Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN-PEKAN ini menjadi hari yang sibuk bagi Achmad Fuad. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Wilayah Temanggung ini giat menggalang petani di daerahnya bersiap-siap berangkat ke Jakarta. Bukan untuk piknik, tapi unjuk rasa. ”Sekitar tiga ribu petani segara berangkat,” ujar Achmad mantap.
Kantor Bupati Temanggung dijadikan Achmad ”posko” untuk menggagas aksi massa yang akan digelar 1 Maret mendatang. Inilah aksi massa untuk memprotes rencana penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Penyusunan rancangan peraturan itu telah masuk tahap harmonisasi di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan, Selasa pekan ini, rapat lintas departemen membahas peraturan itu dimulai.
Peraturan pemerintah inilah yang dianggap mengancam nasib para petani tembakau Temanggung itu. Peraturan yang merupakan ”amanah” Undang-Undang Kesehatan tersebut dinilai bakal membatasi perdagangan dan produksi tembakau. Artinya, nasib para petani itu terancam. ”Karena itu, kami akan berdemo,” ujar Fuad. Menurut dia, diperlukan dana sekitar Rp 700 juta untuk aksi ”menyerbu” Jakarta. Dana akan diperoleh dari para perwakilan produsen rokok dan iuran petani.
Menurut Fuad, para petani terancam karena aturan tentang tembakau ini kelak jauh lebih keras daripada aturan serupa sebelumnya. Sementara dalam PP Nomor 19 Tahun 2003—Peraturan tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan—misalnya, penayangan iklan rokok diperbolehkan, aturan baru nanti sama sekali mengharamkan adanya iklan rokok, termasuk di media cetak ataupun media luar ruang. Mereka, misalnya, juga tak boleh memanfaatkan dana sosial perusahaan atau lazim disebut CSR untuk tujuan promosi produk tembakau.
Ada pula hal lain yang harus mereka patuhi. Para produsen rokok mesti mencantumkan kandungan nikotin dan tar. Lalu harus dicantumkan pula peringatan: ”Tidak ada batas aman” dan ”Mengandung lebih dari 4.000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker”. Adapun untuk produk tembakau yang mengandung cengkeh, harus dicantumkan kadar eugenolnya.
Peraturan yang segera muncul tersebut juga melarang produk tembakau ini dijual kepada anak usia di bawah 18 tahun. Penjualan ketengan juga dilarang. Isi kemasan satu bungkus diwajibkan minimum 20 batang. Lalu yang juga disikat aturan baru ini adalah penggunaan kata-kata seperti ”ultralight”, ”extramild”, dan ”slim”, yang seolah-olah mengindikasikan superioritas, rasa aman, atawa kepribadian. Kata-kata semacam ini dilarang dipakai.
Di mata Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia Muhaimin Moefti, peraturan baru itu terasa ganjil. ”Isinya agak aneh,” ujarnya. Muhaimin menyesalkan pemerintah tidak mengajak para produsen rokok ikut menyusun rancangan peraturan itu. Dia, misalnya, menunjuk larangan beriklan. ”Kami ini bisnis legal, masa untuk komunikasi dengan pelanggan dilarang,” ujarnya. Dia menunjuk aturan yang mewajibkan kemasan rokok berisi minimal 20 rokok itu akan menyulitkan produsen rokok kretek.
Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, menilai aturan baru ini akan melumpuhkan perusahaan rokok kretek. ”Sasarannya kami,” ujarnya. Menurut Ismanu, dia melihat indikasi itu dari aturan isi kemasan yang minimal 20 batang per bungkus dan perintah mencantumkan kadar eugenol (zat dalam cengkeh). ”Jika rokok kretek dipersulit, perokok akan beralih ke rokok putih,” ujarnya. Achmad Fuad melihat aturan ini memang akan menghajar petani tembakau lokal. Sebab, kata dia, tembakau lokal mengandung nikotin tinggi yang hanya cocok untuk rokok kretek.
Berbeda dengan para petani dan produsen rokok, sejumlah organisasi, seperti Indonesia Corruption Watch, Jaringan Pengendalian Tembakau, dan Komisi Nasional Perlindungan Anak, mendukung peraturan ini. Mereka terus mengikuti proses penyusunan aturan yang bakal mengendalikan secara keras tembakau ini. Para aktivis organisasi tersebut mengaku khawatir peristiwa ”hilangnya” ayat tembakau yang pernah menggegerkan itu bakal terulang lagi.
Sebelumnya, lima bulan silam, satu ayat yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif hilang dari Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang akan disahkan Presiden. Padahal, sebelumnya, saat disahkan Dewan Perwakilan Rakyat, ayat itu tercantum. Kendati akhirnya ayat itu muncul lagi, bukan berarti urusan ini selesai. Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok, misalnya, hingga kini tetap menuntut Badan Kehormatan DPR mengusut siapa pelaku yang sengaja menghilangkan ayat tersebut. Yang pasti, seperti disampaikan anggota Badan Kehormatan DPR, Khairuman Harahap, penghilangan ayat itu memang disengaja.
Menurut bekas Ketua Ikatan Dokter Indonesia yang kini aktif di Tobacco Control Support Center, Kartono Mohammad, pihaknya akan mengawal dengan ketat pembahasan Peraturan Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif ini. Kartono mengakui pihaknya menghadapi kekuatan besar yang tidak ingin aturan itu muncul. ”Yang kami hadapi ini kekuatan bermodal besar,” ujarnya.
Kartono mengingatkan, aturan tentang rokok telah diperjuangkan sejak sepuluh tahun lalu. Pada 2004, menurut dia, telah disahkan oleh paripurna DPR. ”Rancangan itu sudah dikirim ke Presiden Megawati tapi tidak diteken,” ujarnya. Rancangan yang sama, kata Kartono, lantas dibahas lagi oleh wakil rakyat periode berikutnya. Selain mendesak peraturan tentang pengetatan soal rokok itu segera dikeluarkan, menurut Kartono, pihaknya mendesak DPR membahas RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. RUU, kata dia, juga telah masuk program legislasi nasional 2010.
Pekan-pekan ini, di tengah-tengah pembahasan peraturan tersebut, bisa jadi para petani dari Temanggung ini akan datang secara bergelombang. Kartono sendiri khawatir para petani ini hanya jadi tameng para pengusaha rokok. Sebab, sepengetahuannya, kontribusi tembakau petani lokal ini kecil bagi industri rokok. ”Pasokan yang besar justu dari impor,” ujarnya.
Dihubungi Tempo, Jumat pekan lalu, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kesehatan Budi Sampurno menolak mengomentari isi PP yang membuat industri rokok gerah ini. ”Saya tak mau berbicara, ini belum konsumsi publik,” ujarnya.
Ramidi, Anang Zakaria
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo