Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERANGKA beton berderet menjulang di jantung Kalibata, Jakarta Selatan. Satu per satu angka ditempel di dinding beton—untuk menunjukkan jumlah lantai gedung yang sudah terbangun. Inilah Kalibata Residences, rumah susun sederhana milik (rusunami) yang dikembangkan PT Pradani Sukses Abadi, anak perusahaan raja properti Agung Podomoro Group.
Ketika Tempo berkunjung ke lokasi proyek ini, di Jalan Taman Makam Pahlawan Kalibata Nomor 1—bekas pabrik sepatu Bata—Kamis pekan lalu, nomor lantai menunjukkan angka 19. Direktur Pemasaran Kalibata Residences Indra Widjaya Antono mengatakan proses konstruksi telah merampungkan struktur lantai teratas. ”Sudah topping off Selasa pekan lalu. Jadi, secara struktur, tower pertama selesai,” kata Indra. Kalibata memiliki tujuh tower.
Kalibata Residences merupakan bagian dari program 1.000 tower rumah susun yang dicanangkan pemerintah pada 2007. Namun, kata Ketua Umum Real Estate Indonesia Teguh Satria, realisasi rusunami sangat minim. Produk REI, katanya, hanya 10-12 ribu unit yang diserahterimakan kepada pembeli tahun ini dari target 40 ribu unit.
Hambatannya, kata Teguh, kebanyakan pada perizinan, termasuk Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2009. Beleid ini membatasi luas rusunami maksimum 40 ribu meter persegi, kepadatan penduduk maksimum 3.500 jiwa per hektare, dan koefisien lantai bangunan tidak lebih dari 3,5.
Tak mengagetkan jika banyak rusunami yang disegel karena dianggap melanggar perizinan. Misalnya rusunami Gading Nias, Jatinegara, Kemanggisan, dan Kalibata, yang tersangkut izin mendirikan bangunan. Terakhir, pembangunan rusunami Pesanggrahan di Jalan Bintaro Permai, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, terganjal izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Padahal ada keputusan presiden mengenai percepatan pembangunan rusunami yang memberikan keringanan dalam izin mendirikan bangunan.
Teguh melanjutkan, proses verifikasi Kementerian Perumahan Rakyat terhadap masyarakat yang berhak menerima subsidi juga lelet. Ada juga persoalan harga unit bersubsidi yang dipatok Rp 144 juta. Intinya, di sisi hulu, pengembang harus menyediakan lahan sendiri hingga tower berdiri. Tapi, di sisi hilir, harga unit ditetapkan. ”Bila pola ini yang diterapkan, harus ada adjustment harga,” kata Indra.
Berbagai persoalan itu, Teguh menambahkan, membuat pengembang gamang. Tidak sedikit di antara mereka yang menggeser jatah unit rusunami bersubsidi menjadi nonsubsidi. Caranya: meningkatkan kualitas unit untuk mengerek harga menjadi Rp 180-250 juta.
Ini tentu disayangkan. Apalagi permintaan unit bersubsidi sangat besar. Menurut Indra, pasar rusunami sangat luar biasa. Kebutuhan masyarakat untuk tinggal di Ibu Kota—dekat dengan tempat kerja—tinggi. Rusunami dipilih karena efisien dalam hal waktu, dana, dan tenaga. Menurut Teguh, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah mesti oke. Tanpa itu, sulit mencapai target pembangunan rumah bersubsidi yang murah dan layak huni.
Retno Sulistyowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo