Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
lobi kantor itu tidak luas. Ukurannya sekitar dua belas meter persegi. Interiornya sederhana. Satu set sofa tamu, meja resepsionis, dan satu lemari kaca berada di ruangan berdinding putih itu. Di dalam lemari dipajang berbagai produk ternama, antara lain korek api merek Pelangi, Three Coins, serta kemasan kosmetik merek L’Oreal, Biore, dan She.
Menempati lantai enam perkantoran Tifa Building di Kuningan Barat, Jakarta Selatan, itulah kantor PT Dwi Satrya Utama, perusahaan yang belakangan ini menjadi bahan perbincangan anggota Panitia Khusus Hak Angket Bank Century. Bukan karena prestasi atau inovasi, Dwi Satrya jadi omongan karena namanya disebut-sebut dalam hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Berkas ini dipaparkan Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan, dalam pertemuan tertutup di depan Panitia Khusus, Senin malam pekan lalu.
Dalam berkas itu disebutkan, PT Dwi Satrya salah satu nasabah yang melakukan transaksi keuangan mencurigakan. Perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, manufaktur, properti, dan keuangan itu pernah punya deposito Rp 20 miliar di Bank Century. Karena Century megap-megap kesulitan likuiditas, dana Dwi Satrya tidak bisa dicairkan sekaligus. Perusahaan itu lalu meminta deposito dicairkan bertahap, dipecah di bawah Rp 2 miliar ke beberapa rekening.
Salah satunya ditampung di rekening berinisial NI senilai Rp 1,5 miliar. NI tak lain karyawan Dwi Satrya. Setelah dana cair, pada 26 November—dua hari setelah Lembaga Penjamin Simpanan menyuntikkan penyertaan modal Rp 1 triliun ke Bank Century—NI mentransfer dana tadi ke rekening PT Tifa Finance di Bank CIMB Niaga. Tifa masih anak usaha Dwi Satrya. Pada hari itu juga, oleh Tifa Finance, dana tersebut ditransfer ke rekening Dwi Satrya di BCA.
Belakangan, NI—menurut data Bank Indonesia—terungkap masih punya keterkaitan dengan Bank Century. ”Ia pernah menjadi sekretaris Robert Tantular, sehingga dikategorikan terkait,” kata Hendrawan Supratikno, anggota Panitia Khusus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Robert tak lain bekas pemilik Century.
Didatangi akhir pekan lalu, petinggi perusahaan itu tak bersedia ditemui. Menurut seorang resepsionis, Chief Financial Officer Prodjo Djajanto tengah berada di luar kantor. ”Beliau yang in charge untuk urusan operasi kantor,” katanya.
Padahal, sebagai pihak terkait, NI tidak boleh menerima kucuran dana dari bank yang kini bersalin rupa menjadi Bank Mutiara itu. Apalagi ketika bank itu masuk pengawasan khusus pada 6 November dua tahun lalu, Deputi Gubernur Bank Indonesia mengirim surat kepada direksi lama agar memblokir rekening milik para nasabah yang punya keterkaitan dengan Century. Larangan ini kembali ditegaskan Firdaus Djaelani, Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin, dalam sebuah rapat kepada direksi baru Century, 25 November 2008.
Toh tetap saja larangan itu tidak cukup kukuh membentengi brankas Century dari penarikan dana—termasuk oleh nasabah yang masih punya keterkaitan dengan bekas pemilik bank tersebut. Ada indikasi, dana yang masuk ke rekening NI sumbernya dari dana yang disuntikkan buat memperbaiki kinerja Century. ”Fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ada yang disalahgunakan,” kata Hendrawan Supratikno.
Masuknya dana ke beberapa rekening itu, kata Achsanul Qosasi, anggota Panitia Khusus dari Partai Demokrat, tak cuma dengan memecah rekening, tapi juga lewat modus lainnya, antara lain mengaktifkan kembali rekening ”tidur”, atau rekening nasabah yang sudah mati dibuka kembali, serta membuka rekening dari sembarang nama dan tempat. Pengaktifan rekening-rekening itu tanpa diketahui pemilik asli. Tiba-tiba muncul uang di rekening, padahal pemilik rekening tidak pernah setor.
Modus ini, kata dia, hampir semuanya terjadi di Jakarta. Modus ini ditemukan ketika Panitia Khusus melakukan klarifikasi ke lima daerah, dua pekan lalu. Selain ke Jakarta, tim ini pergi ke Medan, Makassar, Surabaya, dan Denpasar. Yang menjadi pegangan mereka sebundel data yang pernah diberikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terkait aliran dana Century. Pusat Pelaporan menyebutkan ada 116 laporan keuangan transaksi mencurigakan. ”Setelah dicocokkan ke lapangan, ternyata ada nasabah yang fiktif,” ujar Romahurmuzy, anggota Panitia Khusus dari Partai Persatuan Pembangunan.
Achsanul Qosasi menghitung, dana yang sempat masuk ke rekening model ini sekitar Rp 100 miliar. Praktek ini marak terjadi pada awal November hingga awal Desember 2008. ”Saat itu situasi lagi panik-paniknya,” kata Achsanul. Duit nasabah di atas Rp 2 miliar dipecah-pecah dan dicurahkan ke rekening atas nama orang-orang dari antah-berantah tadi. Modus ini dilakukan untuk jaga-jaga bila Century ditutup. Setelah ada keputusan diselamatkan, modus ini redup.
Ia menduga manajemen lama Century melakukan konspirasi dan memanfaatkan sebagian dana penyertaan modal yang disuntikkan Lembaga Penjamin untuk menyelamatkan dana tertentu. ”Direksi lama melakukan rekayasa pembukaan rekening,” katanya. Direktur Utama Bank Mutiara Maryono menegaskan akan tetap menjaga kerahasiaan nasabah Bank Mutiara. Ia tidak akan sembarangan memberikan data yang terkait dengan dugaan nasabah fiktif.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi mengatakan tidak ada yang salah dengan rekening tidur. ”Sehingga tidak perlu dideteksi oleh bank sentral,” katanya lewat pesan pendek. Adapun pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara tidak ada hubungannya dengan rekening tidur.
Masalahnya tak cuma sampai di situ. Sumber Tempo mengatakan, sudah menjadi tabiat Robert Tantular menggandakan sertifikat deposito nasabah. Pada saat jatuh tempo, nasabah tadi mencairkan dananya. ”Tapi di pembukuan dibuat seolah-olah dana tadi masih ada dan belum dicairkan,” katanya. Robert bisa dengan leluasa melakukan itu karena pada dasarnya ia mengendalikan seluruh manajemen bank. Lalu sertifikat deposito ini kerap digunakannya sebagai jaminan untuk mendapatkan dana atau dijajakan ke perusahaan yang ingin mendapatkan kredit—sebagai jaminan.
Praktek ini sudah dilakukannya sebelum Bank CIC International—yang menjadi cikal bakal Century—merger dengan Bank Pikko dan Bank Danpac. Salah satu sertifikat deposito yang pernah digandakan Robert adalah milik Abu Ma’arik. Nama Abu Ma’arik masih masuk lima belas besar deposan inti Century periode November 2008 hingga Agustus 2009.
Sumber yang paham betul tabiat Robert itu yakin, setelah Century diguyur fasilitas pencairan jangka pendek pada 14 November 2008, sertifikat deposito abal-abal tadi segera dicairkan dan ditampung di rekening-rekening yang tadinya mati tapi dibuka kembali. Bahkan, menurut kalkulasinya, bukan tidak mungkin tetesan dana talangan tahap pertama habis hanya untuk menutup beragam borok yang dilakoni Robert.
Itu sebabnya, kata Andi Rahmat, anggota Panitia Khusus dari Partai Keadilan Sejahtera, patut diduga bila mengalirnya dana ke rekening-rekening siluman tadi, baik yang bersumber dari fasilitas pendanaan jangka pendek maupun sebagian penyertaan modal sementara, berlangsung sistematis. ”Ada pola yang sama di beberapa tempat,” kata Andi.
Di Medan, misalnya, ada dua nama nasabah penting yang justru tidak dikenal oleh pimpinan cabang Bank Mutiara sana. Padahal, kata Hendrawan Supratikno, kepala cabangnya sudah ada di sana sejak September 2004. Salah satu nasabah itu PT Garuda Sarana Graha. Perusahaan ini tidak tercatat di Bank Mutiara cabang Putri Hijau, Medan. Padahal, dari laporan PPATK, perusahaan ini aktif 26 kali melakukan transaksi pengiriman dana senilai Rp 1,78 miliar kepada PT Jui Shin Indonesia, sepanjang Februari-Juli 2009.
Nasabah lain yang belum teridentifikasi adalah MAS. Tidak diketahui apakah ia nasabah perseorangan atau perusahaan. Menurut Hendrawan, dia tercatat melakukan delapan kali pengiriman dana, senilai Rp 5,9 miliar, sepanjang 6-13 November 2008.
Yang jadi persoalan, praktek tadi marak terjadi pada masa transisi, tidak lama sebelum dan setelah direksi diganti. Pada saat itu, manajemen baru yang dipimpin Maryono, Direktur Utama Mutiara, belum benar-benar mengakar ke level bawah. Apalagi pergantian tidak sampai ke kepala cabang. ”Manajemen lama masih bercokol,” kata Achsanul Qosasi. ”Mereka yang melakukan kriminalisasi dan tunduk di bawah komando Robert.”
Namun bukan tidak mungkin penggangsiran dana tadi ada yang dilakukan oleh partikelir bebas, yang bisa saja bukan atas perintah Robert—terutama setelah ia masuk bui. ”Karena manajemen lama sudah biasa melakukan fraud,” kata Romahurmuzy. Dan kesempatan itu datang tatkala dana melimpah ditumpahkan buat Century. Sementara di sisi lain belum ada pergantian manajemen hingga tingkat cabang.
Itu sebabnya, Romahurmuzy mengatakan, bila dimungkinkan, penelusuran Panitia Khusus terhadap aliran dana ini diperpanjang. ”Tapi, bila masyarakat sudah jenuh, dan ingin segera ada hasil, ya sudah, kami serahkan ke aparat hukum, karena itu sudah di luar kewenangan kami,” kata Romy, begitu Romahurmuzy biasa dipanggil.
Dari pandangan tiap fraksi, mereka sepakat menyerahkan kasus Bank Century ke penegak hukum. ”Kami meminta aparat penegak hukum bergerak dan bertindak menindaklanjuti kasus ini,” kata Ahmad Yani, anggota Panitia Khusus dari Partai Persatuan Pembangunan, saat membacakan pandangan fraksi, Rabu pekan lalu.
Robert Tantular, sebagaimana pengakuannya kepada pengacaranya, Bambang Hartono, menyatakan bahwa dia tidak pernah memerintahkan pengaktifan rekening tidur atau ia sendiri mengaktifkan rekening tidur tanpa sepengetahuan pemiliknya untuk menampung deposito palsu. ”Polisi harus mengusut pejabat bank,” kata Bambang mengutip kliennya. Robert, ujar Bambang, juga sudah masuk bui sejak 25 November 2008.
Yandhrie Arvian, Fery Firmasyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo