Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,21 persen pada triwulan ketiga tahun ini, sedikit lebih tinggi dari 4,04 persen pada triwulan sebelumnya. Laju pertumbuhan pada triwulan ketiga didukung oleh pertumbuhan belanja rumah tangga (tumbuh 4,75 persen), belanja pemerintah (tumbuh 10,20 persen), dan investasi (tumbuh 3,95 persen).
Sedangkan ekspor masih mengalami kontraksi 8,24 persen (tahunan) pada triwulan ketiga 2009. Akan tetapi, seiring dengan mulai membaiknya perekonomian global, laju penurunan ekspor semakin berkurang. Pada triwulan pertama ekspor masih turun 18,7 persen, dan pada triwulan kedua 15,5 persen. Keadaan perekonomian dunia diperkirakan akan makin baik pada bulan-bulan mendatang, sehingga kinerja ekspor kita pun diharapkan ikut membaik.
Metode pendeteksian siklus bisnis yang dikembangkan di Danareksa Research Institute menunjukkan bahwa perekonomian kita sudah mencapai titik terendahnya pada Februari 2009. Sejak Maret, perekonomian kita sudah memasuki fase ekspansi lagi, dengan laju pertumbuhan yang kian cepat. Pertumbuhan triwulan ketiga yang lebih cepat daripada triwulan sebelumnya merupakan indikasi bahwa saat ini perekonomian kita memang sedang mengalami akselerasi.
Menurut data historis Danareksa Research Institute, siklus bisnis perekonomian Indonesia rata-rata berlangsung selama tujuh tahun. Artinya, perekonomian Indonesia biasanya berekspansi selama tujuh tahun, sebelum kembali masuk ke masa resesi (yang rata-rata berlangsung sepanjang satu tahun). Jadi, bila struktur ekonomi dan perilaku para pelaku ekonomi tidak banyak berubah, kita dapat mengharapkan perekonomian Indonesia akan terus berekspansi (tumbuh dengan laju pertumbuhan di sekitar laju pertumbuhan jangka panjangnya, saat ini sekitar 6 persen) sampai 2016.
Harus Waspada
Kondisi perekonomian global yang mulai pulih pun tampaknya memperbesar peluang perekonomian Indonesia terus berekspansi selama beberapa tahun ke depan. Perekonomian AS, misalnya, pada triwulan ketiga tumbuh 3,5 persen (tahunan), sedangkan Jepang tumbuh 4,8 persen (annualized) pada triwulan yang sama. Pemulihan kedua ekonomi ini diperkirakan akan terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.
Walaupun demikian, bukan berarti kita boleh santai-santai saja dan menjadi terlena, karena masih ada masalah di dalam negeri sendiri yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi kita bila tidak dapat diatasi dengan segera. Seperti kita ketahui, BI sudah menurunkan suku bunga acuannya sejak Desember 2008. Saat ini BI Rate, bunga acuan BI, berada pada level 6,5 persen (terendah sepanjang sejarah BI Rate). Namun bunga pinjaman belum turun signifikan.
Pada September 2009, suku bunga rata-rata pinjaman total (konsumsi, investasi, dan modal kerja) berada pada level 14,68 persen, hanya turun sedikit dari 15,34 persen pada Desember 2008. Sebaliknya, pada periode yang sama, rata-rata suku bunga pinjaman konsumsi malah naik, dari 16,40 persen pada Desember 2008 menjadi 16,67 persen pada September 2009.
Tetap bertahannya suku bunga pinjaman pada level yang relatif tinggi sudah barang tentu memberikan dampak negatif pada fungsi intermediasi perbankan (penyaluran kredit). Bunga yang tinggi membuat calon peminjam uang enggan meminjam karena biayanya terlalu tinggi. Akibatnya, pertumbuhan kredit pun semakin buruk. Laju pertumbuhan total kredit, misalnya, anjlok dari 38 persen pada Oktober 2008 menjadi 9,6 persen pada September 2009. Sedangkan laju pertumbuhan kredit konsumsi turun dari 33 persen pada Oktober 2008 menjadi 15,3 persen pada September tahun 2009 (gambar 1).
Tren penurunan pertumbuhan kredit ini cukup mengkhawatirkan. Bila keadaan ini tidak segera diperbaiki—dan jika tren ini berlanjut—dalam waktu yang tidak terlalu lama (paling lambat menjelang akhir semester pertama 2010), laju pertumbuhan kredit dapat jatuh ke titik nol. Rasanya perekonomian kita tak akan tumbuh signifikan bila tak ada pertumbuhan kredit. Dengan kata lain, keadaan dalam sistem perbankan kita saat ini, bila tidak segera diperbaiki, dapat mengacaukan proses pemulihan ekonomi yang saat ini sedang berlangsung.
Banyak kalangan yang bingung dengan apa yang sedang terjadi pada sistem finansial kita. Mengapa bunga pinjaman tak kunjung turun jua? Apa yang tidak tepat dengan kebijakan bank sentral kita?
Walaupun BI Rate turun, sebenarnya BI tidak melonggarkan kebijakan moneternya. Bahkan sebaliknya, BI terus menyerap ”kelebihan” likuiditas (yang sering diklaim oleh BI) dari sistem perbankan kita. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah outstanding SBI dari sekitar Rp 116 triliun pada September 2008 menjadi Rp 251 triliun pada Oktober 2009.
Akibatnya, suplai uang justru dikurangi dari sistem finansial kita. Hal ini, antara lain, terlihat dari laju pertumbuhan M0 yang jatuh ke daerah negatif sejak triwulan keempat 2008. Pada triwulan ketiga tahun ini, laju pertumbuhan M0 masih berada di kisaran negatif 9,6 persen (gambar 2). Padahal, pada 2009 ini ekonomi kita terus bertumbuh. Artinya, BI justru mengurangi suplai uang ketika permintaan masih tumbuh. Dengan keadaan yang demikian, tidaklah terlalu mengherankan bila harga uang (bunga) sulit turun. Tampaknya, hukum ekonomi yang paling dasar (supply-demand) telah menunjukkan keampuhannya: bila suplai dikurangi ketika permintaan masih tumbuh, harga (suku bunga) akan cenderung naik dan kuantitas (jumlah kredit) cenderung turun.
Kurangnya suplai uang relatif terhadap keadaan perekonomian bisa juga ditunjukkan oleh rasio PDB terhadap suplai uang (biasa disebut dengan velocity of money). Rasio ini menggambarkan frekuensi satu satuan uang digunakan dalam bertransaksi. Rasio yang meningkat dapat diartikan bahwa suplai uang menjadi relatif lebih sedikit dibandingkan dengan aktivitas perekonomiannya. Memang tidak ada angka rasio yang ideal untuk setiap perekonomian. Akan tetapi, dengan memperhatikan perkembangan rasio ini dari waktu ke waktu kita dapat menentukan perubahan keadaan likuiditas dalam sistem finansial kita.
Pada periode 2006 sampai triwulan ketiga 2008, rasio PDB/M0 (annualized) berada pada kisaran 13-14. Akan tetapi, memasuki triwulan keempat 2008, rasio ini mulai meningkat, dan pada 2009 berada pada kisaran 16-17. Tren yang mirip juga diperlihatkan oleh rasio PDB/M1 (gambar 2). Artinya, terjadi peningkatan frekuensi penggunaan uang yang cukup signifikan. Hal ini menggambarkan pertumbuhan permintaan yang lebih cepat dari pertumbuhan suplai uang. Tidaklah mengherankan bila suku bunga sulit turun.
Dengan latar belakang yang demikian, tampaknya tidaklah terlalu sulit untuk mengatasi masalah di atas. BI harus menghitung kembali keadaan likuiditas di sistem finansial kita, dan segera mulai menambah likuiditas di sistem finansial kita (dengan mengurangi jumlah SBI outstanding). Suplai uang yang bertambah akan segera menurunkan harga uang (dalam hal ini suku bunga).
Perlu ditekankan kembali di sini bahwa ekonomi Indonesia saat ini sudah memasuki fase ekspansi lagi dalam siklus bisnisnya. Ekspansi ini dapat berlangsung sampai tujuh tahun ke depan. Namun, bila fungsi intermediasi perbankan tidak segera diperbaiki, bukan mustahil menjelang pertengahan 2010 perekonomian Indonesia akan mengalami perlambatan yang signifikan.
*)Chief Economist Danareksa Research Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo