Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPARAN padi hijau membentang mengawali musim tanam tahun ini di Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua. Medco Foundation—pemegang hak pengelolaan area itu—menanam SRI organik, jenis padi ramah lingkungan. Tapi, di petak lain, sekitar lima hektare, lahan masih menganggur. Tanah yang telah diolah ini sebenarnya siap ditebari benih jagung. Tapi penanaman ditunda hingga musim hujan kali ini berakhir.
Ratusan hektare kebun jagung di Distrik Kurik masih di Kabupaten Merauke—pun melompong. Cuma ada sisa-sisa batang, daun, atau bonggol berceceran di beberapa titik. ”Musim panen telah usai,” kata Siswono Yudohusodo, Komisaris PT Bangun Tjipta Sarana, perusahaan yang mendapatkan izin mengelola lahan tersebut, Rabu pekan lalu.
Lahan di Merauke, kabupaten di ujung selatan Pulau Irian, sedang diperbincangkan. Kawasan superluas, dataran rendah dengan tingkat kelerengan 0-8 persen dan kelandaian 8-15 persen, plus stok air berlimpah ini akan dijadikan pusat tanaman pangan nasional. Namanya Merauke Food Estate. Menteri Pertanian Suswono telah meluncurkan megaproyek tersebut, 12 Februari lalu, pas ulang tahun Kabupaten Merauke ke-108.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan Merauke pas sekali untuk dikembangkan menjadi sentra pertanian. Kendati bukan tanah vulkanik, tingkat kesuburannya bisa diandalkan karena banyak hara organik. Dari aspek sosiokultural, kata dia, potensi masalah dengan penduduk lokal dan konflik lahan relatif minim.
Bayu meyakinkan, masyarakat lokal cenderung welcome. Dari 200 ribuan penduduk, separuhnya pendatang—transmigran sejak 1983. Ketua Medco Foundation Roni Pramaditia Rodiat menambahkan, warga Merauke terbuka terhadap pembaruan. Keterbatasan terhadap akses teknologilah, kata Roni, yang membuat mereka sedikit tertinggal.
Ide membikin lumbung pangan nasional di Merauke dilontarkan sejak tujuh tahun lalu. Saat itu, Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze mengusulkannya ke Jakarta. Pemerintah pusat merestui. Tiga tahun terakhir, gagasan tersebut dibicarakan intensif dalam rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian. Satu per satu potensi Merauke dibongkar. Termasuk kemungkinan kendalanya.
Nama Merauke Food Estate tidak muncul tiba-tiba. Dalam usulnya, Pak Bupati menggunakan istilah Merice. Konsepnya mengarah ke lumbung padi. Di tingkat pusat, ide ditajamkan. Targetnya bukan cuma beras, tapi diperluas ke tanaman pangan lain, seperti jagung, tebu, dan kedelai. Maka nama Merice bersalin menjadi Mifee, singkatan dari Merauke Integrated Food Energy Estate.
Menurut Bayu, istilah keren tersebut lebih sebagai pemikat untuk memudahkan pemerintah menggaet investor. Juga untuk menggambarkan bahwa kawasan ini dikelola swasta. Dalam dokumen resmi ataupun regulasi, kata dia, tak ada kata food estate.
TEKAD pemerintah membikin lumbung pangan nasional sudah bulat karena kebutuhan pangan terus meningkat, seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan pendapatan. Konsumsi beras, misalnya, mencapai 33-34 juta ton. Saban tahun perlu tambahan suplai 350-450 ribu ton. Angka itu didasari pertumbuhan penduduk 1,35 persen, dikalikan populasi 230 juta, dan rata-rata konsumsi 130 kilogram per kapita.
Bila itu dikonversi dalam bentuk lahan, kira-kira perlu 80-90 hektare area tambahan per tahun. Asumsinya, tingkat produktivitas lahan agak rendah, sekitar lima ton per hektare. Itu baru padi, belum bicara tentang kebutuhan lahan baru untuk jagung, kedelai, dan tebu.
Sebelum 2005, kata Bayu, orang optimistis kekurangan stok pangan nasional bisa dipenuhi dari pasar dunia. Pasar internasional dianggap sebagai sumber stabilitas pangan. Nyatanya, dua tahun kemudian, kondisi berbalik. Ketika pasokan dunia tak menentu, harga jumpalitan.
Nah, dalam mengembangkan tanaman pangan kali ini, pemerintah mengajak investor. Alasannya, swasta mengejar efisiensi. Sehingga ada semangat meningkatkan teknologi, riset, dan skala usaha. Ujung-ujungnya bukan cuma produktivitas dan ketersediaan pangan, melainkan juga daya saing. Menurut Bayu, hal serupa jamak dilakukan di mancanegara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meneken Peraturan Pemerintah tentang Usaha Budi Daya Tanaman. Di situ diatur soal investasi swasta dalam budi daya tanaman pangan di Indonesia. Swasta bisa mengelola lahan untuk kawasan pangan maksimal 10 ribu hektare. Khusus di Papua, boleh sampai 20 ribu hektare.
Investor asing diizinkan masuk, tapi mereka membikin usaha patungan dengan pengusaha lokal. Kepemilikan modal asing dalam kerja sama itu maksimal 49 persen. Hak guna usaha diberikan selama 35 tahun, yang dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 35 tahun dan 20 tahun.
Bumi Merauke yang superjumbo dinilai cocok untuk kawasan tanaman pangan. Luas wilayah daratannya mencapai 4,7 juta hektare. Sebagian besar, 95,39 persen, adalah belantara dengan berbagai fungsi (lihat tabel). Cuma 200-an ribu hektare kawasan nonhutan yang digunakan untuk perumahan, perkantoran, dan prasarana.
Menurut Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan Basoeki Karyaatmadja, area hutan yang dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian adalah hutan produksi yang dapat dikonversi. Di Merauke ada 1,4 juta hektare.
Persoalannya, Bupati Gebze mengatakan, megaproyek ini mentok di Kementerian Kehutanan. Hingga kini, instansi tersebut memang belum menerbitkan izin pengalihan penggunaan hutan sebagai kawasan pertanian.
Menurut Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dalam penggunaan kawasan hutan untuk food estate, harus ada perubahan tata ruang. Mekanismenya, pemerintah daerah merekomendasikan perubahan tersebut, untuk diusulkan kepada tim terpadu. Tim lintas kementerian ini melibatkan perguruan tinggi dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hasilnya diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Persoalan tata ruang tersebut dibahas dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Selasa pekan lalu. Pemerintah daerah diminta segera mengusulkan tata ruang, plus analisis dampak lingkungan. Menurut Gebze, daerahnya dulu punya cadangan lahan 2,5 juta hektare. Tapi menciut menjadi 1,2 juta hektare setelah dirasionalisasi oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional.
Kepala Dinas Pertanian dan Hortikultura Kabupaten Merauke Omah Laduani Ladamay menambahkan, 20 distrik yang ada di Merauke akan dibagi dalam tiga zona sentra pangan. Zona 1 untuk komoditas unggulan, meliputi padi, sorgum, dan gandum. Zona 2 untuk tebu, jagung, dan kedelai. Sedangkan zona 3 komoditas padi dan sagu. Bayu memastikan lahan yang akan dimanfaatkan 1,2 juta hektare, sesuai dengan rekomendasi Badan Tata Ruang. Itu pun tidak ambisius untuk membukanya serentak. Misalnya, tahap pertama 500 ribu.
Menurut Bayu, sederet perusahaan besar telah menyatakan komitmen menanamkan modal di Merauke. Sebagian telah melakukan uji coba. Salah satunya Bangun Tjipta Sarana. Perusahaan milik Siswono ini mengantongi izin pengelolaan 8.000 hektare lahan dari bupati, tapi baru menggarap 400-an hektare. ”Kami uji coba dulu, enggak berani langsung membuka lahan,” kata Siswono.
Medco Group dan Sinar Mas Group masih wait and see kebijakan pemerintah. Ke depan, kata Roni, masih dibicarakan secara internal. ”Kami ikut flow yang ada.” Sebenarnya, Medco telah memiliki lahan uji coba di Distrik Semangga. Aksi ini merupakan ”buntut” dari kunjungan Arifin Panigoro ke Kampung Wasur, Agustus 2009. Tapi, menurut Roni, proyek uji coba tersebut merupakan program corporate social responsibility, bukan komersial.
Sinar Mas Agro Resources and Technology atawa SMART juga masih di tahap penjajakan. Padahal kelompok usaha milik Eka Tjipta Widjaja ini telah nyemplung ke Papua sejak 1992. Di Jayapura, mereka memiliki 15 ribu hektare kebun sawit, lengkap dengan pabrik pengolahan. Persoalannya, kata Presiden Direktur PT SMART Tbk. Daud Dharsono, bukan besar-kecilnya komitmen, melainkan kepastian kebijakan—salah satunya soal konversi hutan.
Pertengahan 2008, Bin Ladin Group kelompok usaha dari Arab Saudi—menyatakan minat berinvestasi di Merauke. Nilainya cukup fantastis: US$ 4,3 miliar, sekitar Rp 40 triliun, untuk menanam padi di area seluas 500 ribu hektare. Ditemani Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah Alwi Shihab, Vice Chairman Bin Ladin Group Syekh Hassan M. Bin Ladin bertemu dengan Wakil Presiden dan Menteri Pertanian—saat itu Jusuf Kalla dan Anton Apriyantono.
Bayu meyakinkan, megaproyek Merauke Food Estate tidak main-main. Ia memberikan iming-iming berbagai fasilitas dan insentif fiskal yang menggiurkan investor. Dasarnya Undang-Undang tentang Kawasan Ekonomi Khusus alias KEK. Ke depan, bila sentra pertanian tersebut ditetapkan sebagai KEK, investor bisa mendapatkan fasilitas fiskal di kawasan itu, mulai fasilitas perpajakan, kepabeanan, cukai, pajak daerah, masalah pertanahan, hingga perizinan.
Kendala terbesar, yakni infrastruktur, Bayu menambahkan, akan dipikirkan Kementerian Pekerjaan Umum. Diperkirakan dana untuk membangun infrastruktur awal Rp 2,5-3 triliun. Bila tahap itu sukses, pemerintah optimistis bisa menyedot investasi Rp 50-60 triliun di Merauke.
Jadi, kata Bayu, kemeriahan pesta ulang tahun di Merauke 12 Februari lalu merupakan momentum membulatkan tekad. Targetnya, tentu, swasembada pangan nasional. Tapi tidak mustahil menjadi pemasok dunia. Kuncinya, mengembangkan Merauke merupakan prospek 5-10 tahun ke depan, bukan urusan semalam.
Retno Sulistyowati, Yandhrie Arvian, Pingit Satria, Tjahjono Ep (Papua)
Fungsi dan Status Kawasan Hutan di Merauke
Sumber: Usulan Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo