Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

"Rekonsiliasi" Di Surakarta

Peresmian monumen pers nasional di surakarta pada hut pwi ke-32 dihadiri presiden soeharto & ny. tien. presiden berpesan agar pers nasional, baik-baik dalam mengembangkan kebebasan yang bertanggung jawab. (md)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG itu dulu milik kraton Mangkunegaran. Semenjak kemerdekaan, 1945, ia diambil-alih pemerintah kota Surakarta. Dan jadilah ia kantor Palang Merah Indonesia cabang kota Sala - sampai 1978. Setelah melalui sedikit protes dari PMI setempat, Kamis pekan lalu gedung yang jadi tempat lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu pun secara resmi jadi Monumen Pers Nasional. Peresmiannya, tepat dilakukan pada hari ulangtahun PWI yang ke 3 dihadiri oleh Presiden Soeharto dan Ny. Tien. Hari itu mau tak mau jadi hari yang menarik. Para tokoh PWI, dengan Ketua Pelaksana Harmoko dan Sekjen Sunardi D.M. yang sangat aktif itu, tentu saja hadir. Juga para ketua cabang dari daerah-daerah yang datang ke Surakarta juga untuk konterensi kerja. Tak ketinggalan: hampir semua pemimpin redaksi penerbitan di Jakarta, yang kebetulan juga pengurus PWI. Semuanya berharap cemas menunggu apa yang akan diucapkan Presiden Soeharto hari itu - yang merupakan pidato pertama tentang pers setelah 7 koran dilarang terbit dan kemudian diizinkan kembali beredar. Ternyata, agak tak terduga, tak ada suasana tegang. Kepala Negara banyak tersenyum, bahkan tertawa. Menteri Penerangan a.i. Sudharmono SH mendatangi dan bersalaman hangat dengan para pemimpin koran, antara lain dengan B.M. Diah dari merdeka dan Jakob Utama dari Kompas - keduanya yang terakhir boleh terbit kembali. Ketika keesokan harinya Kompas terbit dengan cuplikan pidato Presiden "Syukurlah Semuanya Telah Berlalu," judul beritz utama itu boleh dibilang memang mencerminkan sedikit banyak suasana hari Itu. Ketidak-sengajaan Presiden sendiri menyebut larangan terbit terhadap 7 koran baru-baru ini sebagai suatu "musibah". Suasana dua minggu tanpa 7 koran itu bahkan disebutnya sebagai "memprihatinkan." Dengan nada dasar memahami, pidato resmi itu juga menyebut bahwa peran pers yang mengakibatkan tajamnya pertentangan politik di masa lampau sebagian besar "terjadi karena ketidak-sengajaan." Tapi tindakan pemerintah menjelang akhir Januari 1978 yang lalu - ketika beberapa pemimpin redaksi tiba-tiba mendapat telepon dari perwira Laksusda dan esoknya koran mereka terpaksa tak muncul - oleh Presiden dinilai sebagai satu-satunya pilihan. "Sungguh tidak menyenangkan bagi pemerintah untuk bertindak demikian itu. Dan saya tahu, lebih-lebih tidak menyenangkan bagi pers sendiri." Tapi, kata Presiden pula, ada kepentingan yang lebih besar: yakni kepentingan "keselamatan bangsa dan negara." Presiden menilai bahwa sampai menjelang akhir Januari yang baru lalu, "kebebasan pers telah berkembang hampir-hampir tanpa kendali." Ini berbahaya. Pengaruh pers sangat besar, dan pengaruh ini "dapat bersifat baik" tapi "dapat juga sebaliknya?" Maka Presiden pun berpesan agar pers nasional "hendaknya baik-baik dalam mengembangkan kebe basan yang bertanggungjawab." Yang menarik ialah rumusan Kepala Negara bahwa daJam kebebasan pers terkandung dua arah: bebas memuat sesuatu berita dan bebas tidak memuat sesuatu berita. Dengan kata lain kepada pers diharapkan pengekangan atau "penyensoran" diri sendiri. Buang jauhjauh "lamunan" bahwa kebebasan hanya untuk kebebasan, kata Presiden. "Hal itu sungyuh terlalu mewah bagi kita, dan mungkin akibat akibat bu ruknya bagi keselamatan bangsa dan negara harus kita tebus dengan mahal." Banyak para wartawan yang menilai pidato itu "baik sekali." Yang jelas: melegakan. Semangatnya adalah rekonsiliasi. Di dalamnya tak ada terkandung sesuatu yang bisa dinilai sebagai "menakut-nakuti" - hanya mengingatkan kembali hal-hal yang selama ini sudah ditandaskan. Tentu saja hal-hal itu juga sebenarnya sudah dilakukan oleh pers Indonesia, walaupun bagi pemerintah hasilnya ternyata dianggap masih kurang. Terbukti dengan terjadinya tindakan 20 Januari. Sehabis pidato Presiden dan upacara pembukaan oleh Ny. Tien Soeharto, para tamu pun berduyun masuk ke ruang dalam Monumen. Di bagian depan terpasang contoh-contoh penerbitan pers Indonesia sejak zaman lalu hingga kini - satu pameran menarik yang disusun oleh penulis sejarah pers terkemuka, Subagio l.N. dengan bantuan D.S. Moelyanto. Dan apa yang diucapkan Kepala Negara tentang sejarah pers nasional sebagai pers pejuang nampak di situ. Tentu saja terlihat juga di sana betapa terasa jarak antara "pers pejuang" di masa perang kemerdekaan dengan pers dewasa ini. "Sekarang pers kita sebenarnya bukan pers perjuangan," kata seorang wartawan lama yang berdiri di depan panel pameran, "melainkan pers sebagai bisnis." Di dalam pers perjuangan, ada nampak semangat memihak yang nyaris mirip pamflet, tapi berani dan dengan semangat bebas, walaupun menghadapi ancaman. Di dalam pers sebagai bisnis ada semangat "profesionalisme" dengan menganggap berita sebagai suatu "komoditi." Jua pertimbangan yang lebih besar ke arah laba, kesejahteraan karyawan dan keselamatan usaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus