Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di dua bulan awal 2025 hari ini. Dalam konferensi pers berdurasi sekitar 3 jam tersebut, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tak menyinggung sama sekali soal dampak sistem Coretax bagi penerimaan negara di awal tahun ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang disorot dari paparan APBN KiTa (kinerja dan fakta) oleh Sri Mulyani adalah realisasi penerimaan pajak. Hingga akhir Februari 2025 pendapatan dari pajak mencapai Rp 187,8 triliun. Angka ini turun 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2024, yakni Rp 269,02.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menanggapi hal tersebut, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi berpendapat Kemenkeu perlu memaparkan masalah dari sistem perpajakan baru tersebut. “Coretax seharusnya diakui sebagai faktor utama keterlambatan penerimaan pajak,” ujarnya ketika dihubungi, Kamis, 13 Maret 2025.
Kemenkeu mengklaim penurunan pajak hal yang normal. Hal ini didasarkan pada pola penerimaan pajak yang cenderung sama, yakni pada Desember penerimaan pajak akan meningkat, kemudian pada Januari dan Februari akan menurun. Penurunan penerimaan pajak disebut karena harga komoditas yang melambat.
Namun Syafruddin menilai Kemenkeu mengabaikan dua faktor penting penyebab penurunan pendapatan dari pajak, yakni implementasi Coretax yang bermasalah dan lesunya dunia usaha. Ia pun menilai Kemenkeu terlalu menyederhanakan masalah fiskal yang terjadi.
“Jika harga komoditas menjadi satu-satunya penyebab, maka dampaknya hanya akan terlihat pada pajak sektor pertambangan dan perkebunan,” ucap Syafruddin.
Namun, berdasarkan data APBN KiTa edisi Februari 2025 yang sempat dipublikasi Kementerian Keuangan, Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) pada Januari 2025 sebesar Rp 2,58 triliun. Angka itu anjlok sekitar 92,7 persen dari PPN DN periode Januari 2024 yang sebesar Rp 35,6 triliun.
Padahal, menurut Syafruddin, pemerintah memperkenalkan Coretax dengan harapan meningkatkan efisiensi perpajakan. Namun, nyatanya transisi yang tidak mulus dan justru menghambat pencatatan dan pembayaran pajak.
Akibatnya, banyak wajib pajak mengalami kesulitan teknis dalam pelaporan, sementara internal administrasi pajak juga belum sepenuhnya siap. “Penerimaan pajak yang seharusnya masuk tepat waktu mengalami penundaan, yang menyebabkan defisit APBN semakin dalam,” kata Syafruddin
Selain itu, menurut dia, dunia usaha yang masih tertekan juga berkontribusi terhadap lemahnya penerimaan pajak. Oleh sebab itu, Sri Mulyani seharusnya tidak hanya menyalahkan harga komoditas sebagai pemicu jebloknya penerimaan pajak, tapi mengakui bahwa kebijakan perpajakan dan kondisi ekonomi domestik sama-sama berperan dalam melemahkan penerimaan negara.
“Tanpa evaluasi menyeluruh terhadap implementasi Coretax dan strategi pemulihan dunia usaha, defisit APBN akan semakin sulit dikendalikan dalam jangka panjang,” ucapnya.