Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Perpajakan</font><br />Repot Akibat Aturan Pajak Baru

Pelaporan faktur dan pembayaran piutang pajak maju 20 hari, memberatkan kas pengusaha. Yang taat bayar pajak malah dirugikan.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagian besar toko di pusat grosir Jalan Merdeka, Bogor, masih tutup, Kamis pagi pekan lalu. Tapi toko Super Sinar di lantai dasar pusat pertokoan itu sudah tampak sibuk. Dengan kemoceng dan lap kering, dua karyawan membersihkan televisi, radio, video, mesin cuci, kulkas, dan penyejuk udara yang dipajang dalam rak bertingkat. Chia Yen, sang pemilik toko, kelihatan sibuk mengumpulkan faktur dan bon penjualan. ”Bukti-bukti tran­saksi ini mesti dilaporkan kepada dealer setiap hari,” kata Chia Yen kepada Tempo pagi itu.

Chia Yen—dan tentu juga semua pedagang elektronik di seantero Indonesia—semakin repot dua bulan terakhir ini. Sejak Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambah­an Nilai Barang-Jasa dan Pajak Pen­jualan Barang Mewah berlaku 1 April lalu, toko yang berstatus pengusaha kena pajak harus cepat melaporkan bukti jual-beli kepada dealer atau produsen. Selanjutnya, dealer dan produsen elektronik memakai bukti-bukti transaksi itu untuk membuat faktur pajak. Faktur itu wajib dilaporkan ke kantor pajak paling lambat setiap akhir bulan. Aturan ini 20 hari lebih cepat dibanding regulasi lama, yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.

Kerepotan baru ini dikeluhkan oleh industri elektronik. Menurut Iffan Sur­yanto, Ketua Marketer Electronic­ Club, sesuai dengan Undang-Undang Pajak­ Pertambahan Nilai yang baru, setiap dealer, agen, distributor, penya­lur, atau toko elektronik mesti berstatus pengusaha kena pajak—indikatornya mempunyai omzet Rp 600 juta setahun. Mereka yang telah menjadi peng­usaha kena pajak wajib melaporkan pengha­silan mereka dan membayar pajak penghasilan.

Kewajiban itu tak menjadi masalah bagi dealer, agen, dan distributor besar. Tapi toko-toko elektronik punya kendala. Jika berstatus nonpengusaha kena pajak dan nekat menjual barang elektronik, pemilik toko bisa-bisa berurus­an dengan petugas pajak. Bila mempunyai status pengusaha kena pajak, toko harus sigap membuat faktur-faktur tadi. Toko harus memiliki pembukuan rapi. ”Harus punya orang yang mengerti akunting dan keuangan,” ujar ­Iffan. Buntut-buntutnya tentu tambahan biaya untuk toko.

Fakta di lapangan, kata Iffan, ribuan toko elektronik di Indonesia tak ber­status kena pajak. Kondisi itu membuat sebagian produsen elektronik menge­rem penyaluran barang ke toko-toko. Akibatnya, stok menumpuk di gudang produsen, bahkan kadang kala melebihi daya tampungnya. Beberapa produsen elektronik malah mengurangi produksi. ”Itu sempat terjadi pada kami,” ucap Iffan, yang juga Manajer Umum Penjualan PT Sharp Electronic Indonesia.

Sampai akhir Mei, menurut Iffan, omzet produsen elektronik secara nasional anjlok sekitar Rp 400 miliar. Negara juga rugi karena setoran pajak pertambahan nilai dari industri elektronik berkurang Rp 40 miliar.

Harold Hutabarat, Direktur PT Samsung Indonesia, mengatakan tempatnya bekerja sudah mengantisipasi aturan itu dengan cara menyalurkan produk ke toko-toko elektronik besar, seperti hiper­market dan electronic city. ”Mere­ka berstatus pengusaha kena pajak, jadi penjualan jalan terus,” ujar Harold.

Lain pula kisah industri obat nyamuk. Sumber Tempo di sebuah produsen obat nyamuk menjelaskan, kerepotan pe­ne­rap­an aturan baru terasa oleh distri­butor atau agen. Sejak regulasi pajak berlaku, distributor mengurangi jumlah pem­belian barang. Alasannya, malas melaporkan faktur lengkap. Ada juga dis­­tributor yang mengakali pembelian obat­ nyamuk atas nama beberapa orang. Tujuannya agar omzet pembelian setahun tidak mencapai Rp 600 juta, dengan begitu status pengusaha kena pajak juga gugur. ”Mereka jadi tak wajib melaporkan faktur. Catatan penghasil­an berkurang. Pajak yang dibayarkan men­ja­di lebih rendah,” ujar sumber Tempo itu.

Industri media massa juga kebagian repot. Seorang anggota staf urus­an pajak perusahaan penerbitan pers mengemukakan bahwa regulasi pajak baru memberatkan perusahaan baru dan korporasi yang arus kasnya pas-pasan. Misalnya, ­perusahaan media melaku­kan transaksi pemasangan iklan dengan biro iklan pada awal Mei, tapi pembayaran baru diterima ­perusahaan media pada Juni. Dengan aturan lama, faktur pajak bisa dibuka pada Juni. Pe­laporan dan pembayaran pajak dulu bisa dilakukan pada Juli.

Tapi, dengan aturan baru, kata anggota staf perusahaan media itu, pela­poran faktur dan pembayaran piutang pajak pertambahan nilai harus dilakukan pada akhir Mei atau selambat-lambatnya Juni. Padahal umumnya perusa­haan media baru menerima pembayaran dari agen atau biro iklan dua atau tiga bulan setelah transaksi. Artinya, bila mau taat pada aturan yang baru, piutang pajak tetap dibayarkan pada Juni, meski perusahaan media saat itu belum menerima pembayaran sepe­ser pun. ”Pelaporan dan pembayaran ­piutang pajak sekarang maju 15-20 hari. Ini memberatkan kas kami karena perusahaan harus menyiapkan dana cadangan,” ujar anggota staf perusahaan media itu.

Direktur PT Infoarta Pratama, pe­nerbit majalah Info Bank, Eko. B. Supriyanto, menjelaskan, termin pembayaran oleh agen atau biro iklan kepada per­usahaan media massa di Indonesia umumnya berjangka lebih dari tiga bulan. Alhasil, perusahaan media massa harus membayar pajak pertambahan nilai meskipun belum menerima pembayaran dari agen atau biro iklan. ”Itu bisa mempercepat kematian per­usahaan media massa yang justru taat membayar pajak,” ujar Eko.

”Protes sudah disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani (sebelum digantikan oleh Agus Martowardojo),” kata Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Hariyadi Sukamdani. Protes diajukan saat sekitar seratus pengusaha melakukan pertemuan tertutup dengan Sri Mul­yani untuk membahas kasus mafia pajak Ga­yus Tambunan di kantor Asosiasi Peng­usaha Indonesia, gedung Permata, Ku­ningan, Jakarta, pada 12 April lalu. ”Sri Mulyani berjanji akan membahasnya dengan Direktorat Jenderal Pajak,” katanya. Rencana bubar setelah Sri Mul­yani mundur dari Menteri Keuangan dan menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia.

Ketua Komisi Tetap Perpajakan Kamar Dagang Indonesia A. Prijo Handojo berpendapat, masalah baru muncul lantaran Dewan Perwakilan Rakyat terburu-buru mengesahkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dia mengungkapkan pemerintah menyampaikan draf aturan itu pada 2003-2004. Tapi pada 2007 draf itu direvisi setelah ada pembahasan antara Direktorat Jenderal Pajak dan para pengusaha. ”Draf revisi kedua ini yang akan dibahas oleh DPR,” ujar Prijo. Ternyata draf yang dibahas dan disetujui Dewan malah rancangan versi pemerintah.

Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Harry Azhar Azis, membantah jika dikatakan Dewan terburu-buru meng­e­sahkan aturan baru itu. Menurut ­Harry, sejak 2004 Dewan sudah mensosiali­sa­si rancangan aturannya kepada para pengusaha. Jika para peng­usaha keberatan, kata dia, mereka bisa meminta pemerintah dan parlemen merevisinya.

Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Suryo Utomo­ sependapat dengan Harry. Menurut dia, sejak awal penyusunan undang-undang ini sudah melibatkan asosiasi peng­usaha. Bahkan, setelah diterbitkan, berkali-kali Direktorat Jenderal Pajak menggelar sosialisasi di berbagai lokasi. ”Mengapa justru sekarang dipersoalkan,” ujar Suryo.

Ketentuan dalam regulasi baru, menurut Suryo, sebenarnya malah mempermudah pengusaha. Dulu penjual harus repot membuat faktur berbeda-beda sesuai dengan transaksinya, kini cukup satu model faktur saja. ”Para pengusaha salah persepsi,” katanya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Singkatnya, masa pelaporan faktur dan penyetoran juga tak akan memberatkan pengusaha. Sebaliknya, peng­usaha mudah menyusun pembukuan karena masa tenggang penerbitan invoice—bon atau formulir tagihan yang harus dibayar pembeli—dan faktur tak terlalu lama. ”Bahkan invoice itu bisa dianggap faktur,” ujar Suryo.

Suryo boleh berpendapat, tapi di lapangan masalah bermunculan. Soalnya tinggal mencari jalan keluar agar pemungut pajak gampang melakukan tugasnya, wajib pajak pun mudah melaksanakan kewajibannya.

Padjar Iswara, Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus