Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Kain Mukena Ditarik

Aksi sweeping yang dilakukan penduduk Aceh berbuntut pada meninggalnya empat perwira ABRI. Pasukan bantuan pun berdatangan. Akan jadi DOM lagi?

4 Januari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN suci Ramadan ternyata tak membuat warga Lhokseumawe hidup tenang. Sejak awal puasa 20 Desember hingga menjelang Tahun Baru lalu, suasana ibu kota kabupaten Aceh Utara itu masih mencekam. Masyarakat lebih banyak berdiam diri di rumah. Toko-toko pun, yang biasa menyediakan kebutuhan Lebaran hingga lewat tengah malam, kini hanya buka sampai pukul 22.00. Penyebabnya adalah ketegangan antara warga dan aparat keamanan. Situasi ini dimulai oleh berita bahwa seorang bintara pembina desa (babinsa) Kecamatan Syamtalira Bayu mengganggu seorang ibu yang hendak tarawih dengan cara menarik mukenanya. Kejadian yang menyebar setelah diumumkan di Meunasah (musala) ini memicu kemarahan warga dan selapis demi selapis rombongan mendatangi Koramil 05, kantor si babinsa. Markas Koramil itu kemudian dihujani batu, tapi usaha membakarnya gagal karena dihalangi oleh aparat keamanan yang diperbantukan di sana. Kemarahan warga yang sudah tersulut itu tak terhalangi. Setelah mencoba merusak kantor-kantor lain di sebelah-menyebelah Koramil, mereka mengalihkan sasaran pada anggota ABRI yang bisa ditemui. Yang bernasib sial adalah Mayor S.P. Harahap, seorang perwira yang bertugas di Korem Liliwangsa. Harahap dan keluarganya yang baru kembali cuti dari Medan dihadang ratusan massa yang memaksanya turun dari mobil. Perwira itu akhirnya harus dirawat di rumah sakit karena tangannya patah. Perawatan serupa juga harus dijalani tiga anggota ABRI yang ditangkap massa ketika mereka melakukan pembersihan (sweeping) terhadap tiap bus yang terjebak di sana. Rupanya, acara pemeriksaan ini berlanjut hingga akhirnya terjadi peristiwa Selasa berdarah, 29 Desember lalu, yang membuat aparat keamanan meradang. Kejadiannya bermula ketika sekitar 200 orang bersenjata parang dan senjata api mencegati kendaraan yang melewati Desa Lhoknibung, Kecamatan Simpangulim. Dalam bus Kurnia yang menuju Medan didapati 18 orang anggota ABRI dan 2 polisi, tapi hanya 12 aparat ABRI serta seorang anggota polisi yang punya KTP. Mereka selamat, tapi tidak 7 sisanya yang kemudian disandera. Hari Kamis, empat di antaranya ditemukan sudah menjadi mayat di Sungai Arakundoe. ''Dari luka-lukanya, tampak mereka diperlakukan secara biadab,'' ujar Komandan Korem 011 Liliwangsa, Kolonel Johny Wahab. Belum jelas bagaimana nasib tiga aparat lainnya. Juga keadaan Mayor Ediyono, komandan satuan tugas marinir di Rancung, Lhokseumawe, yang ditahan massa ketika akan mengadakan inspeksi keamanan Rabu lalu. Situasi ini, tak pelak lagi, membuat pimpinan ABRI seperti kebakaran jenggot. ''Itu di luar batas kemanusiaan. Saya harap Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengusutnya dengan tuntas,'' ujar Panglima ABRI Jenderal Wiranto. Kemarahan ABRI ini tak seharusnya mereka umbar kalau mereka bisa berkaca pada kelakuan mereka sendiri. Acara pembersihan seperti ini sebenarnya dicontoh masyarakat dari tindakan militer. Sejak Aceh dinyatakan sebagai daerah operasi militer (DOM) tahun 1989, secara rutin diadakan sweeping dengan tujuan membersihkan mereka yang dicap sebagai anggota gerombolan pengacau keamanan (GPK). Penumpang bus bisa mereka tangkap tanpa alasan yang jelas dan tak banyak yang bisa kembali ke keluarganya lagi. Namun selama itu, karena takut, tak terdengar kemarahan di kalangan penduduk Aceh. Perasaan mereka baru meluap ketika status DOM dicabut oleh Pangab Wiranto Agustus lalu. Sejak itu, secara bertubi-tubi muncullah pengaduan dari keluarga yang kehilangan anggotanya, pernah mengalami siksaan, atau diperkosa. Tim pencari fakta dari DPR dan Komnas HAM mencoba mengorek apa yang sebenarnya terjadi. Menurut laporan Komnas HAM, selama kurun waktu itu paling tidak ada 781 orang meninggal. Kini, ada kemungkinan kemarahan itu mereka luapkan kepada aparat. Namun, menurut Danrem Johny Wahab, aksi ini bukanlah perbuatan penduduk melainkan dari gerakan pengacau liar—nama baru untuk GPK—Hasan Tiro. Untuk itu, setelah ABRI menarik 3 SSK (satuan setingkat kompi) pasukan non-organiknya Agustus lalu, kini dikirim kembali 30 orang anggota Detasemen Jala Mangkara—pasukan elite Angkatan Laut—dan 5 SSK Lintas Udara dari Medan. Kabarnya, ada juga pasukan baret merah yang sudah ada di sana. Apakah itu tanda-tanda Aceh akan kembali jadi daerah operasi militer? `'Saya tidak berpikir ke sana. Tapi, kalau kekurangan pasukan, ya, tentu akan kita kirim,'' ujar Kapuspen ABRI, Mayjen Syamsul Ma'arif. Diah Purnomowati, Mustafa Ismail, dan Zainal Bakri (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus