MENJINAKKAN krisis ekonomi sangat tidak mudah, apalagi mengatasinya. Pengalaman sepanjang tahu 1998 membuktikan hal itu. Dampak tular depresiasi baht telah mengguncang ekonomi negara Asia Tenggara dan Asia Timur sejak Juli 1997, dan untuk pertama kali seluruh dunia menyaksikan betapa berbahayanya arus modal yang besar dan bersifat spekulatif. Seperti wabah, arus ini berpotensi meruntuhkan stabilitas ekonomi lalu menjadikannya bulan-bulanan para spekulan. Indonesia menjadi korban empuk karena fundamental ekonominya ternyata rapuh. Tentang ini, Bank Dunia dalam laporan tahunan 1998 menyebutkan, ".... dalam sejarah mutakhir tidak ada negara yang mengalami malapetaka keuangan paling dramatik seperti Indonesia." Bahkan Bank Dunia memperkirakan, berbagai kesulitan dan ketidakpastian masih harus dihadapi Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Bahwa Indonesia paling terpukul?dibandingkan dengan Thailand dan Korea Selatan?mungkin sekali karena di negeri ini ekonomi yang sudah terpuruk masih diobrak-abrik oleh real politic. Berbeda dengan upaya pemulihan ekonomi di Thailand yang menjadi lebih lancar, ketika Chuan Leekpai, yang dijuluki Mr. Clean, terpilih sebagai perdana menteri. Hal yang sama terjadi di Korea Selatan, begitu politisi idealis Kim Dae Jung terpilih sebagai presiden.
Di negeri ini sulit mencari politisi idealis, apalagi Mr. Clean. Juga sulit untuk membendung kepentingan kelompok, ambisi ABRI, dan protes mahasiswa. Untuk dialog nasional saja, juga tidak bisa. Itulah real politic. Jadi, pada pengujung 1998, ekonomi Indonesia harus menelan kepahitan yang luar biasa: inflasi 77,63 persen, PDB minus 13,68 persen, nilai ekspor US$ 50,05 miliar (turun 6,34 persen dari tahun 1997), impor anjlok 34,18 persen; dengan demikian terjadi surplus neraca perdagangan, tapi di sisi lain mencerminkan penurunan besar pada kegiatan sektor riil. Selain itu, penduduk miskin diperkirakan membengkak sampai 80 juta, sementara pengangguran terbuka mencapai 20 juta. Defisit pada anggaran 1998 masih akan terulang untuk tahun 1999, adapun kontraksi ekonomi diperkirakan 1 hingga 3 persen.
Dengan kinerja yang begitu suram, pemulihan ekonomi akan berjalan lamban, bahkan yang terburuk pun belum tentu sudah terlampaui. Pesimisme ini dipicu oleh beberapa hal: perbankan yang hampir kolaps, sementara program rekapitalisasi belum akan menjamin penyehatan sektor ini; restrukturisasi utang swasta belum menampakkan kemajuan berarti; kendala di bidang ekspor, misalnya dalam trade financing, sehingga depresiasi rupiah tidak termanfaatkan maksimal; kebijakan politik yang memicu ketidakpastian bagi dunia usaha dan semakin menghambat pemulihan ekonomi; lalu, ketidakjelasan dalam agenda pemulihan ekonomi itu sendiri.
Ketidakjelasan agenda pemulihan ekonomi perlu mendapat penekanan khusus. Sebab, semenjak awal 1998, perilaku elite politik lebih mengesankan bahwa Indonesia seperti tidak sedang terancam krisis. Pendeknya, tidak ada sense of crisis. Ritual yang menghamburkan uang masih dilakukan, laporan kekayaan pejabat hanya cukup didengung-dengungkan. Bahkan hampir tidak terlihat gelagat yang menunjukkan adanya keberpihakan pada rakyat yang menderita. Jaring Pengaman Sosial, yang biayanya diperoleh dari pinjaman IMF, belum sepenuhnya mencapai sasaran karena tidak dilaksanakan secara efektif. Pendataan atas warga yang layak dimasukkan dalam Jaring Pengaman Sosial itu justru baru akan dilakukan pemerintah pada Januari-Maret 1999. Dan penghematan besar-besaran baru diserukan oleh Presiden B.J. Habibie pada 30 Desember 1998.
Keterlambatan mengendalikan krisis akhirnya berdampak pada keterlambatan dalam pemulihan ekonomi. Resesi tetap menghantui, dan mungkin akan lebih berat karena sebagian negara di dunia juga akan mengalami resesi. Kini rupiah memang menguat, tapi bukan mustahil hal itu terjadi karena intervensi Bank Indonesia; inflasi mereda hanya karena daya beli merosot tajam, sementara suku bunga belum cukup rendah penurunannya sehingga sektor riil tetap tidak berdaya. Semua indikator ini tidak membuat kita merasa berhak untuk gembira, sebaliknya tidak pula mampu menahan majalah ini untuk menyajikan peta permasalahan ekonomi dan peta kelemahan ekonomi sampai ke sendi-sendinya yang paling goyah. Proyeksi bukan tidak penting, tapi kali ini tidak diutamakan, berhubung ketidakpastian yang dihadapi ekonomi Indonesia tidak saja terlalu besar, tapi juga terlalu mencemaskan.
Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini