, saat perempuan Bali menikah, posisinya lemah dalam keluarga. Kasus-kasus kekerasan rumah tangga pun muncul tak terhindarkan. Dampak lanjutannya, anak perempuan kerap tak mendapat prioritas pendidikan dibanding anak laki-laki.
Yang paling menyedihkan saat terjadi perceraian seperti yang dialami Ketut Widi. Selain tak mendapat hak asuh, perempuan tak mendapat harta yang mereka kumpulkan selama berumah tangga. Sebab, hakim berpatokan pada aturan adat ini. Anggreni berpengalaman menangani banyak kasus perceraian yang ”dimenangkan” para lelaki. ”Kalaupun hak asuh jatuh kepada istri, suami akan menolak membiayai hidup anaknya,” katanya.
Kini perubahan dahsyat itu telah terjadi. Menurut Windia, keputusan ini dibuat dengan mempertimbangkan perubahan zaman, yakni kaum perempuan bisa mandiri, berpendidikan tinggi, sehingga mereka juga sanggup meneruskan swadharma. ”Hak dan kedudukan laki-laki dan perempuan menjadi seimbang, termasuk menentukan garis keturunan,” ujar Windia.
Anak perempuan yang ayah dan ibunya bercerai, kata Windia, kini juga punya hak yang sama dengan saudara mereka yang laki-laki dalam mendapat warisan. Adapun bagi keluarga yang tak bercerai, orang tua harus membagi harta bersama mereka sebelum diberikan kepada anak-anak mereka. Harta pusaka tak bisa dibagi untuk memelihara warisan dan harta gunakaya yang dibagi-bagi. Proporsinya 1 : 2 untuk anak perempuan dan laki-laki. Sebelumnya, gunakaya ini harus disisihkan dulu sebagai harta bersama sebesar sepertiga untuk kepentingan keluarga.
Tak hanya berhenti di situ. Anak perempuan yang telah bersuami pun tetap berhak atas warisan itu. Demikian pula anak laki-laki yang diangkat keluarga lain (nyentana). Adapun yang sama sekali kehilangan hak adalah anak-anak yang berpindah agama. ”Karena mereka tak lagi bisa meneruskan swadharma secara Hindu,” kata Windia.
Bagja Hidayat, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo