Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemberlakuan bea keluar kakao sejak tahun lalu dinilai tidak mampu menyelamatkan sebagian industri hilir pengolah kakao dalam negeri. Sedikitnya terdapat tujuh industri, terutama berskala menengah ke bawah, yang terancam gulung tikar.
Ketua Asosiasi Kakao Indonesia Zulhefi Sikumbang mengungkapkan, ketujuh industri itu adalah PT Industri Kakao Utama, PT Maju Bersama Cocoa Industri, PT Kopi Jaya Kakao, PT Budidaya Kakao Lestari, PT Cacao Wangi Murni, PT Unicom Kakao Makmur, dan PT Poleko Cocoa Indonesia. Perusahaan tersebut memiliki pabrik, tapi produksinya sangat rendah. Kapasitas mesin terpasang mulai 4.000 hingga 40 ribu ton per tahun.
Secara total kapasitas terpasang seluruh industri pengolahan kakao dalam negeri mencapai 629 ribu ton per tahun, tapi realisasi produksinya tahun ini hanya sebesar 200 ribu ton. Meski terbilang lebih tinggi ketimbang produksi tahun lalu yang hanya 140 ribu ton, pendorong utama produksi hanya berasal dari dua perusahaan besar, yakni PT General Food Industri dan PT Bumi Tangerang Mesindotama, yang masing-masing menambah kapasitas 20-30 ribu ton per tahun.
"Sedangkan industri skala kecil lainnya tetap tiarap," kata Zulhefi. Kapasitas produksi PT General Food Industri dan PT Bumi Tangerang Mesindotama saat ini masing-masing mencapai 100 ribu ton dan 96 ribu ton per tahun.
Salah satu penghambat industri kakao berskala kecil berkembang karena belum bisa bangkit dari keterpurukan sejak 2000. Saat itu pemerintah memungut pajak pertambahan nilai 10 persen terhadap industri yang menggunakan bahan baku hasil perkebunan, salah satunya kakao.
Pemerintah saat itu juga hanya menerapkan bea masuk impor terhadap produk olahan kakao yang kecil, 5 persen. Akibatnya, pedagang lebih senang mengekspor biji kakao ketimbang memasok bagi industri dalam negeri. Industri pengolahan kakao dalam negeri pun terpuruk karena kesulitan mendapat bahan baku hingga kini.
Selain itu, rencana masuknya empat investor besar industri kakao internasional yang membangun pabrik olahan kakao di Indonesia ikut menambah keriuhan di industri kakao nasional. Keempat perusahaan itu adalah Cargill, Barry Callebaut, ADM Cocoa, dan JB Cocoa, yang akan membangun pabrik dengan kapasitas masing-masing minimal 60 ribu ton per tahun.
Sayangnya kenaikan kapasitas terpasang industri pengolahan kakao menjadi 869 ribu ton per tahun tidak diimbangi oleh produksi kakao dalam negeri yang malah terus turun menjadi 420 ribu ton per tahun. "Artinya, perbandingan produksi kakao dan kapasitas produksi industri pengolahan kakao sekarang ini sudah masuk lampu kuning," ucap Zulhefi.
Dengan kondisi saat ini saja, banyak industri kecil yang terpukul. "Apalagi bila empat perusahaan besar berinvestasi di sini. Tujuh industri yang saat ini masih lemah itu bisa mati karena kalah bersaing," kata Zulhefi.
Namun pemerintah menilai industri dalam negeri tidak akan mati karena kalah bersaing. Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kementerian Perindustrian Faiz Achmad menilai justru dengan masuknya sejumlah pemain utama industri kakao di dalam negeri bisa membantu industri pengolahan kakao lokal untuk menembus pangsa pasar Eropa.
Pemberlakuan bea keluar terhadap kakao juga bakal efektif memacu pertumbuhan industri pengolahan kakao dalam negeri. Saat ini bea keluar sebesar 10 persen tersebut sudah berhasil menggenjot produk olahan kakao dalam negeri.
Direktur Jenderal Industri Argo Kementerian Perindustrian Benny Wahyudi pun mengklaim pemerintah telah memacu investasi di industri makanan-minuman berbasis cokelat agar lebih mampu menyerap produk industri kakao olahan dalam negeri.
Kementerian Perdagangan mencatat produksi kakao olahan dalam negeri tahun lalu mencapai 140 ribu ton dan diprediksi bakal naik menjadi 280 ribu ton tahun ini. Sedangkan produksi industri olahan kakao dalam negeri bisa mencapai 400 ribu ton per tahun seiring dengan masuknya sejumlah investor baru dan semakin sehatnya industri dalam negeri.
Khusus untuk ekspor biji kakao selama Januari-Juli tahun ini mencapai 141 ribu ton, turun dibanding periode serupa tahun lalu yang mencapai 264 ribu ton. Akibatnya, nilai ekspor biji kakao anjlok dari US$ 736 juta menjadi US$ 419 juta.
Tapi ekspor produk olahan kakao justru meningkat tajam menjadi 66 ribu ton dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 34 ribu ton. Hal ini yang mendorong nilai ekspor produk olahan terkerek naik US$ 162 juta menjadi US$ 257 juta. | AGUNG SEDAYU | ILHAM | R. R. ARIYANI
Kapasitas Terpasang Industri Kakao (Ribu Ton/Tahun)
Nama Perusahaan | Kapasitas Terpasang
PT General Food Industry| 100
PT Bumitangerang Mesindotama| 96
PT Davomas Abadi| 140
PT Industri Kakao Utama| 40
PT Maju Bersama Cocoa Industri| 33,5
PT Kopi Jaya Kakao| 31,5
PT Mars Symbioscience Indonesia| 30
PT Budidaya Kakao Lestari| 15
PT Cacao Wangi Murni| 15
PT Teja Sekawan| 24
PT Unicom Kakao Makmur| 10
PT Cocoa Ventures Indonesia| 14
PT Kakao Mas Gemilang| 6
PT Mas Ganda| 5
PT Poleko Cocoa Industry| 4
PT Asia Cocoa Indonesia | 65
Cargill, Barry Callebaut, ADM Cocoa, dan JB Cocoa diperkirakan total produksinya lebih dari 200 ribu ton per tahun.Sumber: Askindo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo